Selasa, 27 Oktober 2020

Benjolan di Tangan

“Harus kita cek di lab dulu, setelah itu kita akan tahu apakah ini tumor atau bukan,” kata dokter Jimmy. Lalu benjolan di bawah kulit tangan saya dimasuki jarum untuk diambil sampling. “Silakan tunggu satu jam, Mas.” Dan saya menunggu dengan harap-harap cemas.

 

Makhluk tak diundang itu tiba-tiba tumbuh di punggung tangan kiri saya dan tiap hari menunjukkan perkembangan yang baik seolah ia ingin berkabar bahwa dirinya sehat. Tetapi benjolan itu mengganggu pikiran saya. Di beberapa malam ia menularkan rasa sakit yang membuat tangan saya kehilangan energi. 

 

Saya mencoba untuk menyangga tubuh dengan kedua tangan dan tangan kiri saya gemetar dan saya berpikir untuk memeriksanya sesegera mungkin. Saya menghubungi beberapa kawan dekat, bertanya makhluk apa gerangan benjolan ini. “Tidak tahu,” jawab satu kawan, “tetapi beberapa temenku harus operasi kecil.”

 

Almarhum dosen saya pernah berbagi cerita: Pada dasarnya tiap daging yang tumbuh adalah tumor, ia bisa jenis yang jinak atau ganas. Kalimat itu menghantui saya, betapapun mungkin benjolan ini tidak saya ketahui jenisnya. Ibu menghubungi saya, memberi kabar bahwa di rumah ada acara cukup panjang. Saya mengatakan akan pulang. Tanggal 19 Oktober saya menuju rumah, untuk mengambil waktu istirahat, berobat, dan mengikuti acara-acara.

 

Tidak banyak kesibukan famili—yang berkaitan dengan acara—bisa saya bantu sebab tangan saya kadang tiba-tiba sakit. Mengetahui kondisi saya, Ibu mendesak saya untuk segera periksa dan Ibu tahu siapa dokter yang harus saya temui untuk memastikan makhluk yang tiap hari tumbuh ini. Ia dokter spesialis patologi anatomi, atau dalam penuturan Ibu saya: ahli benjolan. 

 

Gara-gara benjolan ini, beberapa acara di kota saya batalkan, bahkan jika itu sebenarnya dapat saya lakukan secara daring. Keinginan bertemu kawan dekat—yang sudah lama tak bertemu—terpaksa saya undur, bahkan saya tidak memberi kepastian kepada kawan-kawan kapan dapat kembali ke kota. Benjolan sialan ini, selain mengacaukan pikiran saya, telah membuat beberapa kegiatan mati sama sekali. 

 

Memang yang cukup menyedihkan dari penyakit adalah efek dari apa yang pikiran produksi tentang penyakit. Atau asumsi. Beberapa kasus, pikiran, lebih penyakit dari pada penyakit yang sebenarnya. Benjolan sebesar kelereng jumbo yang menempel di tangan saya telah membuat isi kepala saya menghubung-hubungkan kondisi saya sekarang dengan masa depan. Jika ini tumor, kata saya, dan tumor yang ganas, saya harus membereskan semua urusan yang masih dalam proses pengerjaan. 

 

Mati meninggalkan tanggungan bukan mati yang baik dan benar. 

 

Kemungkinan paling menyenangkan: Benjolan ini hanya makhluk biasa yang tidak berbahaya, dan semua akan berjalan seperti biasa. Sialnya, kepala saya terbiasa memperhitungkan kondisi terburuk dari sebuah hal, sebagai persiapan antisipatif, dan ini memberi pengaruh buruk terhadap pikiran saya mengenai penyakit. Saya tahu, perkara ini harus segera beres esok.

 

Di ruang tunggu itu, saya mencoba semampu saya untuk memberi pikiran sesuatu yang menarik untuk dipikirkan. Saya membaca kembali buku karya Dale Carnegie dan sesekali melihat jadwal deadline editing buku dan mencoba merancang tulisan. Sekitar satu jam setengah saya menunggu hasil lab sebelum akhirnya saya dipanggil dokter.

 

Di ruang penuh alat uji itu, dr. Jimmy mengeluarkan kertas, mengambil pena, menatap saya, dan berkata lembut, “Benjolan ini tidak ada obatnya, pun tidak berbahaya selama segera diangkat.” Kata diangkat saya pikir ia pilih untuk menghindari kata operasi.

 

“Jadi ini bukan tumor, Dok? Atau kanker?”

 

“Bukan tumor, benjolan itu kista.”

 

“Maaf, Kista?”

 

Pak dokter tersenyum sabar penuh pengertian. “Isi dari benjolan itu seperti jelli, dan ada bungkusnya. Itulah yang harus diangkat.”

 

“Operasi, maksudnya?” tegas saya.

 

“Ya, operasi. Saya akan memberi surat pengantar kepada dokter bedah. Silakan operasi di RS mana saja yang menyediakan fasilitas.”

 

“Saya pikir ini tumor atau kanker dan akan membikin buruk kesehatan saya, Dok.”

 

“Anda sehat dan baik-baik saja. Tetapi pastikan segera angkat.”

 

“Ya, Dok, sekarang saya merasa lebih sehat dari biasanya, bahkan tubuh saya mampu memproduksi jelli. Saya ingin segera mengeluarkannya dan membuktikan apakah ia berfungsi seperti batu Ponari.”

 

Pak dokter tertawa. Saya juga tertawa.

 

Jadi, jelli sialan ini harus segera diangkat. Pikiran saya cukup tenang ketika menuju rumah, dan memberi kabar pada kawan dekat bahwa saya hanya perlu operasi kecil. Tidak berbahaya selama segera diangkat dan itu artinya saya mampu hidup lama, paling tidak 300 tahun.

Betina

 Anda tidak patut mempertanyaan kebetinaan wanita seperti mempertanyakan kejantanan pria. Saya tidak tahu kenapa kata betina terasa sangat hewani.

Rabu, 21 Oktober 2020

Selamat Wisuda, Kawan-kawan

 

Hari ini kawan-kawan saya menjalani prosesi wisuda daring dan sebagai bentuk selebrasi, saya ingin menempatkan foto mereka di slot story WhatsApp, tetapi jumlah mereka terlalu banyak dan saya kesulitan mendapatkan foto mereka. Lalu saya memilih menulis nama mereka satu-satu, dan menampilkannya di blog ini. 

 

Pandemi melunturkan tradisi wisuda yang penuh khidmat, dan menggantinya dengan momen yang biasa-biasa saja, sebab dilaksanakan secara daring. Karena itu, saya ingin menyalami nama-nama berikut ini satu-satu—nyaris secara harfiah—dan mengatakan pada mereka bahwa ini memang momen yang kurang khidmat, tetapi ini adalah hari di mana kita memasuki gerbang baru.

 

Saya merasa perlu menulis catatan singkat ini karena selama empat tahun di kampus, mereka lah yang mendukung saya, langsung maupun tidak, dan membuat empat tahun bergulir terlalu cepat.

 

Saya menulis ini dengan perasaan cengeng, bahwa saya menaruh respek besar pada mereka dan berharap masa depan masih berpihak pada kawan-kawan dengan cara-cara yang postif. Sekarang saya menulis bagian di mana mata saya benar-benar berkaca-kaca: Titip masa depan dengan ilmu kalian, Kawan-kawan.

 

Mas Ahmad Muhammad, S.Ag.

Moch.Khilmi, S.Ag.

Izzatin Nabila, S.Ag.

Niswatun Nailul Maghfiroh, S.Ag.

Candra Irwansyah, S.Ag.

Rika Leli Dewi Khusaila Rosalnia, S.Ag.

Maqbilgis Firrizeqisfi, S.Ag.

Okta Nurma Isyati, S.Ag.

Nadia Saphira Cahyani, S.Ag.

Faiqotuz Zakiyyah, S.Ag.

Arina Alfiani, S.Ag.

Ahmad Fathi, S.Ag.

Rizki Kharirotul Fitriyah, S.Ag.

Ahmad Fahruddin Jazuly Ch, S.Ag.

Nur Anis Rochmawati, S.Ag. 

Fairuz Dianah, S.Ag.

Fakhrul Mukmin, S.Ag.

Taufiqur Rahman, S.Ag.

Achmad Zakki, S.Ag.

Aini Luthfiyyah, S.Ag.

Zahrotul Kamilia, S.Ag.

Achmad Rafiuddin, S.Ag.

Hamdani Widodo, S.Ag.

Lukmanul Hakim, S.Ag.

M.Ubaidilla Mauluddin, S.Ag.

Mahmud, S.Ag.

Maratus Sholihah, S.Ag.

Diyah Nur Fitri Jumiyati, S.Ag.

Muhtasorul Muzanni Ahmad, S.Ag.

Reny Safitri, S.Ag.

Shofiyatun Niswah, S.Ag.

Vina Annisa, S.Ag.

Yustina Marida Basrianty, S.Ag.

Ahmad Tsiqqif Asyiqulloh, S.Ag.

Mahbubatur Rohmah, S.Ag.

Nur Lailatul Fatimah, S.Ag.

Nurudin Muhammad Iqbal, S.Ag.

Nurul Aini Maslahah, S.Ag.

Rohmatul Lailiyah, S.Ag.

Akhmad Abil Khoiri Rifaldy, S.Ag.

Muflikha Silvi W, S.Ag.

Dwiyana Ismawati, S. Ag.

Kuri’ Andene, S.Ag.

Fawwaz Afif Alvian, S.Kom.

Aminullah, S.Ag.

Isfi Ardlillah Mufidah, S.Ag.

Kamala Karomatus Syarifah, S.Ag.

Uswatun Hasanah, S.Ag.

Rifatul Afifa, S.Ag.

Khumrotul Afifah, S.Ag.

Muhammad Abdul Qahhar, S.Ag.

Robchatul Izzah, S.Ag.