Minggu, 17 Oktober 2021

Apa Tujuan Pendidikan Kita?

Mari asumsikan bahwa pendapat umum ini terbukti benar: Sekolah kita ditujukan untuk mendapat pekerjaan baik di masa depan. Dan mari asumsikan pendapat kedua ini sama benarnya: Dunia kerja kita tidak menuntut kecerdasan intelektual, uang pelicin tebal atau orang dalam menjadi syarat utama, atau yang paling patut, skill yang mumpuni—hal yang pada titik tertentu berbeda dengan kecerdasan intelektual.


Poin di atas bagi saya memunculkan paradoks besar: Sekolah dan kampus di Indonesia kebanyakan berkutat pada urusan intelektual. Dengan kata lain, pelajaran di sekolah jarang memiliki korelasi dengan dunia kerja, kecuali siswa yang lanjut kuliah di bidang yang spesifik, pariwisata, misalnya. Di jurusan ini mahasiswa benar-benar memiliki pengetahuan di bidang itu, katakanlah, untuk menjadi pemandu pariwisata tingkat nasional maupun internasional. Apa yang mereka pelajari relevan dengan dunia kerja kelak.


Di beberapa negara Eropa, seperti Spanyol dan Bulgaria, pengamen harus memiliki ijazah diploma musik. Pemerintah setempat ingin memastikan kualitas para musisi benar-benar mampu menghibur warga sekitar maupun wisatawan dari berbagai negara. Beberapa orang bahkan mengambil kuliah ini demi bisa menjadi “pengamen” berkualitas. Kampus-kampus pun memberi fasilitas perkuliahan.


Kuliah musik mungkin tidak “terikat” langsung dengan kegiatan intelektual. Tentu saja, musik adalah kegiatan kognitif juga, mereka memerlukan kecerdasan di atas rata-rata untuk menyusun nada menjadi musik yang dapat dinikmati. Tetapi, maksud saya, kuliah musik benar-benar berbeda dengan kuliah yang “terikat” langsung dengan kegiatan intelektual, terutama dalam konteks “terikat” harus banyak baca.


Sebagai contoh, di zaman S1 saya mengambil prodi teologi, jurusan yang benar-benar murni berurusan dengan teks. Untuk mendapat hasil yang maksimal, saya harus banyak berkutat dengan teks-teks teologi. Kebanyakan, tugas akhir mahasiswa teologi juga berkutat pada riset teks, sehingga membutuhkan banyak membaca. Tanpa ingin membedakan dengan perkuliahan musik, apa yang kami pelajari cukup identik dengan kegiatan “intelektual” (dengan tanda kutip).


Prodi sastra barangkali memiliki karakteristik cukup sama, yakni bidang yang bergelut dengan teks. Mahasiswanya dituntut banyak membaca karya sastra. Dan tugas akhir mereka kemungkinan besar berada dalam konteks riset teks sastra. Tidak menutup kemungkinan bidang ini melakukan riset lapangan, sebagaimana juga prodi saya, tetapi kebanyakan dua prodi ini berkutat pada teks.


Kembali pada asumsi yang telah saya tulis di paragraf pertama, jika memang sekolah ditujukan untuk mendapat pekerjaan baik, maka orang-orang di jurusan saya akan menghadapi kesulitan. Sebab kami tidak pernah mendapat pengetahuan atau skill spesifik apapun tentang dunia kerja. Kami hanya sibuk berkutat dengan teks-teks. Dulu saya masuk jurusan ini semata-mata karena suka. Benar-benar ingin membidangi. Maka saya rajin belajar. Rajin mengerjakan tugas.


Saya bukan tipe orang yang mudah menangkap materi atau gagasan yang ada dalam perkuliahan atau buku, karenanya saya membutuhkan tenaga ekstra untuk belajar. Bisa dikatakan, saya belajar dua kali lipat lebih keras. Begitupun ketika menulis tugas makalah-makalah, saya benar-benar serius, hingga sering terlarut dalam banyak data. Benar-benar serius yang saya maksud adalah penghalusan dari mati-matian, tertatih-tatih. Sebegitu mati-matian saya menulis tugas, hingga tidak peduli terhadap isu-isu yang tejadi di luar sana.


Bahkan, saya jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang. Saya sering takjub pada mahasiswa lain, sementara saya ngos-ngosan belajar dan menulis tugas, mereka seolah memiliki banyak waktu untuk jalan-jalan, nonton, nongkrong, dan yang benar-benar fantastis, pacaran. Apakah yang mereka lakukan buang-buang waktu? Tidak juga, sepertinya. Toh banyak dari mereka yang sekarang hidupnya enak-enak saja. Melihat realitas, kadang, rajin kuliah tidak berkorelasi langsung dengan kesuksesan, terutama kesuksesan finansial.


Banyak dari kawan-kawan yang nyatanya jauh lebih baik dari pada saya hari ini, dalam konteks pekerjaan. Mereka yang dulu “tidak terlalu mengikuti kuliah”, hari ini memiliki kondisi yang lebih baik. Tetapi, jika saya perhatikan, mereka dapat tumbuh seperti sekarang karena skill yang mereka asah, atau mungkin sedikit koneksi. Dua modal penting, memang. Beberapa memang beruntung memiliki orangtua berada. Beberapa mungkin benar-benar beruntung sehingga mendapat "jalan".


Saya bukan kombinasi dari semuanya.


Ketika kuliah, saya hanya membangun skill di bidang intelektual—kalau boleh saya sebut demikian. Saya sedikit rajin membaca buku, mencari guru menulis, dan berupaya terlibat kelas riset. Khas kegiatan “intelektual” (sekali lagi, dalam tanda kutip). Tetapi, hingga hari ini, ketiganya tidak benar-benar saya kuasai, sehingga hanya menjadi kelas medioker. Ajaibnya, saya menjadi lulusan terbaik fakultas dan mendapat beasiswa lanjutan.


Dan sekarang, dengan intensitas yang jauh menanjak ketimbang S1, saya kembali berkutat dengan tugas-tugas, sebab studi yang diambil sama sekali berbeda. Dan sialnya, ia juga bukan prodi yang membangun kemampuan spesifik di dunia kerja—saya mengambil prodi Filsafat Islam. Melihat pola kehidupan yang benar-benar aneh, misalnya orang-orang yang kuliah biasa-biasa saja tetapi memiliki kehidupan lebih baik, telah menampar saya.


Sementara saya berkutat berusaha mengikuti ritme belajar yang ketat, deadline tugas makin berat, saya terduduk diam... untuk apa sebenarnya segala kepusingan ini? Masa depan yang baik? Sepertinya tidak, atau setidaknya belum. Paling banter, mungkin saya bisa menjadi pengajar. Artinya, saya berkutat pada pendidikan yang menghasilkan kerja pendidikan.


Karena pertanyaan-pertanyaan ini, saya juga memikirkan apa yang terjadi dalam kultur sekolah. Umumnya siswa-siswa juga tidak diajari kemampuan spesifik untuk dapat bertahan hidup dengan layak menghadapi dunia kerja. Kebanyakan mereka sibuk diberikan pelajaran-pelajaran standar yang mereka juga bosan menghadapinya. Kalau boleh saya simpulkan, berdasarkan opini-opini para guru saya, sebenarnya sekolah kita tidak punya rumusan yang jelas tentang model pendidikan; akan dibekali apa para murid untuk menghadapi masa depan.


Umumnya sekolah sibuk dengan jargon-jargon abstrak: Ingin menciptakan generasi agamis atau berakhlak mulia, yang jangan-jangan juga gagal. Sebab, apa parameter untuk mengukur tujuan mulia ini? pernahkah sekolah melalukan evaluasi terhadap apa yang mereka rumuskan. Jika iya, bagaimana hasilnya? Jika tidak, apa sebenarnya fungsi rumusan abstrak itu?


Well, jika pelajaran di sekolah atau kuliah tidak memiliki korelasi positif dengan dunia kerja, lalu untuk apa siswa belajar mati-matian menghadapi ujian? Apa untungnya mahasiswa yang rajin kuliah dan mengerjakan tugas? Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi? Shadguru Jaggi Pasudev, seorang bijak dan mistikus terkemuka dari India, pernah mengatakan: Seseorang pernah berpendapat bahwa pendidikan adalah kejahatan yang diperlukan. Dan Shadguru menyimpulkan bahwa pendidikan yang keliru adalah bentuk kekejaman lain sebab mengandung bahan bakar kemanusiaan.


Jangan-jangan itu benar.

Harap

Apa yang kita harapkan dari perguruan tinggi, ketika tulisan makalah, jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi, bisa dibeli?

Selasa, 12 Oktober 2021

Sebuah Epik yang Sederhana

Untuk Bahar

 

Jika ada seorang agamawan berbuat tidak patut, ia akan mengatakan bahwa agamawan tersebut tidak perlu dihormati. Jika ada pejabat kampus mengambil kebijakan buruk dan ia punya pengaruh bertindak, ia akan sigap bertindak: melabrak. Pernah satu ketika ia menunjukkan beberapa pejabat kampus mengirim permintaan maaf kepadanya. Mungkin tidak banyak yang tahu soal ini, sebab ia memang sering bertindak dalam senyap.


Ia berani dan jujur.


Dalam dua hal di atas, Bahar konsisten—setidaknya sejauh ini. Ia bukan orang yang gemar menyembah sosok tertentu demi kepentingan pribadi. Ia bukan penjilat siapapun. Bahkan, saya kira, jika Tuhan mengirim nasib tidak baik setelah Bahar melakukan usaha terbaik, ia akan menggerutui Tuhan. “...bersyukur tidak semudah dulu,” tulisnya. Dan saya setuju, sebab bagi kaum non-fatalis lebih mudah mengikuti logika Voltaire ketimbang Leibniz.


Suatu malam di sebuah dapur, setelah kami bercakap cukup lama, ia menyimpulkan, “Berarti agamawan berpotensi menggunakan agama sebagai alat, seperti kapitalis. Kapitalis religius.” Sebagaimana kapitalis lain, agamawan kerap menjerat kelas bawah. Dengan kata lain, penindasan. Kira-kira itulah arah obrolan kami. “Berarti menjadi bebas sepertiku mahal harganya,” simpulnya.


“Mahal sekali,” kata saya.


Itulah yang saya iri betul kepadanya. Ia bebas, tidak terikat pada orang lain. Apa yang dilakukannya besok tidak ditentukan oleh orang lain. Mulutnya juga ringan-ringan saja mengeluarkan kalimat-kalimat ceplas-ceplos tentang apa saja. Artinya, ia bukan orang yang ingin menjaga image untuk, misalnya, tampak pintar, atau tampak romantis, atau tampak sopan. Ia bebas. Tetapi, kehidupan memaksa orang untuk melakukan hal-hal secara terpaksa, saya harap ia akan tetap bebas. Terutama bebas untuk jujur.


Sebagai seorang aktivis, ia tidak mempertahankan idealisme klise, bahwa segala kepentingan-kepentingan luhur steril kepentingan uang. Bahkan ia melihat bahwa idealisme juga butuh uang. Dengan pandangan seperti itu, ia tidak akan ndakik-ndakik menafikan kekuatan uang di bawah idealisme taik kucing. Kami juga sering bertukar gosip, bahwa banyak sekali pejabat memilih jalur korupsi setelah sebelumnya menjadi mahasiswa idealis.


Entah kenapa, di ujung dari tiap tujuan, uang selalu menjadi tuan. Ia sadar poin ini. Sekali lagi, ia bersikap jujur serta menjauhi sikap polos.


Yang paling saya catat dari Bahar, setidaknya ketika ia duduk bersama saya, ia tidak pernah menampilkan diri untuk membuat orang lain terkesan padanya. Saya bayangkan, ketika ada orang baru kenal duduk bersamanya, kemungkinan Bahar tidak akan menunjukkan hasil bacaan-bacaan buku kepada orang asing ini. Ia mungkin hanya akan membahas hal-hal remeh tentang kehidupan sehari-hari. Padahal, jika orang asing itu tahu, Bahar termasuk pembaca kelas berat.


Sebagai mahasiswa filsafat, ia dituntut mengetahui peta pemikiran kontemplatif para filosof. Saya sudah melihat ia membaca buku-buku bagus. Tetapi, jika tidak dipancing, ia selalu tenang untuk menyimpan hasil bacaannya. Bahkan bisa saja ia bersikap layaknya orang bodoh, sambil diam-diam punya ukuran terhadap lawan bicaranya. Sebab ia orang yang pandai menyimpulkan.


Satu tahun belakangan, ia kerap menulis tentang banyak orang—di laman Facebooknya. Saya baca satu-persatu, untuk melihat bagaimana caranya meng-abstraksi sosok yang ia tulis. Dalam rentang waktu tersebut, ia selalu lihai menyimpulkan sikap dan kepribadian orang dalam satu benang merah: bahwa orang lain memiliki kelebihan tertentu, dan kekurangan tertentu, di mana kelebihan tersebut patut dicatat, dan kekurangannya tidak terlalu penting.


Dari tulisan-tulisan itu, ia menghadirkan sosok yang pokok dan, jika dilihat lebih lanjut, sosok itu menjadi pokok karena daya simpulatif yang lincah.


Pada titik ini, ia benar-benar orang menyenangkan untuk diajak bercakap-cakap: tidak berusaha sedemikian rupa untuk membuat orang lain terkesan dengan setumpuk bacaannya, alih-alih, ia tampil sederhana. Itulah kenapa, banyak kawan-kawan dengan enteng melontarkan olok-olok kepadanya, meski mungkin mereka tahu daya baca-tulis Bahar tidak bisa diremehkan, dan karenanya menyimpan sikap respek tinggi.


Bagi saya, ia adalah apa yang digambarkan Hemingway, “Hindari yang monumental. Hindari epik. Semua orang yang mampu melukis besar dan bagus selalu mampu melukis gambar kecil yang bagus.”


Kawan-kawan mungkin selalu tidak segan pada sosoknya, justru karena Bahar memang menghindari epik. Dengan itu ia sebuah “kecil yang monumental”, dan ia menjadi demikian karena selalu jujur. Dan berani jujur.

Senin, 11 Oktober 2021

Fatah Qalbi

 Wahai orang-orang yang beriman, waspadalah! Sesungguhnya orang yang selalu kamu ikuti media sosialnya, atau dia yang selalu kamu chat untuk kau tarik perhatiannya, yang pesan WhatsApp-mu tak kunjung berbalas betapapun telah centang biru dua, mungkin ia sedang berasyik mesra dengan seseorang yang jauh di atas kamu. Diwajibkan atas kamu untuk bercermin, sebagaimana kaum terdahulu bercermin, supaya kamu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tahu diri.


Q.S. Fatah Qalbi ayat 1.