Minggu, 21 Maret 2021

Jadi Anak Kos

 Seperti mendapat kekuasaan untuk menentukan nasib sendiri, saya merasa menjadi manusia baru.

 

Perasaan berbunga-bunga itu muncul sebab saya telah resmi menjadi anak kos—meski mungkin hanya beberapa bulan. Tidak ada kelebihan khusus, apalagi mewah, selain bahwa sekarang saya dapat bangun sesiang yang saya kehendaki; saya bisa pulang selarut yang saya bisa; saya bisa bermalas-malasan jika mau; saya bisa mengisi kamar dengan sembarang barang. Atau bisa disingkat: saya bebas. Harga yang harus dibayar untuk semua ini, untunglah, bisa saya tanggung sendiri. Dengan demikian, saya benar-benar bebas. 

 

Tetapi, di depan kebebasan itulah sebenarnya terkandung ujian karakter. Kebebasan, anda tahu, tidak akan merubah seseorang, ia hanya memperpanjang atau mempertegas karakter seseorang. Jika ia malas ketika tidak bebas, ia akan makin malas ketika bebas. Jika ia rajin ketika tidak bebas, ia akan tetap rajin ketika bebas. Daftarnya bisa sepanjang yang dapat anda bayangkan, tetapi dari dua contoh itu saya pikir kita sudah dapat mengira sederet variabel lain. 

 

Ketika di rumah dan di pesantren dulu, saya tidak bisa bangun siang. Ibu atau kawan akan membangunkan saya untuk salat subuh. Lalu saya salat subuh. Kebiasaan salat subuh itu ternyata hanya ritual yang saya kerjakan dengan motivasi rutinitas, bukan spiritual, sebab telah dua kali selama di kos saya tidak bangun subuh. Jika di masa kuliah saya rajin baca buku, di pekan awal ketika kos tidak lebih 20 halaman yang saya baca. Jadi, inilah perpanjangan karakter diri ini, pikir saya.

 

Semua kebiasaan yang saya dapat ketika hidup bersama orang lain di masa-masa sebelumnya, ternyata, tidak membawa dampak signifikan untuk kebiasaan saya di kos. Di pesantren, saya pernah bertahun-tahun menjadi “penjaga subuh”: ialah orang yang bertugas untuk membangunkan para santri lain ketika waktu subuh. Itulah pekerjaan yang menguji iman kecil saya. Para santri menyenangi begadang hingga sulit melek ketika subuh. Beberapa santri kadang masih mampu tidur di sembarang tempat sembari antri wudhu. 

 

Sekarang saya malah pernah tidak bangun subuh. Jika tahu, mereka—santri-santri yang pernah saya bangunkan itu—pastilah mengolok saya. Betapa kebiasaan itu tidak memiliki daya di depan kebebasan saya hari ini. Ternyata kebebasan menawarkan dua hal: Pertama, hasrat untuk bersuka ria, kedua, berperang dengan diri sendiri. 

 

Saya mengambil kedua tawaran kebebasan itu. Saya bersuka ria karena ketika keluar di kepala saya tidak dibenani khawatir di telepon orang-orang, seperti ketika saya masih nyantri di masa kuliah. Saya tidak perlu repot izin ketika hendak bepergian seperti dulu. Saya tidak pernah lagi mengendap diam-diam ketika keluar tanpa izin. Akhirnya, selama bertahun-tahun, saya mencicipi juga masa-masa seperti ini. Kehidupan saya mendadak serba praktis karena tidak terikat dengan orang lain, hingga membuat haru hati. 

 

Dan saya berperang juga dengan diri sendiri.

 

Yang saya sebut perang itu tentu saja tidak lebih dari menjaga kebiasaan positif ketika sebelum kos untuk tetap terlaksana betapapun tidak ada intruksi, membaca buku misalnya, dan menulis, dan mengedit naskah. Di sela-sela mencari kesenangan dengan mencicipi aneka makanan khas sekitar, saya kadang tergoda mengabaikan buku-buku dan naskah itu. Di sinilah saya berhadapan dengan kemalasan diri sendiri, dengan karakter diri sendiri.

 

Perang dengan diri sendiri, seperti kata banyak orang—hingga membuat kalimat berikut klise—adalah pergulatan abadi. Keadaan ini, bisa sedemikian personal rasanya antar orang per orang. Yang sama hanya satu hal: diri sendiri ternyata tidak mudah dikalahkan sebab di mata kita ia bukan musuh, tetapi ya... diri sendiri. Ialah musuh paling halus. Tidak bisa disentuh, tetapi menempel sekaligus. Nyaris tidak bisa dirasakan, tetapi mengatur-ngatur. 

 

Dalam bayangan saya, inilah saat-saat di mana mungkin banyak orang mengenali diri mereka sendiri, tetapi meleset dari identitas yang ia bangun di ruang umum. Dengan kata lain, orang sering mendefinisikan dirinya sendiri pada dirinya sendiri, tetapi ketika bertemu ujian karakter seperti kebebasan ini, apa yang ia definisikan tentang dirinya sendiri ternyata meleset sepenuhnya. 

 

Saya masih terus beradaptasi, menguji sejauh apa kebiasaan-kebiasaan baik itu dapat saya pertahankan ketika hidup sendiri. Ketika lulus, barangkali saya dapat merasa menjadi manusia baru lagi, yang benar-benar menentukan nasib sendiri.  

Dikunjungi Teman-teman Wanita

Pekan pertama hidup di Kampung Inggris, Pare, tidak ada satu pun orang yang saya kenal sehingga proses adaptasi cukup kagok. Mula-mula, ketika baru tiba, saya melihat area sekitar melalui Gmaps, lalu area itu saya telusuri jalan kaki. Beberapa hari setelah pekan pertama, seorang kawan yang tahu saya ada di Pare datang menjenguk. Ia menjemput saya di depan kos dan membawa saya ke warung kopi, di tempat itulah dua orang lain—kawan dari kawan saya—telah menunggu. Akhirnya, setelah berhari-hari, saya menemukan kawan ngobrol yang seru. Di sela obrolan, mereka sempat memberi arahan bagaimana hidup di Pare.

 

Pekan kedua seorang kawan lain datang. Sebenarnya kami sepakat bertemu di Tebuireng tetapi jadwal bus teralu sore, maka ia lanjut ke Pare. Saya tidak enak hati sebab ia harus berkendara seorang diri dengan jarak cukup jauh. Ketika tiba, saya mengajaknya ke tempat yang udaranya sejuk dan kami cekikian seharian. Seorang kawan lain akan datang beberapa hari lagi. Ia masih menunggu pekerjaan berkurang.

 

Saya bersyukur dikelilingi kawan-kawan baik. Setelah sebulan lebih meninggalkan rumah untuk keluyuran, mereka membuat tempat-tempat yang saya kunjungi kian menarik. Kebetulan, yang saya sebut kawan itu semuanya wanita. Anda tahu, berkat status jombolah saya bisa dikunjungi teman-teman wanita itu dan dengan status jomblolah mereka bisa datang berkunjung. Jika saya punya pasangan, mustahil mereka berkunjung. Sekiranya mereka punya pasangan, mereka juga tidak akan datang. Bagi orang berpasangan bertemu dengan kawan lawan jenis bisa runyam. Apalagi jika duduk-duduk di kafe berdua.

 

Ada hal-hal menarik yang relatif ringan dilakukan hanya ketika jombo: Keluyuran berbulan-bulan dan dikunjungi kawan-kawan wanita.

Sabtu, 13 Maret 2021

Masih Soal Tulisan Diplagiat

Tetap berada dalam kondisi pikiran dingin bahkan ketika keadaan diri berada dalam kondisi buruk, merupakan proses belajar seumur hidup. 

 

Sebagai sebuah ucapan, kalimat di atas mudah ditulis, mudah diomongkan. Terutama oleh pribadi yang hanya sekualitas saya. Di catatan terakhir bulan lalu, saya menulis kejengkelan karena tulisan diplagiat, nyaris semua jenis tulisan saya. Sebenarnya, yang saya sebut “tulisan saya” itu tidak lebih dari sekedar tulisan jurnal, tulisan makalah, tulisan Facebook, tulisan blog; tulisan-tulisan yang sebenarnya terlalu sederhana untuk diplagiasi, apalagi untuk saya marah-marah karena dijiplak. 

 

Bahwa tulisan-tulisan itu saya usahakan untuk lahir dari proses sebaik mungkin, dan tidak mudah, itu hanya saya yang tahu. Tetapi reaksi saya lewat tulisan bulan lalu, telah membuat saya bertanya: Pantas aku jengkel seperti itu? Kenapa harus jengkel? Saya merasa bersyukur sempat sampai pada titik pikiran itu. Ada sesuatu yang saya dapat.

 

Jika bertanya pada kawan, pantas saya jengkel seperti itu, mereka mungkin akan menjawab sah saja. “Karena itu tulisanmu,” begitu saya bayangkan mereka menjawab. Tetapi saya bertanya pada diri sendiri, dan mendapati jawaban seperti ini: “Jika karya besar, mungkin kau pantas jengkel. Jika tulisan sederhana, jelas tidak pantas.”

 

Saya menggugat diri sendiri. Kualitas tulisan, entah itu buku atau hanya esai pendek, jangan-jangan, tidak ditentukan realitas karya itu sendiri. Tidak peduli karya itu buku, atau surat, ia seringkali diidentifikasi berdasarkan ego. Ketika ego itu melangit, ia jelas akan mengatakan bahwa suratpun sebuah karya, terutama jika surat itu bagus. Tetapi bagus atau tidak juga seringkali diidentifikasi oleh ego.

 

Maka egolah yang bahaya. Fakta bahwa saya mereaksi plagiat itu dengan tulisan yang cukup kasar—bagi yang merasa, adalah refleksi dari pikiran yang cetek. Kenapa saya tidak santai-santai saja tulisan sederhana itu dijiplak. Toh saya tidak rugi apa-apa, kecuali perasaan ego yang terluka. Selebihnya si penjiplaklah merugi sepenuhnya. Kita tahu, tulisan mahasiswa yang diplagiat oleh rektor akhir-akhir ini, telah menunjukkan banyak hal, salah satunya betapa si rektor tidak merefleksikan akademisi berintegritas. 

 

Si rektorlah yang merugi, ia dikenang sebagai plagiator. Si mahasiswa aman-aman saja. Dua posisi itu sebenarnya cukup sederhana untuk disadari, tetapi saya telat berpikir. 

 

Dalam proses belajar menulis, dulu saya juga sering melakukan plagiasi. Jika misalnya, si penulis asli menggugat saya, kira-kira apa yang akan saya lakukan? Membela diri! Sebab itulah tabiat manusia. Bentuk membela diri itu mungkin berbeda-beda, tetapi ia sering berupa membangun argumentasi yang mendukung, dan menghindari fakta berlawanan. 

 

Di masa lalu saya juga sering melakukan hal-hal memalukan, misalnya, berkhianat pada kekasih. Pada kekasih berikutnya, saya mendapat giliran karma alam: dikhianati. Tetapi yang akan saya tonjolkan sebagai citra diri, tentulah fakta bahwa saya dikhianati kekasih, bahwa saya lelaki setia, dan, pada sisi lain, membelakangi fakta bahwa saya juga pernah berkhianat. Pola untuk hal ini nyaris selalu sama: Untuk memenuhi superioritas diri, kadang perlu mengeliminasi fakta berlawanan, betapapun itu harus menjatuhkan orang lain. 

 

Itu soal kesalahan dalam hubungan. Kembali pada bagaimana jika saya digugat karena plagiat? Saya bisa mengatakan bahwa saya tidak melakukan plagiasi, sambil menunjukkan tulisan original, lalu segera membereskan seluruh jejak yang berpotensi digugat. Dengan kata lain, gugatan untuk saya itu masih bisa diatasi. 


Dan kritikan saya pada plagiator adalah hal percuma, sebab, seperti kata Dale Carnegie, “Mereka yang bersalah menyalahkan orang lain selain diri mereka sendiri.”

 

Pak Carnegie membagikan pengalamannya yang bagus. Ketika masih muda, ia pernah mengirim surat pada Ricard Harding Davis, sastrawan besar Amerika, isinya soal permintaan wawancara metode Davis menulis. Di bawah surat, Pak Carnegie memberi catatan, “Didiktekan tetapi tidak dibaca.” Sebuah pernyataan atau usaha untuk memberi kesan bahwa si pengirim pesan adalah orang besar, orang penting, orang sibuk. 

 

Tetapi Davis menganggap catatan penutup itu sebenarnya tidak perlu, dan berlebihan. Ia tersinggung, selanjutnya mengembalikan surat itu dengan catatan tambahan, “Sikap Anda yang buruk hanya dilampaui oleh sikap Anda yang buruk.” Pak Carnegie sadar ia melakukan kesalahan, dan mengaku patut mendapat kritik itu. 

 

Tetapi, sebagai manusia, saya menolaknya, katanya. “Saya menolaknya dengan sakit hati sehingga ketika saya membaca tentang kematian Richard Harding Davis sepuluh tahun kemudian, satu-satunya pikiran yang menetap dalam benak saya—saya malu mengakuinya—adalah rasa sakit hati yang ia berikan pada saya.”

 

Pak Carnegie, bapak motivator itu, menggambarkan bagaimana kritik melekat secara buruk dalam ingatan si penerima. Melalui pengalaman berharga itu, dan pengalaman tokoh dunia lain yang ia tulis dalam karya-karyanya, ia menganjurkan kritik disampaikan dengan cara patut: Tidak disampaikan selama bisa.

 

Kritik atau gugatan seringkali tidak bekerja sesuai sangka si pengkritik, alih-alih, kritik itu akan kembali—cepat atau lambat—seperti penyu yang kembali bertelur di tempat di mana ia menetas, tidak peduli telah sejauh apa ia mengelilingi dunia, penyu selalu pulang, seperti kritik. Bahkan kritik sering pulang dengan tambahan cacian. Dengan kritik itu pula, saya mungkin kehilangan hasrat baik orang lain, meski ia telah berbuat tidak baik pada saya. 

 

Sekarang mungkin saya akan mengusahakan diri lebih santai. Sebab plagiasi adalah kerugian plagiator. Toh orang-orang akan tahu mana si penulis original, mana si plagiator. Dengan kata lain, alam telah menyediakan seleksi. Ketika melihat tulisan saya dijiplak, saya tentu menyimpan khotbah dalam kepala berikut nafsu untuk merubah orang itu menjadi lebih baik. Tetapi sekarang saya pikir itu percuma, untuk apa merubah orang?

 

Lebih baik saya memperbaiki diri sendiri.

Artikulasi

 Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata barangkali hanya kata lain dari ia kurang cakap dalam mengartikulasi sesuatu.