Tetap berada dalam kondisi pikiran dingin bahkan ketika keadaan diri berada dalam kondisi buruk, merupakan proses belajar seumur hidup.
Sebagai sebuah ucapan, kalimat di atas mudah ditulis, mudah diomongkan. Terutama oleh pribadi yang hanya sekualitas saya. Di catatan terakhir bulan lalu, saya menulis kejengkelan karena tulisan diplagiat, nyaris semua jenis tulisan saya. Sebenarnya, yang saya sebut “tulisan saya” itu tidak lebih dari sekedar tulisan jurnal, tulisan makalah, tulisan Facebook, tulisan blog; tulisan-tulisan yang sebenarnya terlalu sederhana untuk diplagiasi, apalagi untuk saya marah-marah karena dijiplak.
Bahwa tulisan-tulisan itu saya usahakan untuk lahir dari proses sebaik mungkin, dan tidak mudah, itu hanya saya yang tahu. Tetapi reaksi saya lewat tulisan bulan lalu, telah membuat saya bertanya: Pantas aku jengkel seperti itu? Kenapa harus jengkel? Saya merasa bersyukur sempat sampai pada titik pikiran itu. Ada sesuatu yang saya dapat.
Jika bertanya pada kawan, pantas saya jengkel seperti itu, mereka mungkin akan menjawab sah saja. “Karena itu tulisanmu,” begitu saya bayangkan mereka menjawab. Tetapi saya bertanya pada diri sendiri, dan mendapati jawaban seperti ini: “Jika karya besar, mungkin kau pantas jengkel. Jika tulisan sederhana, jelas tidak pantas.”
Saya menggugat diri sendiri. Kualitas tulisan, entah itu buku atau hanya esai pendek, jangan-jangan, tidak ditentukan realitas karya itu sendiri. Tidak peduli karya itu buku, atau surat, ia seringkali diidentifikasi berdasarkan ego. Ketika ego itu melangit, ia jelas akan mengatakan bahwa suratpun sebuah karya, terutama jika surat itu bagus. Tetapi bagus atau tidak juga seringkali diidentifikasi oleh ego.
Maka egolah yang bahaya. Fakta bahwa saya mereaksi plagiat itu dengan tulisan yang cukup kasar—bagi yang merasa, adalah refleksi dari pikiran yang cetek. Kenapa saya tidak santai-santai saja tulisan sederhana itu dijiplak. Toh saya tidak rugi apa-apa, kecuali perasaan ego yang terluka. Selebihnya si penjiplaklah merugi sepenuhnya. Kita tahu, tulisan mahasiswa yang diplagiat oleh rektor akhir-akhir ini, telah menunjukkan banyak hal, salah satunya betapa si rektor tidak merefleksikan akademisi berintegritas.
Si rektorlah yang merugi, ia dikenang sebagai plagiator. Si mahasiswa aman-aman saja. Dua posisi itu sebenarnya cukup sederhana untuk disadari, tetapi saya telat berpikir.
Dalam proses belajar menulis, dulu saya juga sering melakukan plagiasi. Jika misalnya, si penulis asli menggugat saya, kira-kira apa yang akan saya lakukan? Membela diri! Sebab itulah tabiat manusia. Bentuk membela diri itu mungkin berbeda-beda, tetapi ia sering berupa membangun argumentasi yang mendukung, dan menghindari fakta berlawanan.
Di masa lalu saya juga sering melakukan hal-hal memalukan, misalnya, berkhianat pada kekasih. Pada kekasih berikutnya, saya mendapat giliran karma alam: dikhianati. Tetapi yang akan saya tonjolkan sebagai citra diri, tentulah fakta bahwa saya dikhianati kekasih, bahwa saya lelaki setia, dan, pada sisi lain, membelakangi fakta bahwa saya juga pernah berkhianat. Pola untuk hal ini nyaris selalu sama: Untuk memenuhi superioritas diri, kadang perlu mengeliminasi fakta berlawanan, betapapun itu harus menjatuhkan orang lain.
Itu soal kesalahan dalam hubungan. Kembali pada bagaimana jika saya digugat karena plagiat? Saya bisa mengatakan bahwa saya tidak melakukan plagiasi, sambil menunjukkan tulisan original, lalu segera membereskan seluruh jejak yang berpotensi digugat. Dengan kata lain, gugatan untuk saya itu masih bisa diatasi.
Dan kritikan saya pada plagiator adalah hal percuma, sebab, seperti kata Dale Carnegie, “Mereka yang bersalah menyalahkan orang lain selain diri mereka sendiri.”
Pak Carnegie membagikan pengalamannya yang bagus. Ketika masih muda, ia pernah mengirim surat pada Ricard Harding Davis, sastrawan besar Amerika, isinya soal permintaan wawancara metode Davis menulis. Di bawah surat, Pak Carnegie memberi catatan, “Didiktekan tetapi tidak dibaca.” Sebuah pernyataan atau usaha untuk memberi kesan bahwa si pengirim pesan adalah orang besar, orang penting, orang sibuk.
Tetapi Davis menganggap catatan penutup itu sebenarnya tidak perlu, dan berlebihan. Ia tersinggung, selanjutnya mengembalikan surat itu dengan catatan tambahan, “Sikap Anda yang buruk hanya dilampaui oleh sikap Anda yang buruk.” Pak Carnegie sadar ia melakukan kesalahan, dan mengaku patut mendapat kritik itu.
Tetapi, sebagai manusia, saya menolaknya, katanya. “Saya menolaknya dengan sakit hati sehingga ketika saya membaca tentang kematian Richard Harding Davis sepuluh tahun kemudian, satu-satunya pikiran yang menetap dalam benak saya—saya malu mengakuinya—adalah rasa sakit hati yang ia berikan pada saya.”
Pak Carnegie, bapak motivator itu, menggambarkan bagaimana kritik melekat secara buruk dalam ingatan si penerima. Melalui pengalaman berharga itu, dan pengalaman tokoh dunia lain yang ia tulis dalam karya-karyanya, ia menganjurkan kritik disampaikan dengan cara patut: Tidak disampaikan selama bisa.
Kritik atau gugatan seringkali tidak bekerja sesuai sangka si pengkritik, alih-alih, kritik itu akan kembali—cepat atau lambat—seperti penyu yang kembali bertelur di tempat di mana ia menetas, tidak peduli telah sejauh apa ia mengelilingi dunia, penyu selalu pulang, seperti kritik. Bahkan kritik sering pulang dengan tambahan cacian. Dengan kritik itu pula, saya mungkin kehilangan hasrat baik orang lain, meski ia telah berbuat tidak baik pada saya.
Sekarang mungkin saya akan mengusahakan diri lebih santai. Sebab plagiasi adalah kerugian plagiator. Toh orang-orang akan tahu mana si penulis original, mana si plagiator. Dengan kata lain, alam telah menyediakan seleksi. Ketika melihat tulisan saya dijiplak, saya tentu menyimpan khotbah dalam kepala berikut nafsu untuk merubah orang itu menjadi lebih baik. Tetapi sekarang saya pikir itu percuma, untuk apa merubah orang?
Lebih baik saya memperbaiki diri sendiri.