Sabtu, 29 Agustus 2020

Pak Muzammil

Orang-orang yang berpengaruh positif terhadap kita seringkali adalah mereka yang menaruh kepedulian kepada kita, terutama yang mewujud dalam tindakan-tindakan, baik kecil maupun besar.


Salah satu orang yang paling berkesan dalam hidup saya, yang kepadanya saya memiliki hutang budi, adalah Pak Muzammil. Orang yang tidak ekspresif ini saya kenal ketika di pesantren, beliau mengajar Nahwu-Saraf dan tidak pernah membawa kitab ketika mengajar. Ketika kelas mulai, Pak Zammil akan meminjam kitab santri dan berkata, “Sampai di mana kita?”


Cara berjalannya yang pelan, menurut saya kontras dengan pikirannya yang melesat: Pak Muzammil orang yang gandrung pada teknologi, bahkan kami para santri mengenalnya sebagai hacker symbian os, dulu ponsel-ponsel canggih Nokia mengusung sistem operasional ini. Selain itu Pak Muzammil juga memiliki bacaan yang luas dan hal inilah yang barangkali tidak banyak disadari para santri—meski memang tidak banyak santri yang mengenalnya secara dekat. Beberapa kali Pak Muzammil memberi saya referensi bacaan unik—untuk tidak mengatakan aneh—yang ditulis blogger Malang.


Dari blogger tersebut—saya lupa namanya dan blognya sudah lama hilang—saya mengenal analisis lain tentang apa-apa yang sudah saya terima secara buta, terutama tentang sejarah dan media. Dari blog ini, saya mulai tertarik belajar tentang tema serupa yang dibahas penulis-penulis lain. Dan dari penjelajahan kecil itu, saya mulai gemar membaca. Pendek kata, Pak Muzammil secara tidak langsung memberi pondasi awal pada kultur literasi saya.


Karena tidak banyak santri yang mengenal Pak Muzammil dengan baik, saya melihat satu fenomena yang mereka lewatkan: Pak Muzammil sangat jenius dalam bidang bahasa Arab. Saya sendiri baru menyadari hal ini ketika intens belajar privat pada beliau. Sekitar enam bulan terakhir di pesantren, saya merasa sangat bodoh tentang bahasa Arab. Setelah melalui beberapa kali cerita pada Pak Muzammil, ia berkenan mengajari saya.


Jauh sebelum belajar privat dimulai, saya sudah akrab dengan Pak Muzammil dan saya tidak tahu apa yang membuat saya dekat. Beliau ini, selain tidak ekspresif, juga sangat pendiam, meski tidak bisa dikatakan dingin. Karena itu, saya cukup heran bisa dekat dengan beliau. Pada satu kesempatan, saya pernah ngopi bersama beliau dan selama ngopi saya hanya diam dan Pak Muzammil sibuk dengan ponselnya—nyaris setiap saat beliau sibuk dengan ponsel, dari membuat trik internetan gratis, hingga memodifikasi sistem ponsel.


Pada kesempatan lain, saya pernah “dibawa” beliau menghadiri acara di pesantren Pak Muzammil. Jaraknya sekitar 35 KM, dan Pak Muzammil hanya mengatur kecepatan motor tidak lebih dari 30 KM/H. saya yang waktu itu memiliki kebiasaan kebut-kebutan cukup harus menahan emosi melaju dengan kecepatan “keong” itu. Di tengah perjalanan, Pak Muzammil masih mampir di warung kopi, dan membuka ponsel setelah memesan kopi hitam. “Ponsel ini senjata saya,” katanya membuka percakapan setelah saling diam selama perjalanan. “Senjata bagaimana, Ustad,” tanya saya. “Ya senjata... semacam bedil,” jawabnya.


“Kenapa tadi di jalan pelan sekali,” tanya saya.


“Ngebut atau pelan sama saja, sama akan sampai pada tujuan dengan selisih waktu yang tidak seberapa, kecuali kau melaju dengan kecepatan 150 KM/H.”


Saya mengangguk enggan, menunjukkan gestur tidak terlalu sepakat.


Setelah sampai di tujuan, kami turun dan masuk masjid untuk istirahat. Beliau melihat lingkungan sekitar dengan sedikit bengong, seperti mencari bagian dirinya yang lain. “Di sini tentu saja banyak kenangan,” katanya, “dan waktu memang tidak terasa. Ada banyak hal yang aku lalui dengan spontan, termasuk kuliah dan menikah.”


Membeli ponsel symbian mungkin termasuk sedikit perkara yang beliau perhitungkan dengan rinci. Dan menerima saya sebagai murid, menurut saya jelas bukan sesuatu yang dipertimbangkan meski pada akhirnya mungkin mengajar saya bukan perkara mudah, karena waktu belajar di atas jam sembilan malam.


Siang hari beliau mengajar di sekolah dasar, sore hari ngajar di pesantren, dan sesekali berkebun, dan tentu saja, sebagai kepala keluarga, Pak Zammil masih memiliki banyak kesibukan lain. Saya sendiri, siang hari memiliki kesibukan di luar pesantren, entah sebagai supir atau tugas-tugas lain dari Kyai, dan kadang berlangsung hingga sore hari. Setelah Maghrib saya masih sesekali (meski sangat jarang) ikut ngaji, dan mengikuti pembelajaran privat ketika masih ada kegiatan di dalam pesantren tentu bukan hal baik dilihat santri-santri lain.


Karena itu, malam hari adalah satu-satunya opsi terbaik. Rumah Pak Muzammil saya tuju cukup dengan jalan kaki. Dan ini pada titik tertentu menjadi momen keren yang saya ingat: di waktu santri lain sudah menikmati waktu istirahat, maupun ngobrol, saya memilih menenteng kitab untuk lanjut belajar. Tidak tanggung, kitab yang saya gendong cukup tebal untuk bahan intimidasi bagi yang melihat: Jami>’ al-Duru>s, satu buku catatan tebal, dan Kayla>ni>.


Namun momen yang saya sebut keren itu kadang tidak lebih hanya sebagai ajang ngantuk-ngantukan di rumah Pak Muzammil, atau momen menenteng kitab yang sepenuhnya artikulasi dari kesombongan belaka. Dari lembar-lembar yang dikaji, rasanya sedikit sekali yang masuk di kepala.


Tapi bagaimanapun, Pak Muzammil menelateni saya dengan cara-cara yang merugikan beliau sendiri. Kadang beliau sangat ngantuk dan harus membuat banyak kopi, kadang beliau sangat capek dan matanya sangat sayu, merah, letih. Melihat beliau yang seperti itu, saya sebagai murid tidak banyak berbuat apa-apa kecuali merasa sangat berhutang budi. Hingga larut malam, pernah hingga jam satu dini hari, kami melewati waktu dengan diskusi.


Ketika akhirnya kami sudah tidak belajar bersama, karena saya sudah hendak bersiap melanjutkan ke perguruan tinggi, Pak Muzammil inilah yang membatu saya mencari beasiswa. Saya ingat, di satu malam beliau mengantar saya menemui beberapa orang yang mengajar di kampus yang saya tuju. Saya ingat ketika beliau mengajak saya sowan pada Kyai dari Pak Muzammil untuk mencari info beasiswa dan pendaftaran kuliah.


Saya ingat semua usaha-usaha beliau untuk membatu mencapai tujuan yang saya impikan. Bantuan itu, jujur saja, tidak pernah diberikan guru-guru saya yang lain, bahkan Kyai sekalipun. Saat mengenang momen-momen itu, kalimat di awal pembukaan ini tiba-tiba tergurat dalam kepala.

 

Khutbah 1

Berkhutbah adalah cara paling efektif untuk menjadikan diri sendiri dijauhi orang-orang.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Memakai Sarung dan Agama

Saya senang bahwa manusia mudah ditipu oleh penampilan, dan saya, pada momen-momen tertentu diuntungkan oleh tabiat manusia itu. perihalnya sederhana: Sehari-hari, saya cukup gemar memakai sarung dan jenis pakaian ini, entah bagaimana dan sejak kapan, kerap dianggap sebagai simbol religius. Saya pikir karena banyak santri, atau kyai di Indonesia yang memakai kostum ini di berbagai waktu dan kesempatan.


Saya mafhum, sarung juga dikenakan oleh mereka para penggondol sapi, emas, motor, atau harta-benda lain, dengan cara dililitkan sedemikian rupa pada bongkahan kepala hingga wajah mereka tertutup sempurna, kecuali mata. Anda tahu, penampilan mereka mirip ninja, ninja dengan kearifan lokal. Di film yang saya tonton ketika masih kecil, Pak Maling—yang sebenarnya orang baik—menggunakan sarung ketika nyolong beberapa kilo beras untuk makan anak istri.


Ketika kecil, saya dan kawan-kawan juga menggunakan sarung untuk menutup kepala seperti Pak Maling. Bedanya kami menutup seluruh kepala, termasuk mata: Di mushalla, seorang korban permainan akan ditutup kepalanya, berusaha memegang mereka yang dapat menghindar, dan menebak nama. Jika benar, korban akan berpindah pada si tertebak. Jika tidak, permainan berlanjut. Dan momen yang paling kami tunggu adalah ketika si korban terjeduk pada tembok.


Sekarang saya menggeser penggunaan sarung dari kepada ke bagian bawah tubuh. Penggeseran ini sekarang nyaris paten, saya tidak berkepentingan lagi memakai sarung sebagai cadar. Efeknya antara lain, tidak jarang saya dianggap saleh.


Pakailah sarung, dan baju koko, dan aturlah mulut dalam mode pendiam. Anda akan dianggap saleh, terutama oleh mereka yang baru bertemu anda.


Itulah yang saya rasakan. Padahal saya memakai gemar memakai sarung tidak lebih karena kebiasaan dari kecil. Dan kebiasaan ini berasal dari lingkungan. Sekarang saya sukar lepas dari kebiasaan ini. Anda tahu, mengubah kebiasaan kadang sama artinya dengan mengubah diri sendiri. Hasilnya seringkali mustahil.


Seseorang yang dari kecil tidak terbiasa membaca buku, misalnya, pada usia 25 tahun ia nyaris akan menghabiskan sisa usianya dengan tidak ada gairah terhadap buku. Jika demikian jangan harap kita mampu mengubah kebiasaan makhluk ini. Lebih mudah menyuruhnya mencabuti rumput di pekarangan dari pada memintanya membaca buku.


Soal kebiasaan memakai sarung, sebagian besar dari kita tentu saja jauh dari kesimpulan bahwa pemakai sarung adalah orang religius. Tapi kita seperti mengabaikan fakta itu, terutama ketika terlibat dalam basa-basi yang tidak perlu. Penampilan orang, sebagai bahan basa-basi, selalu menggiring pada kalimat-kalimat formalitas. Beberapa orang, ketika mendapati saya memakai sarung di warkop akan dengan ringan menyebut kalimat, “Selamat ngopi, Ustadz”.


“Ya,” kata saya sambil mengangguk. Iya mengatakan kalimat lain, dan saya kembali mengangguk, mengangguk, mengangguk.


Manusia adalah makhluk agama, kata Rudolf Otto. Dan saya percaya manusia memang menempatkan orientasi agama dalam banyak lini kehidupan, dan antribut agama mau tidak mau melekat dalam penilaian individu terhadap individu lain. Artinya, penampilan religius seseorang menjadi pintu awal sebagai tolak ukur kesalehan seseorang. Saya tidak kenal si X, tapi karena si X memakai atribut religius dalam penampilannya, itu sudah cukup untuk membuat saya harus menyesuaikan sikap pada si X.


Sekali lagi, penampilan tidak menentukan apa-apa kecuali aspek luar dari seseorang, saya kira kita bisa bersepekat tentang itu. Kita bisa memilih penampilan religius, sambil diam-diam bersikap oposisi terhadap ajaran agama. Di abad ke-21, sikap demikian bukan barang baru. Sialnya, atau untungnya, saya sedang berada dalam fase—meski tidak ber-oposisi terhadap agama—mempertanyakan ulang doktrin agama.


Tentang surga dan neraka, tentang kebenaran agama, tentang kitab suci. Saya pikir setiap orang yang berusaha memahami dengan mendalam ajaran agama, akan bertemu tembok yang mengharuskan ia memiliki sikap skeptis. Misalnya, benarkah orang akan masuk surga semata karena berafiliasi kepada Islam, betapapun ia melakukan tindakan yang brengsek? Orang seperti Mahatma Gandhi, meski memiliki sikap respek dan baik pada sesama manusia, bagi orang Islam kebanyakan, kelak ia tidak akan menempati surga, sebab Gandhi bukan Islam.


Benarkah surga hanya ditentukan dari afiliasi keagamaan? Kita bisa menjawab dengan kalimat yang banyak dikatakan pada pemuka agama: hanya Tuhan yang tahu.


Satu agama seringkali menganggap pemahaman dan tindakan pemeluk agama lain tidak rasional. Orang yang tidak beragama sama sekali menganggap pemeluk agama berada dalam ilusi, tidak rasional. Kata Robert M. Prirsig, yang dikutip Ricard Dawkins: Ketika satu orang menderita delusi, fenomena ini disebut kegilaan. Ketika banyak orang menderita delusi, ini disebut agama.


Saya harap anda tidak salah paham bahwa saya seorang ateis yang sedang mengkritik agama. Tidak. Saya hanya sedang mempelajari, atau lebih tepat merenungkan ajaran agama. Hingga sekarang, saya masih menjalankan “ritual agama”, mempelajari kitab sucinya—bahkan saya mengambil studi teologi.


Bisa dikatakan, saya tidak sedang berhati-hati terhadap ajaran agama, tetapi saya mengambil porsi tertentu terhadap “penafsir agama”. Dalam beberapa hal posisi ini membuat saya kadang skeptis luar biasa terhadap “tukang agama”, bahkan saya sering ngeri sendiri pada pikiran saya dan tidak membayangkan betapa orangtua saya mungkin akan khawatir terhadap pikiran saya.


Nah, jika ia tahu apa yang saya pikirkan, semoga ia sadar bahwa saya hanya berada dalam fase belajar. Selain itu, kadang saya juga penasaran terhadap reaksi orang-orang yang sering melihat saya memakai sarung dan bersikap, meski hanya basa-basi, bahwa saya termasuk representasi dari orang religius. Kadang saya ingin berkata pada mereka, “Hai, maukah kau menjadi pengikutku? Kau akan masuk surga, dari pintu masuk manapun yang kau mau.”

Tetangga

Apakah tetanggamu, atau orang lain secara umum, merasa lebih ingin kau menikah bahkan dari dirimu sendiri, seolah mereka adalah dirimu?