Untuk Bahar
Jika ada
seorang agamawan berbuat tidak patut, ia akan mengatakan bahwa agamawan
tersebut tidak perlu dihormati. Jika ada pejabat kampus mengambil kebijakan
buruk dan ia punya pengaruh bertindak, ia akan sigap bertindak: melabrak.
Pernah satu ketika ia menunjukkan beberapa pejabat kampus mengirim permintaan
maaf kepadanya. Mungkin tidak banyak yang tahu soal ini, sebab ia memang sering
bertindak dalam senyap.
Ia berani dan
jujur.
Dalam dua hal
di atas, Bahar konsisten—setidaknya sejauh ini. Ia bukan orang yang gemar
menyembah sosok tertentu demi kepentingan pribadi. Ia bukan penjilat siapapun.
Bahkan, saya kira, jika Tuhan mengirim nasib tidak baik setelah Bahar melakukan
usaha terbaik, ia akan menggerutui Tuhan. “...bersyukur tidak semudah dulu,” tulisnya.
Dan saya setuju, sebab bagi kaum non-fatalis lebih mudah mengikuti logika
Voltaire ketimbang Leibniz.
Suatu malam di
sebuah dapur, setelah kami bercakap cukup lama, ia menyimpulkan, “Berarti agamawan
berpotensi menggunakan agama sebagai alat, seperti kapitalis. Kapitalis
religius.” Sebagaimana kapitalis lain, agamawan kerap menjerat kelas bawah.
Dengan kata lain, penindasan. Kira-kira itulah arah obrolan kami. “Berarti
menjadi bebas sepertiku mahal harganya,” simpulnya.
“Mahal sekali,”
kata saya.
Itulah yang
saya iri betul kepadanya. Ia bebas, tidak terikat pada orang lain. Apa yang
dilakukannya besok tidak ditentukan oleh orang lain. Mulutnya juga ringan-ringan saja
mengeluarkan kalimat-kalimat ceplas-ceplos tentang apa saja. Artinya, ia bukan
orang yang ingin menjaga image untuk, misalnya, tampak pintar, atau tampak
romantis, atau tampak sopan. Ia bebas. Tetapi, kehidupan memaksa orang untuk
melakukan hal-hal secara terpaksa, saya harap ia akan tetap bebas. Terutama bebas
untuk jujur.
Sebagai seorang
aktivis, ia tidak mempertahankan idealisme klise, bahwa segala kepentingan-kepentingan
luhur steril kepentingan uang. Bahkan ia melihat bahwa idealisme juga butuh
uang. Dengan pandangan seperti itu, ia tidak akan ndakik-ndakik menafikan
kekuatan uang di bawah idealisme taik kucing. Kami juga sering bertukar gosip,
bahwa banyak sekali pejabat memilih jalur korupsi setelah sebelumnya menjadi
mahasiswa idealis.
Entah kenapa,
di ujung dari tiap tujuan, uang selalu menjadi tuan. Ia sadar poin ini. Sekali
lagi, ia bersikap jujur serta menjauhi sikap polos.
Yang paling
saya catat dari Bahar, setidaknya ketika ia duduk bersama saya, ia tidak pernah
menampilkan diri untuk membuat orang lain terkesan padanya. Saya bayangkan,
ketika ada orang baru kenal duduk bersamanya, kemungkinan Bahar tidak akan
menunjukkan hasil bacaan-bacaan buku kepada orang asing ini. Ia mungkin hanya
akan membahas hal-hal remeh tentang kehidupan sehari-hari. Padahal, jika orang
asing itu tahu, Bahar termasuk pembaca kelas berat.
Sebagai mahasiswa
filsafat, ia dituntut mengetahui peta pemikiran kontemplatif para filosof. Saya
sudah melihat ia membaca buku-buku bagus. Tetapi, jika tidak dipancing, ia
selalu tenang untuk menyimpan hasil bacaannya. Bahkan bisa saja ia bersikap
layaknya orang bodoh, sambil diam-diam punya ukuran terhadap lawan bicaranya. Sebab
ia orang yang pandai menyimpulkan.
Satu tahun
belakangan, ia kerap menulis tentang banyak orang—di laman Facebooknya. Saya baca
satu-persatu, untuk melihat bagaimana caranya meng-abstraksi sosok yang ia
tulis. Dalam rentang waktu tersebut, ia selalu lihai menyimpulkan sikap dan
kepribadian orang dalam satu benang merah: bahwa orang lain memiliki kelebihan tertentu,
dan kekurangan tertentu, di mana kelebihan tersebut patut dicatat, dan
kekurangannya tidak terlalu penting.
Dari tulisan-tulisan
itu, ia menghadirkan sosok yang pokok dan, jika dilihat lebih lanjut, sosok itu
menjadi pokok karena daya simpulatif yang lincah.
Pada titik ini,
ia benar-benar orang menyenangkan untuk diajak bercakap-cakap: tidak berusaha
sedemikian rupa untuk membuat orang lain terkesan dengan setumpuk bacaannya, alih-alih,
ia tampil sederhana. Itulah kenapa, banyak kawan-kawan dengan enteng
melontarkan olok-olok kepadanya, meski mungkin mereka tahu daya baca-tulis Bahar
tidak bisa diremehkan, dan karenanya menyimpan sikap respek tinggi.
Bagi saya, ia
adalah apa yang digambarkan Hemingway, “Hindari yang monumental. Hindari epik. Semua
orang yang mampu melukis besar dan bagus selalu mampu melukis gambar kecil yang
bagus.”
Kawan-kawan
mungkin selalu tidak segan pada sosoknya, justru karena Bahar memang
menghindari epik. Dengan itu ia sebuah “kecil yang monumental”, dan ia menjadi demikian
karena selalu jujur. Dan berani jujur.