Tulisan blog di bulan April baru dua biji dan saya melihat arsip dengan tatapan iba: Ia tampak seperti anak kurang perhatian. Di kepala ada beberapa hal yang saya pikirkan dan ia selalu menggoda untuk ditulis. Tetapi kata-kata kadang tidak mudah keluar. Sialan.
Alasan paling mudah
dibuat kepada diri sendiri adalah persoalan klise tugas kuliah yang selalu
beranak-pinak. Saya belum bisa mengundurkan diri dari status mahasiswa dan
masih saja menjadi bapak rumah tangga untuk tugas-tugas. Kadang tidak baik
berdebat sengit dengan nasib, jadi tugas-tugas harus saya tangani dengan
pikiran setabah biksu Tibet—setidaknya saya berusaha dan merasa demikian.
Dari film-film yang
saya tonton para rohaniawan Tibet kerap menunjukkan perangai seorang pertapa,
atau ahli semedi. Para orang soleh, juga raja-raja, menyenangi kebiasaan
bersemedi. Mereka seperti melegakan diri. Saya kadang terbayang kira-kira apa
yang mereka pikirkan ketika bersemedi? Atau apa yang tidak mereka pikirkan sama
sekali saat bersemedi? Dan bagaimana mencapai tidak memikirkan sesuatu sama
sekali itu?
Jadi untuk mencari
persamaan antara Pak Biksu ketika bertapa dan saya saat menulis tugas, saya
tidak menemukannya. Jika saya paksakan, ia hanya persamaan yang konyol: Pak
Biksu memiliki visi spiritual dan saya memiliki visi spiritual juga—dalam bentuk
memenuhi kewajiban kuliah. Apakah kuliah memiliki muatan spiritual, kita bisa
berdebat panjang, namun kita anggap saja bahwa kuliah memiliki momen spiritual
juga. Di kampus saya mendapat “pelajaran” tauhid sufistik.
Yeah, saya menyukai
nama itu. Terkesan sangat spiritualis.
Jika para rohaniawan
duduk di altar untuk mencapai momen spiritualnya, saya duduk di pojokan perpus—mencari
udara segar dan agak dingin. Pada momen seperti itu biasanya saya memejamkan
mata sejenak sebelum menyalakan laptop dan mengerahkan seluruh kemampuan otak
untuk “memproses” data, lalu demikian lagi besoknya, besoknya juga, dan beberapa
besok lagi, hingga menjadi makalah—bayi kecil saya.
Sedikit demi sedikit
proses itu membuat saya melupakan blog. Atau lebih tepatnya memilih untuk tidak
menulis di blog. Atau semacam itu.
Saya harus mengakui
bahwa memikirkan apa yang menarik perhatian bisa membangkitkan gairah dan cukup
menjadi bibit-bibit tulisan untuk blog maupun media-media daring. Tetapi persoalannya
adalah ketika momen eksekusi. Sama seperti anak pemalas di seluruh dunia,
pikiran ini pandai mencari alasan untuk menunda.
Sambil menunda itu
saya terus memikirkan juga kalimat pertama untuk membuka tulisan. Ia kadang
saya temukan ketika sedang mengerjakan sesuatu, lalu menghilang saat saya
menyalakan laptop. Dan mengerjakan makalah menjadi pilihan bijak—jika boleh
dikatakan demikian. Dan tulisan blog tertunda lagi.
Dan sama seperti para
penunda di seluruh dunia, alih-alih mengusahakan bagaimana proses penundaan itu
menjadi sesuatu yang lebih produktif, saya malah terdistraksi untuk melakukan
hal-hal tidak berguna yang menghabiskan waktu. Misal: Tidur sebentar mungkin
tidak masalah.
Dan tidur sebentar
kadang tidak pernah benar-benar sebentar.
Media sosial juga
menjadi godaan tersendiri. Pesan-pesan di WhatsApp juga godaan lain. Sialan.
Maka, kekosongan tulisan di blog ini adalah perpanjangan dari malas saja,
ternyata. Jika waktu untuk tidur siang atau ngulik hp itu bisa dialihkan untuk
menulis, pasti beda cerita. bagaimanapun kita bisa mengatur apa yang akan kita
lakukan.
Kita memang tidak memiliki waktu sebab waktu bukan benda yang bisa dimiliki. Tetapi kita bisa memilih kegiatan untuk mengisi waktu. Jadi jika saya melihat blog ini kosong, terdapat tiga kemungkinan: Tidak ada ide; terlalu banyak deadline tugas; dan malas menulis. Yang terakhir sepertinya menjadi penyebab utama meski ia sering dipoles dan ditutup-tutupi.