Kamis, 22 Juli 2021

Demam, Malam, Ambulan

 Perasaan bisa melakukan apapun sendirian akan luntur ketika sakit. Nasihat menjaga kesehatan pun tidak lagi terasa cemen. 

 

Saya demam. Tubuh melemah dan mengganggu banyak aktivitas. Demam itu makin parah sebab saya tidak mungkin merepotkan orang lain: Semua aktivitas seperti masak dan mencuci masih saya tangani sendiri. Membeli obat dan sesekali makan di luar juga saya lakukan sendiri. Jika ada kebutuhan lain juga masih saya tangani sendiri. 

 

Seminggu sebelum demam, saya telah divaksin Covid-19, karena itu kecil kemungkinan demam ini adalah efek vaksinasi. Saya curiga apakah saya telah terinfeksi Covid-19. Tetapi saya tidak melakukan kontak dengan siapapun. Kawan-kawan yang saya temui setelah vaksin—segelintir kawan, maksud saya—masih sehat-sehat saja. Jika saya membawa virus ketika bertemu, seharusnya kawan-kawan saya sudah sakit pula.

 

Bahkan orang yang berada satu atap dengan saya, hingga ketika tulisan ini saya susun, masih sehat-sehat saja. Padahal ia tidak berusaha menjaga jarak dengan saya, bahkan ia ikut makan masakan saya. 

 

Masih ada kemungkinan terakhir: jika pun saya terinfeksi virus dan kawan-kawan masih sehat, mungkin mereka termasuk OTG (orang tanpa gejala). Tetapi fakta bahwa ada juga bapak dan ibu kos yang kontak erat dengan saya selama masa seminggu sebelum demam itu, dan masih sehat-sehat saya hingga sekarang, juga membingungkan. Bahkan salah satu kawan yang saya temui termasuk penderita penyakit yang tidak ringan. Dan ia baik-baik saja.

 

Rangkaian orang-orang itu, apalagi yang sekarang satu atap dan masih sehat, membuat saya tidak bisa menyimpulkan apakah saya terinfeksi Covid-19 atau tidak. 

 

Apapun itu, demam kali ini adalah demam yang tidak biasa seperti demam yang sudah-sudah. Atmosfer pandemi membuat ia makin dramatis. Apalagi demam ini benar-benar mempermainkan saya. Satu hari tubuh menggigil, satu hari kemudian tubuh sehat seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu demam lagi, dan sembuh lagi. Benar-benar tidak stabil.

 

Pikiran makin terpecah ketika Ibu nelpon untuk satu keperluan dan mendapati suara saya berat. Seketika Ibu tahu saya sakit. Ketika saya mengabari bahwa sedang demam, ia langsung bersiap-siap untuk menjemput saya. Belum saatnya kembali kerumah, pikir saya. Ada rencana lain yang harus berjalan semestinya. 

 

Dan ketika terbaring mendapati badan menggigil, rumah menjadi utopia surga. 

 

Memang hanya demam, tetapi ia tetap saja demam. Bagian tubuh saya seperti diseduh bara api, sedangkan lapisan kulit bagian luar mudah saja merasa kedinginan oleh udara. Puncaknya ketika dini hari, semua elemen-elemen itu makin menjadi-jadi. Bahkan ketika keringat bercucuran dibalik selimut jaket, udara masih terasa menggigit. Dan suara sirine ambulan yang berbunyi hampir tiap jam bahkan ketika dini hari, membuat pikiran saya memaki, “Brengsek!”

 

Ketika pagi hari setelah melewati perang itu, tubuh saya seperti sedikit normal. Inilah yang membuat malam hari terasa menakutkan. Dan demam yang tiba-tiba datang itu membuat pikiran tidak stabil. Betapapun demam ini mengerikan di malam hari, ia hanya menggurat satu kesimpulan mutlak: Saya tak bisa hidup sendiri, dan nasihat menjaga kesehatan tidak pernah menjadi remeh. 

 

So, jagalah kesehatan, sebaik dan semampu anda.

 

Bagaimana

 

Saya gemar melihat foto-foto orang pintar. Saya melihat foto-foto itu dengan ketakjuban lugu: Bagaimana cara mereka belajar?

Senin, 19 Juli 2021

Menjalani Hidup dari Kebohongan

 Anggrek Lebah salah satu tanaman yang pandai menipu: Ia mengeluarkan feromon dan pewarna untuk membuat pria-pria tawon bergairah dan membodohi mereka: Para pria tawon merasa bersenggama melalui bersentuhan dengan si anggrek. Padahal itu cara anggrek menyebar serbuk sari. Dalam dunia alam, tipu menipu adalah perkara alamiah. Dan setelah melalui riset mendalam, Pamela Mayer meyimpulkan, bahwa dalam dunia sosial manusia, tidak berbeda dengan dunia alam, berbohong adalah blok utama penopang kehidupan sapiens.

 

Bu Mayer, penulis buku Liespotting itu, menunjukkan data menarik: Rata-rata orang berbohong 10-200 kali sehari. Jika anda bertemu orang asing, ia kemungkinan berbohong tiga kali dalam sepuluh menit pertama ketika bertemu anda. Tidak semua kebohongan buruk, tentu saja. Ada jenis kebohongan yang diucapkan untuk mempertahankan hubungan harmonis, misalnya, “Masakanmu enak sekali, Sayang!”

 

Tetapi bagaimanapun ada kehobongan yang merugikan kita, yang melukai kepercayaan kita, yang membuat kita menarik jarak. 

 

Setelah menyimak ilmu Bu Mayer, saya lantas menyadari, terlalu banyak kebohongan yang saya produksi, baik kebohongan ringan maupun serius, untuk tujuan negatif maupun positif. Dan setiap kebohongan, mengandung motif tertentu. Motiflah yang menggerakkan kebohongan.  

 

Jika ingatan saya berfungsi dengan baik, saya telah banyak melakukan dusta tentang motivasi menulis di blog yang terlalu melangit, “Hanya ingin menulis, tidak peduli dibaca atau tidak,” kata saya pada entah berapa orang. Tentu saja itu bohong. Ayu Utami telah menampar banyak penulis dengan motivasi semu semacam itu, bahwa tiap tulisan ditulis untuk dibaca, minimal oleh diri sendiri. 

 

Apa jadinya jika penulis buku menulis tanpa motivasi dibaca orang? 

 

Dan diakui atau tidak, kita senang jika tulisan kita dibaca banyak orang, eh? Dengan demikian, pengakuan saya pada orang-orang tentang menulis di blog, adalah hasrat merendah yang malu-malu kucing. Jaim. Saya geli ketika menyadari itu. Tentu saja saya menulis untuk dibaca orang, minimal saya sendiri. Bahwa ada orang lain yang membaca, saya turut senang. 

 

Saya harus mengakui kebohongan itu sekarang, sebab kadang kejujuran yang tampil betapapun culas lebih mudah dihargai ketimbang kebohongan yang hanya menyimpan kerendahhatian palsu. 

 

Bergeser pada jenis kebohongan lain, kenalan saya, ada yang menjadikan Twitter sebagai pelarian. Ia butuh tempat curhat yang tidak bisa dibaca orang. Karena itu, ketika saya follow akunnya, ia mengeluh tidak bisa leluasa curhat. Saya heran, jika ia memang butuh tempat curhat yang tidak dapat diakses orang, mengapa ia tidak menulis saja di Microsoft Word?

 

Tentang media sosial sebagai media curhat, kita perlu mendengar Jonny Sun, ngoceh di media sosial “seperti anda sedang menulis di buku harian persoal intim yang sepenuhnya pribadi, namun pada saat yang sama anda ingin semua orang membacanya.” Dengan kata lain, standar ganda. Saya pikir kalimat Pak Sun perlu diberi catatan tambahan: Kita ingin tulisan kita dibaca orang yang kita kehendaki; orang yang kita anggap tidak akan menganggu kita, langsung maupun tidak. 

 

Memang kita tidak pernah bisa mengelak dari kebutuhan psikologi untuk diperhatikan. Kebutuhan itulah yang samar-samar ada di balik media sosial. Tetapi entah mengapa, kita malu untuk mengakui. 

 

Ada banyak riset tentang manfaat media sosial, pun efek buruk media sosial, termasuk... melatih kebohongan kita. Pada akhirnya, media sosial menjadi display sekaligus pintu masuk menuju definisi tentang diri sendiri. Dan itu dapat saja dibangun dari akar kebohongan. Jangan-jangan kita dikepung kebohongan. Akhirnya suara Bu Mayer makin kuat, kita membangun kehidupan melalui kebohongan demi kebohongan.