Sabtu, 30 April 2022

Blog Nestapa

Tulisan blog di bulan April baru dua biji dan saya melihat arsip dengan tatapan iba: Ia tampak seperti anak kurang perhatian. Di kepala ada beberapa hal yang saya pikirkan dan ia selalu menggoda untuk ditulis. Tetapi kata-kata kadang tidak mudah keluar. Sialan.


Alasan paling mudah dibuat kepada diri sendiri adalah persoalan klise tugas kuliah yang selalu beranak-pinak. Saya belum bisa mengundurkan diri dari status mahasiswa dan masih saja menjadi bapak rumah tangga untuk tugas-tugas. Kadang tidak baik berdebat sengit dengan nasib, jadi tugas-tugas harus saya tangani dengan pikiran setabah biksu Tibet—setidaknya saya berusaha dan merasa demikian.


Dari film-film yang saya tonton para rohaniawan Tibet kerap menunjukkan perangai seorang pertapa, atau ahli semedi. Para orang soleh, juga raja-raja, menyenangi kebiasaan bersemedi. Mereka seperti melegakan diri. Saya kadang terbayang kira-kira apa yang mereka pikirkan ketika bersemedi? Atau apa yang tidak mereka pikirkan sama sekali saat bersemedi? Dan bagaimana mencapai tidak memikirkan sesuatu sama sekali itu?


Jadi untuk mencari persamaan antara Pak Biksu ketika bertapa dan saya saat menulis tugas, saya tidak menemukannya. Jika saya paksakan, ia hanya persamaan yang konyol: Pak Biksu memiliki visi spiritual dan saya memiliki visi spiritual juga—dalam bentuk memenuhi kewajiban kuliah. Apakah kuliah memiliki muatan spiritual, kita bisa berdebat panjang, namun kita anggap saja bahwa kuliah memiliki momen spiritual juga. Di kampus saya mendapat “pelajaran” tauhid sufistik.


Yeah, saya menyukai nama itu. Terkesan sangat spiritualis.


Jika para rohaniawan duduk di altar untuk mencapai momen spiritualnya, saya duduk di pojokan perpus—mencari udara segar dan agak dingin. Pada momen seperti itu biasanya saya memejamkan mata sejenak sebelum menyalakan laptop dan mengerahkan seluruh kemampuan otak untuk “memproses” data, lalu demikian lagi besoknya, besoknya juga, dan beberapa besok lagi, hingga menjadi makalah—bayi kecil saya.


Sedikit demi sedikit proses itu membuat saya melupakan blog. Atau lebih tepatnya memilih untuk tidak menulis di blog. Atau semacam itu.


Saya harus mengakui bahwa memikirkan apa yang menarik perhatian bisa membangkitkan gairah dan cukup menjadi bibit-bibit tulisan untuk blog maupun media-media daring. Tetapi persoalannya adalah ketika momen eksekusi. Sama seperti anak pemalas di seluruh dunia, pikiran ini pandai mencari alasan untuk menunda.


Sambil menunda itu saya terus memikirkan juga kalimat pertama untuk membuka tulisan. Ia kadang saya temukan ketika sedang mengerjakan sesuatu, lalu menghilang saat saya menyalakan laptop. Dan mengerjakan makalah menjadi pilihan bijak—jika boleh dikatakan demikian. Dan tulisan blog tertunda lagi.


Dan sama seperti para penunda di seluruh dunia, alih-alih mengusahakan bagaimana proses penundaan itu menjadi sesuatu yang lebih produktif, saya malah terdistraksi untuk melakukan hal-hal tidak berguna yang menghabiskan waktu. Misal: Tidur sebentar mungkin tidak masalah.


Dan tidur sebentar kadang tidak pernah benar-benar sebentar.


Media sosial juga menjadi godaan tersendiri. Pesan-pesan di WhatsApp juga godaan lain. Sialan. Maka, kekosongan tulisan di blog ini adalah perpanjangan dari malas saja, ternyata. Jika waktu untuk tidur siang atau ngulik hp itu bisa dialihkan untuk menulis, pasti beda cerita. bagaimanapun kita bisa mengatur apa yang akan kita lakukan.


Kita memang tidak memiliki waktu sebab waktu bukan benda yang bisa dimiliki. Tetapi kita bisa memilih kegiatan untuk mengisi waktu. Jadi jika saya melihat blog ini kosong, terdapat tiga kemungkinan: Tidak ada ide; terlalu banyak deadline tugas; dan malas menulis. Yang terakhir sepertinya menjadi penyebab utama meski ia sering dipoles dan ditutup-tutupi.