Senin, 25 April 2022

Wasiat Bentham: Jasad Berusia 190 dan Masih Duduk Manis

Jeremy Bentham meninggal tahun 1832 dan karena prinsip yang ia pegang tubuh tanpa nyawanya masih duduk hingga hari ini di University College London.


Bentham adalah pemikir penting mazhab utilitarianisme modern. Jargon terkenal “kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar”, di tangan Bentham berubah menjadi prinsip moral yang menentukan benar-salah. Bagi Bentham, tindakan manusia itu dikontrol oleh hasrat untuk mendapat kebahagiaan-kesenangan dan menghindari rasa sakit. Ia membuat kriteria dari kesenangan dan rasa sakit yang kemudian berpengaruh terhadap dunia hukum.


Sederhananya, Bentham menginginkan sebuah sistem hukum yang memihak pada sebanyak mungkin jumlah orang. Jadi, jika kita menjadi hakim atau penyusun undang-undang, misalnya, maka keputusan yang kita buat harus berpihak kepada kepentingan orang banyak. Utilitas berupaya menghasilkan keuntungan, manfaat, kebaikan, dan kebahagiaan.  


Perjuangan lain Bentham adalah mengusahakan kesetaraan manusia, pemisahan agama-negara, menghapus perbudakan, menentang irasionalitas agama, dan, yang paling nyentrik, mengusulkan hak-hak binatang. Tetapi ia dipelajari dan dikenang karena prinsip utilitas. Dan karena prinsip ini tubuhnya tetap ada hingga sekarang.


Tubuh orang meninggal tidak memiliki kegunaan apapun, setidaknya menurut pemikiran banyak orang. Tetapi Bentham adalah filsuf dan ia jelas tidak berpikir sebagaimana kebanyakan orang berpikir. Berpegang teguh pada pemikiran utilitas, di mana seseorang harus memberi manfaat sebanyak yang ia mampu—demi kepentingan orang banyak, sebelum meninggal ia menulis wasiat kepada temannya, dokter Thomas Southwood Smith untuk membedah tubuhnya demi kepentingan medis. Pak dokter dan kawan-kawannya mungkin dapat memanfaatkan tubuh itu demi berbagai kepentingan pengetahuan.


Bentham terkenal memiliki selera humor yang baik dan kita bisa membayangkan ia mengatakan pada Pak Smith: “Hay, Pal. Dari pada tubuhku dimakan cacing-caing tanah sialan, kenapa kau tidak membedahnya saja. Barangkali kau akan menemukan sesuatu yang kau butuhkan untuk kemajuan dunia medis.” Tetapi setelah proses pembedahan, ia masih memiliki permintaan lain, saya kutipkan sebagai berikut:


“Kerangka (tubuh) yang dia buat kepentingan medis untuk disatukan sedemikian rupa sehingga seluruh tubuh dapat duduk di kursi yang biasa saya tempati ketika hidup, dalam posisi di mana saya duduk saat berpikir—ketika saya menulis buku.”


Beberapa ahli mengatakan bahwa wasiat itu juga ingin mengolok-ngolok kaum agama yang biasanya mengharuskan mayat dikubur dan didoakan. Yeah... dengan tubuh tetap duduk seperti itu—posisi berfilsafat, Bentham memang memiliki selera humor, eh. Lagi pula, Bentham enggan merepotkan berbagai orang jika ia harus dikubur. Kita tahu, di Inggris ketika itu, keluarga duka harus mengeluarkan berbagai biaya, dari penguburan jenazah, pembelian tanah kubur, dan lain-lain. Bentham tidak ingin seperti itu.


Maka, sore hari pada tanggal 9 Juni 1832, jenazah Bentham di bedah, di depan para dokter. Sebelum prosesi itu Smith berorasi, “Jika perampasan dari orang mati dapat membuat kebahagiaan (manfaat) bagi orang hidup, maka adalah tugas saya untuk menaklukkan keengganan yang mungkin saya rasakan.” Sebuah kalimat penghormatan untuk Bentham.


Tetapi bagian tengkorak Bentham gagal diawetkan dengan baik sehingga menimbulkan kerutan dan kerusakan sedemikian rupa. Akhrinya kepala asli itu disimpan di sebuah kotak khusus dan sebagai pengganti mereka membuat kepala palsu dari lilin. Sesuai dengan wasiat Bentham, tubuhnya diawetkan, dalam posisi duduk sebagaimana ia minta. Sekarang ia sudah mati, tetapi tubuhnya masih duduk di sebuah box di UCL. Dalam situs remisnya tertulis kita bisa mengunjunginya pada hari Senin-Jumat (09.00-18.00).


Ketika ada acara-acara tertentu, Bentham “dibawa” sebagai sebuah icon. Biasanya ia akan duduk di depan bersama orang-orang penting. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang ketika melihat Bentham seperti itu. Tetapi saya senang melihat fotonya—hanya itu yang saya bisa, sambil bergumam, ia telah mati, bahkan ia mati dengan tetap menganut prinsip filsafatnya.