Sabtu, 03 Oktober 2020

Pikiran Baik Tentang Pak Kiai

 

Saya tertidur sekitar jam sembilan malam, lalu bangun dini hari dan langsung menuju galon untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering, kemudian kembali ke kamar, meraih ponsel, dan mendapati kabar guru saya berpulang. Mata terasa sedikit membelalak dan tenggorokan terasa kering lagi. 

 

Saya kembali ke tempat air minum tanpa mencari tahu apa penyebab beliau berpulang, terlalu dini mencari soal itu yang, entah kenapa, terasa tidak etis dan kurang penting. 

 

Pagi hari saya melihat slot story di WhatsApp: nyaris semua kawan-kawan saya yang berguru pada beliau mengucap rasa duka sekaligus kesan selama bersentuhan dengan beliau. Saya melihat story itu satu-satu. Pak Djalal, menurut banyak kawan, adalah sosok yang sabar.

 

Beberapa orang, setelah menaruh stroy duka itu, menimpali space story berikutnya dengan gambar haha-hihi yang membuat saya kagum, bahwa kita dapat berduka dan bergembira sekaligus; atau kita memasang story berduka sebatas sebagai nilai kepantasan kepada guru. Apa itu salah? Entah, tapi saya pribadi sedikit terganggu dengan cara berduka yang kurang “empati” semacam itu. 

 

Pada Jumat pagi kemarin, ada hal aneh yang memenuhi kepala. Beberapa bulan sebelumnya saya nyaris tak acuh pada beliau dan tidak pernah memiliki memori yang merujuk pada satu pun tentang beliau. Sekarang setelah berpulang, kepala saya terus menerus menampilkan momen tentang beliau. Kehadiran seseorang kadang memang baru terasa setelah kita tidak akan bertemu lagi.

 

Saya bukan murid spesial beliau. Bahkan saya sempat menggerutu tentang Pak Djalal. Satu ketika saya terlibat penelitian bersama tim dosen yang melibatkan Pak Djalal, kami menyelesaikan penelitian itu tepat waktu kecuali Pak Djalal—yang bahkan tidak merampungkan laporannya. Salah satu dosen memberi penjelasan pada saya bahwa beliau sedang terlampau sibuk dengan Ma’had ‘Aly-nya. 

 

Setelah saya susah payah menyelesaikan bagian pekerjaan saya, penjelasan tersebut tidak membuat saya senang.

 

Jauh sebelum riset tersebut, saya sudah tiga kali mengikuti perkuliahan beliau yang dua di antaranya saya harus presentasi sendiri di kelas. Pertama, di perkuliahan Ayat Ahkam. “Kamu memang presentasi sendirian? Di mana temanmu?” Saya mengaku tidak tahu. Mungkin ada acara mendesak, jawab saya. Setelah perkuliahan selesai beliau memanggil saya, bertanya apakah saya menulis makalah itu sendirian. Saya mengangguk.

 

Kedua, di perkuliahan Balaghah. Jika ingatan saya tidak meleset, hari itu kelompok tiga bertugas presentasi, beliau menghendaki dua kelompok untuk presentasi, tapi kelompok empat belum menulis makalah. Pak Djalal menanyakan apakah kelompok lima—yang kebetulan saya—sudah menulis makalah. “Kebetulan sudah, Pak,” kata saya, dan beliau menyuruh segera presentasi.

 

Gara-gara hal di atas, saya selalu mendapat nilai bagus. Meski di mata kuliah yang lain, Ushul Fiqh, saya ditertawakan karena soal UAS—yang beliau uji secara lisan—saya jawab terlalu melantur.

 

Di luar urusan kuliah, saya beberapa kali harus bolak-balik bertemu beliau karena urusan buku dan saya pernah diberi sejumlah uang karena telah membereskan beberapa urusan beliau. Tetapi, momen-momen di atas tidak serta membuat muka saya diingat beliau. Belakangan saya mengikuti lomba menulis—dan kalah—di tingkat provinsi di mana Pak Djalal menjadi juri. Saya menghampiri kursi beliau dan mencium tangannya. Sedikit saja beliau tidak menampilkan gerak-gerik mengenal saya.

 

Tentu saja karena saya hanya murid biasa, di antara ratusan murid beliau; di antara murid kesayangan yang tidak akan beliau lupakan.

 

Belakangan setelah event lomba usai, saya dipanggil salah satu dosen untuk ikut andil dalam editing jurnal. Saya ngobrol lama di kantor dosen bersama editor inti. Lalu Pak Djalal masuk ruangan dan menanyakan topik obrolan kami. Setelah beliau tahu bahwa kami akan mengisi jurnal edisi tahun 2018-2020 (terutama 2018), beliau tertarik untuk submit tulisan.

 

“Silakan segera kirim, Pak,” kata Pak Iwan. 

 

Berbulan-bulan setelah pertemuan di ruangan itu, Pak Iwan meminta tulisan saya untuk diterbitkan di edisi yang sama di mana tulisan Pak Djalal akan terbit. Tetapi, kali ini, Pak Djalal hanya butuh beberapa waktu saja untuk merampungkan tulisannya, jauh melesat ketimbang rampungnya tulisan saya.

 

Tulisan jelek saya akhirnya terbit bersandingan dengan tulisan beliau. Sejak saat itu pikiran saya berubah: Beliau dapat memenuhi deadline. Kemarin saya membaca obituari untuk beliau yang ditulis salah satu murid dekatnya. Dari tulisan itu, dan dari cerita salah satu orang dekat beliau ketika acara doa virutual, saya baru sadar kesibukan beliau terlalu padat.

 

Pak Kiai, sekarang tulisan jelek saya itu telah berhasil berjejer dengan tulisan Pak Kiai, dan fragmen pikiran negatif saya kepada Bapak nyaris lenyap setelah saya tahu beberapa hal tentang Bapak, dengan demikian kepala saya hanya merekam hal baik dari Bapak, sayang ketika Bapak sudah berpulang.