Saya pikir manusia mempelajari pengetahuan tidak untuk dijadikan standar untuk menilai segala hal. Tetapi toh gejala generalisir memang seperti dorongan otomatis ketika manusia telah memiliki satu pengetahuan tertentu.
Dulu sekali saya pernah belajar membaca Alquran pada ahlinya, setidaknya demikian ia diakui banyak kalangan. Tiap minggu selama satu tahun saya cukup intensif belajar, dan lambat laun tersingkap bahwa cara saya membaca Alquran selama ini tidak tepat, atau malah jelek sama sekali. Dari satu guru ini saya sedikit memiliki bekal untuk membaca Alquran dengan akurasi kebenaran yang lumayan.
Sedikit pengetahuan itu di kemudian hari membuat saya gatal berkomentar tidak pada tempatnya, bahwa bacaan imam salat di masjid A salah sifat pengucapan, imam masjid B keliru makhraj, imam masjid C tidak paham perihal posisi lidah, dan sebagainya. Bahkan ketika di jalanan mulut saya cenderung gatal memberi komentar tentang bacaan orang-orang umum yang nyaris tidak ada yang pas.
Anda tahu, kadang menampilkan kemampuan diri sendiri kurang lengkap rasanya jika tidak dibarengi dengan memberi komentar bahwa orang lain tidak sekualitas kita. Tetapi apa itu fungsi dari pengetahuan?
Di Indonesia yang dihuni orang-orang religius, cenderung menggunakan agama sebagai standar untuk menilai nyaris segala fenomena yang terjadi. Dari radio yang diputar ibu di rumah, saya mendengar pernyataan Ustadz bahwa menjadi tukang becak yang muslim lebih baik dari pada menjadi pejabat yang kafir.
Saya menunggu penjelasan lebih lanjut Pak Ustadz, pada konteks mana pernyataan itu diterapkan. Tetapi Pak Ustadz tidak memberikan kalimat-kalimat yang mengarah pada argumen yang saya nantikan.
Tanpa pemberian konteks spesifik, saya dapat sampai pada kesimpulan bahwa ia menjadikan agama sebagai standar untuk menilai profesi orang: Tidak apa-apa jika anda menjadi tukang ledeng atau tukang becak, yang penting anda muslim.
Mendengar pernyataan Pak Ustadz di atas, saya melihat gambaran kecil bahwa apa-apa yang dilakukan orang kafir di luar saya tidak mengandung nilai positif sama sekali, tidak peduli apa profesinya, sebab mereka kafir.
Keliru menjadi tukang becak muslim? Tidak. Keliru menjadi pejabat yang kafir? Tidak juga. Jika ada tukang becak muslim yang menggedor-gedor pintu rumah pejabat kafir dan mengatakan bahwa dirinya lebih baik karena ia muslim, pejabat itu barangkali dapat mengatakan tukang becak itu orang kafir juga menurut agamanya, dengan demikian ia tukang becak yang kafir dan tukang becak yang kafir, menurut pak pejabat, pasti tidak lebih baik darinya.
Di berbagai belahan dunia, orang-orang sudah merumuskan kebenaran versi mereka masing-masing. Kita perlu kesadaran untuk tidak memaksakan standar nilai kita untuk melihat semua fenomena. Dalam berbagai konteks, kita perlu memberikan penilaian di tempat yang tepat, forum misalnya, dan menggunakan keilmuan yang tepat pula. Akan konyol melihat masalah bacaan Alquran dari kaca mata otomotif. Begitupun sebaliknya.
Dan orang yang memiliki pengetahuan, saya pikir perlu menahan diri untuk tidak menampilkan diri sebagai korektor di berbagai kesempatan. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk belajar sedalam dan seintens ulama untuk dapat membaca kitab suci. Saya pikir Tuhan akan senang-senang saja melihat hambanya berusaha belajar membaca kitab suci—dalam arti elementer—betapapun masih jauh dari kata bagus.
Tanpa kemampuan menahan diri semacam itu, saya khawatir—tentu ini masalah pribadi saya—generasi yang belajar di pesantren akan melihat orang lain tidak se-suci dirinya, atau generasi lulusan universitas akan melihat orang lain yang tidak berkesempatan duduk di bangku kuliah lebih bodoh darinya. Saya yakin, fungsi ilmu dan pengetahuan tidak untuk membuat orang merasa mentereng.
Saya, dan mungkin anda, sering melihat orang pandai, yang terlalu pandai, sehingga mudah sekali menyangka orang lain bodoh. Kita kehilangan respek pada orang-orang semacam itu.
Tentu saja orang pandai itu perlu, tanpa orang pintar kita kehilangan pakar. Ada parameter standar yang kita butuhkan untuk menilai sesuatu, dan kita memastikan diri sepatut mungkin untuk menjangkau standar tersebut jika membahas hal terkait. Yang ingin saya katakan, pengetahuan pelu kedewasaan.
Oh, mungkin saya melewatkan sesuatu, jika anda seorang pakar, kami akan senang hati menerima kritik anda—di sembarang tempat dan sepedas apapun—sejauh itu disampaikan dengan elegan. Sebab penyampaian elegan akan mempertimbangkan tempat yang tepat, dan cara yang tepat, dan keilmuan yang tepat.