Seperti mendapat kekuasaan untuk menentukan nasib sendiri, saya merasa menjadi manusia baru.
Perasaan berbunga-bunga itu muncul sebab saya telah resmi menjadi anak kos—meski mungkin hanya beberapa bulan. Tidak ada kelebihan khusus, apalagi mewah, selain bahwa sekarang saya dapat bangun sesiang yang saya kehendaki; saya bisa pulang selarut yang saya bisa; saya bisa bermalas-malasan jika mau; saya bisa mengisi kamar dengan sembarang barang. Atau bisa disingkat: saya bebas. Harga yang harus dibayar untuk semua ini, untunglah, bisa saya tanggung sendiri. Dengan demikian, saya benar-benar bebas.
Tetapi, di depan kebebasan itulah sebenarnya terkandung ujian karakter. Kebebasan, anda tahu, tidak akan merubah seseorang, ia hanya memperpanjang atau mempertegas karakter seseorang. Jika ia malas ketika tidak bebas, ia akan makin malas ketika bebas. Jika ia rajin ketika tidak bebas, ia akan tetap rajin ketika bebas. Daftarnya bisa sepanjang yang dapat anda bayangkan, tetapi dari dua contoh itu saya pikir kita sudah dapat mengira sederet variabel lain.
Ketika di rumah dan di pesantren dulu, saya tidak bisa bangun siang. Ibu atau kawan akan membangunkan saya untuk salat subuh. Lalu saya salat subuh. Kebiasaan salat subuh itu ternyata hanya ritual yang saya kerjakan dengan motivasi rutinitas, bukan spiritual, sebab telah dua kali selama di kos saya tidak bangun subuh. Jika di masa kuliah saya rajin baca buku, di pekan awal ketika kos tidak lebih 20 halaman yang saya baca. Jadi, inilah perpanjangan karakter diri ini, pikir saya.
Semua kebiasaan yang saya dapat ketika hidup bersama orang lain di masa-masa sebelumnya, ternyata, tidak membawa dampak signifikan untuk kebiasaan saya di kos. Di pesantren, saya pernah bertahun-tahun menjadi “penjaga subuh”: ialah orang yang bertugas untuk membangunkan para santri lain ketika waktu subuh. Itulah pekerjaan yang menguji iman kecil saya. Para santri menyenangi begadang hingga sulit melek ketika subuh. Beberapa santri kadang masih mampu tidur di sembarang tempat sembari antri wudhu.
Sekarang saya malah pernah tidak bangun subuh. Jika tahu, mereka—santri-santri yang pernah saya bangunkan itu—pastilah mengolok saya. Betapa kebiasaan itu tidak memiliki daya di depan kebebasan saya hari ini. Ternyata kebebasan menawarkan dua hal: Pertama, hasrat untuk bersuka ria, kedua, berperang dengan diri sendiri.
Saya mengambil kedua tawaran kebebasan itu. Saya bersuka ria karena ketika keluar di kepala saya tidak dibenani khawatir di telepon orang-orang, seperti ketika saya masih nyantri di masa kuliah. Saya tidak perlu repot izin ketika hendak bepergian seperti dulu. Saya tidak pernah lagi mengendap diam-diam ketika keluar tanpa izin. Akhirnya, selama bertahun-tahun, saya mencicipi juga masa-masa seperti ini. Kehidupan saya mendadak serba praktis karena tidak terikat dengan orang lain, hingga membuat haru hati.
Dan saya berperang juga dengan diri sendiri.
Yang saya sebut perang itu tentu saja tidak lebih dari menjaga kebiasaan positif ketika sebelum kos untuk tetap terlaksana betapapun tidak ada intruksi, membaca buku misalnya, dan menulis, dan mengedit naskah. Di sela-sela mencari kesenangan dengan mencicipi aneka makanan khas sekitar, saya kadang tergoda mengabaikan buku-buku dan naskah itu. Di sinilah saya berhadapan dengan kemalasan diri sendiri, dengan karakter diri sendiri.
Perang dengan diri sendiri, seperti kata banyak orang—hingga membuat kalimat berikut klise—adalah pergulatan abadi. Keadaan ini, bisa sedemikian personal rasanya antar orang per orang. Yang sama hanya satu hal: diri sendiri ternyata tidak mudah dikalahkan sebab di mata kita ia bukan musuh, tetapi ya... diri sendiri. Ialah musuh paling halus. Tidak bisa disentuh, tetapi menempel sekaligus. Nyaris tidak bisa dirasakan, tetapi mengatur-ngatur.
Dalam bayangan saya, inilah saat-saat di mana mungkin banyak orang mengenali diri mereka sendiri, tetapi meleset dari identitas yang ia bangun di ruang umum. Dengan kata lain, orang sering mendefinisikan dirinya sendiri pada dirinya sendiri, tetapi ketika bertemu ujian karakter seperti kebebasan ini, apa yang ia definisikan tentang dirinya sendiri ternyata meleset sepenuhnya.
Saya masih terus beradaptasi, menguji sejauh apa kebiasaan-kebiasaan baik itu dapat saya pertahankan ketika hidup sendiri. Ketika lulus, barangkali saya dapat merasa menjadi manusia baru lagi, yang benar-benar menentukan nasib sendiri.