Anggrek Lebah salah satu tanaman yang pandai menipu: Ia mengeluarkan feromon dan pewarna untuk membuat pria-pria tawon bergairah dan membodohi mereka: Para pria tawon merasa bersenggama melalui bersentuhan dengan si anggrek. Padahal itu cara anggrek menyebar serbuk sari. Dalam dunia alam, tipu menipu adalah perkara alamiah. Dan setelah melalui riset mendalam, Pamela Mayer meyimpulkan, bahwa dalam dunia sosial manusia, tidak berbeda dengan dunia alam, berbohong adalah blok utama penopang kehidupan sapiens.
Bu Mayer, penulis buku Liespotting itu, menunjukkan data menarik: Rata-rata orang berbohong 10-200 kali sehari. Jika anda bertemu orang asing, ia kemungkinan berbohong tiga kali dalam sepuluh menit pertama ketika bertemu anda. Tidak semua kebohongan buruk, tentu saja. Ada jenis kebohongan yang diucapkan untuk mempertahankan hubungan harmonis, misalnya, “Masakanmu enak sekali, Sayang!”
Tetapi bagaimanapun ada kehobongan yang merugikan kita, yang melukai kepercayaan kita, yang membuat kita menarik jarak.
Setelah menyimak ilmu Bu Mayer, saya lantas menyadari, terlalu banyak kebohongan yang saya produksi, baik kebohongan ringan maupun serius, untuk tujuan negatif maupun positif. Dan setiap kebohongan, mengandung motif tertentu. Motiflah yang menggerakkan kebohongan.
Jika ingatan saya berfungsi dengan baik, saya telah banyak melakukan dusta tentang motivasi menulis di blog yang terlalu melangit, “Hanya ingin menulis, tidak peduli dibaca atau tidak,” kata saya pada entah berapa orang. Tentu saja itu bohong. Ayu Utami telah menampar banyak penulis dengan motivasi semu semacam itu, bahwa tiap tulisan ditulis untuk dibaca, minimal oleh diri sendiri.
Apa jadinya jika penulis buku menulis tanpa motivasi dibaca orang?
Dan diakui atau tidak, kita senang jika tulisan kita dibaca banyak orang, eh? Dengan demikian, pengakuan saya pada orang-orang tentang menulis di blog, adalah hasrat merendah yang malu-malu kucing. Jaim. Saya geli ketika menyadari itu. Tentu saja saya menulis untuk dibaca orang, minimal saya sendiri. Bahwa ada orang lain yang membaca, saya turut senang.
Saya harus mengakui kebohongan itu sekarang, sebab kadang kejujuran yang tampil betapapun culas lebih mudah dihargai ketimbang kebohongan yang hanya menyimpan kerendahhatian palsu.
Bergeser pada jenis kebohongan lain, kenalan saya, ada yang menjadikan Twitter sebagai pelarian. Ia butuh tempat curhat yang tidak bisa dibaca orang. Karena itu, ketika saya follow akunnya, ia mengeluh tidak bisa leluasa curhat. Saya heran, jika ia memang butuh tempat curhat yang tidak dapat diakses orang, mengapa ia tidak menulis saja di Microsoft Word?
Tentang media sosial sebagai media curhat, kita perlu mendengar Jonny Sun, ngoceh di media sosial “seperti anda sedang menulis di buku harian persoal intim yang sepenuhnya pribadi, namun pada saat yang sama anda ingin semua orang membacanya.” Dengan kata lain, standar ganda. Saya pikir kalimat Pak Sun perlu diberi catatan tambahan: Kita ingin tulisan kita dibaca orang yang kita kehendaki; orang yang kita anggap tidak akan menganggu kita, langsung maupun tidak.
Memang kita tidak pernah bisa mengelak dari kebutuhan psikologi untuk diperhatikan. Kebutuhan itulah yang samar-samar ada di balik media sosial. Tetapi entah mengapa, kita malu untuk mengakui.
Ada banyak riset tentang manfaat media sosial, pun efek buruk media sosial, termasuk... melatih kebohongan kita. Pada akhirnya, media sosial menjadi display sekaligus pintu masuk menuju definisi tentang diri sendiri. Dan itu dapat saja dibangun dari akar kebohongan. Jangan-jangan kita dikepung kebohongan. Akhirnya suara Bu Mayer makin kuat, kita membangun kehidupan melalui kebohongan demi kebohongan.