Selasa, 12 Oktober 2021

Sebuah Epik yang Sederhana

Untuk Bahar

 

Jika ada seorang agamawan berbuat tidak patut, ia akan mengatakan bahwa agamawan tersebut tidak perlu dihormati. Jika ada pejabat kampus mengambil kebijakan buruk dan ia punya pengaruh bertindak, ia akan sigap bertindak: melabrak. Pernah satu ketika ia menunjukkan beberapa pejabat kampus mengirim permintaan maaf kepadanya. Mungkin tidak banyak yang tahu soal ini, sebab ia memang sering bertindak dalam senyap.


Ia berani dan jujur.


Dalam dua hal di atas, Bahar konsisten—setidaknya sejauh ini. Ia bukan orang yang gemar menyembah sosok tertentu demi kepentingan pribadi. Ia bukan penjilat siapapun. Bahkan, saya kira, jika Tuhan mengirim nasib tidak baik setelah Bahar melakukan usaha terbaik, ia akan menggerutui Tuhan. “...bersyukur tidak semudah dulu,” tulisnya. Dan saya setuju, sebab bagi kaum non-fatalis lebih mudah mengikuti logika Voltaire ketimbang Leibniz.


Suatu malam di sebuah dapur, setelah kami bercakap cukup lama, ia menyimpulkan, “Berarti agamawan berpotensi menggunakan agama sebagai alat, seperti kapitalis. Kapitalis religius.” Sebagaimana kapitalis lain, agamawan kerap menjerat kelas bawah. Dengan kata lain, penindasan. Kira-kira itulah arah obrolan kami. “Berarti menjadi bebas sepertiku mahal harganya,” simpulnya.


“Mahal sekali,” kata saya.


Itulah yang saya iri betul kepadanya. Ia bebas, tidak terikat pada orang lain. Apa yang dilakukannya besok tidak ditentukan oleh orang lain. Mulutnya juga ringan-ringan saja mengeluarkan kalimat-kalimat ceplas-ceplos tentang apa saja. Artinya, ia bukan orang yang ingin menjaga image untuk, misalnya, tampak pintar, atau tampak romantis, atau tampak sopan. Ia bebas. Tetapi, kehidupan memaksa orang untuk melakukan hal-hal secara terpaksa, saya harap ia akan tetap bebas. Terutama bebas untuk jujur.


Sebagai seorang aktivis, ia tidak mempertahankan idealisme klise, bahwa segala kepentingan-kepentingan luhur steril kepentingan uang. Bahkan ia melihat bahwa idealisme juga butuh uang. Dengan pandangan seperti itu, ia tidak akan ndakik-ndakik menafikan kekuatan uang di bawah idealisme taik kucing. Kami juga sering bertukar gosip, bahwa banyak sekali pejabat memilih jalur korupsi setelah sebelumnya menjadi mahasiswa idealis.


Entah kenapa, di ujung dari tiap tujuan, uang selalu menjadi tuan. Ia sadar poin ini. Sekali lagi, ia bersikap jujur serta menjauhi sikap polos.


Yang paling saya catat dari Bahar, setidaknya ketika ia duduk bersama saya, ia tidak pernah menampilkan diri untuk membuat orang lain terkesan padanya. Saya bayangkan, ketika ada orang baru kenal duduk bersamanya, kemungkinan Bahar tidak akan menunjukkan hasil bacaan-bacaan buku kepada orang asing ini. Ia mungkin hanya akan membahas hal-hal remeh tentang kehidupan sehari-hari. Padahal, jika orang asing itu tahu, Bahar termasuk pembaca kelas berat.


Sebagai mahasiswa filsafat, ia dituntut mengetahui peta pemikiran kontemplatif para filosof. Saya sudah melihat ia membaca buku-buku bagus. Tetapi, jika tidak dipancing, ia selalu tenang untuk menyimpan hasil bacaannya. Bahkan bisa saja ia bersikap layaknya orang bodoh, sambil diam-diam punya ukuran terhadap lawan bicaranya. Sebab ia orang yang pandai menyimpulkan.


Satu tahun belakangan, ia kerap menulis tentang banyak orang—di laman Facebooknya. Saya baca satu-persatu, untuk melihat bagaimana caranya meng-abstraksi sosok yang ia tulis. Dalam rentang waktu tersebut, ia selalu lihai menyimpulkan sikap dan kepribadian orang dalam satu benang merah: bahwa orang lain memiliki kelebihan tertentu, dan kekurangan tertentu, di mana kelebihan tersebut patut dicatat, dan kekurangannya tidak terlalu penting.


Dari tulisan-tulisan itu, ia menghadirkan sosok yang pokok dan, jika dilihat lebih lanjut, sosok itu menjadi pokok karena daya simpulatif yang lincah.


Pada titik ini, ia benar-benar orang menyenangkan untuk diajak bercakap-cakap: tidak berusaha sedemikian rupa untuk membuat orang lain terkesan dengan setumpuk bacaannya, alih-alih, ia tampil sederhana. Itulah kenapa, banyak kawan-kawan dengan enteng melontarkan olok-olok kepadanya, meski mungkin mereka tahu daya baca-tulis Bahar tidak bisa diremehkan, dan karenanya menyimpan sikap respek tinggi.


Bagi saya, ia adalah apa yang digambarkan Hemingway, “Hindari yang monumental. Hindari epik. Semua orang yang mampu melukis besar dan bagus selalu mampu melukis gambar kecil yang bagus.”


Kawan-kawan mungkin selalu tidak segan pada sosoknya, justru karena Bahar memang menghindari epik. Dengan itu ia sebuah “kecil yang monumental”, dan ia menjadi demikian karena selalu jujur. Dan berani jujur.