Sabtu, 22 Agustus 2020

Memakai Sarung dan Agama

Saya senang bahwa manusia mudah ditipu oleh penampilan, dan saya, pada momen-momen tertentu diuntungkan oleh tabiat manusia itu. perihalnya sederhana: Sehari-hari, saya cukup gemar memakai sarung dan jenis pakaian ini, entah bagaimana dan sejak kapan, kerap dianggap sebagai simbol religius. Saya pikir karena banyak santri, atau kyai di Indonesia yang memakai kostum ini di berbagai waktu dan kesempatan.


Saya mafhum, sarung juga dikenakan oleh mereka para penggondol sapi, emas, motor, atau harta-benda lain, dengan cara dililitkan sedemikian rupa pada bongkahan kepala hingga wajah mereka tertutup sempurna, kecuali mata. Anda tahu, penampilan mereka mirip ninja, ninja dengan kearifan lokal. Di film yang saya tonton ketika masih kecil, Pak Maling—yang sebenarnya orang baik—menggunakan sarung ketika nyolong beberapa kilo beras untuk makan anak istri.


Ketika kecil, saya dan kawan-kawan juga menggunakan sarung untuk menutup kepala seperti Pak Maling. Bedanya kami menutup seluruh kepala, termasuk mata: Di mushalla, seorang korban permainan akan ditutup kepalanya, berusaha memegang mereka yang dapat menghindar, dan menebak nama. Jika benar, korban akan berpindah pada si tertebak. Jika tidak, permainan berlanjut. Dan momen yang paling kami tunggu adalah ketika si korban terjeduk pada tembok.


Sekarang saya menggeser penggunaan sarung dari kepada ke bagian bawah tubuh. Penggeseran ini sekarang nyaris paten, saya tidak berkepentingan lagi memakai sarung sebagai cadar. Efeknya antara lain, tidak jarang saya dianggap saleh.


Pakailah sarung, dan baju koko, dan aturlah mulut dalam mode pendiam. Anda akan dianggap saleh, terutama oleh mereka yang baru bertemu anda.


Itulah yang saya rasakan. Padahal saya memakai gemar memakai sarung tidak lebih karena kebiasaan dari kecil. Dan kebiasaan ini berasal dari lingkungan. Sekarang saya sukar lepas dari kebiasaan ini. Anda tahu, mengubah kebiasaan kadang sama artinya dengan mengubah diri sendiri. Hasilnya seringkali mustahil.


Seseorang yang dari kecil tidak terbiasa membaca buku, misalnya, pada usia 25 tahun ia nyaris akan menghabiskan sisa usianya dengan tidak ada gairah terhadap buku. Jika demikian jangan harap kita mampu mengubah kebiasaan makhluk ini. Lebih mudah menyuruhnya mencabuti rumput di pekarangan dari pada memintanya membaca buku.


Soal kebiasaan memakai sarung, sebagian besar dari kita tentu saja jauh dari kesimpulan bahwa pemakai sarung adalah orang religius. Tapi kita seperti mengabaikan fakta itu, terutama ketika terlibat dalam basa-basi yang tidak perlu. Penampilan orang, sebagai bahan basa-basi, selalu menggiring pada kalimat-kalimat formalitas. Beberapa orang, ketika mendapati saya memakai sarung di warkop akan dengan ringan menyebut kalimat, “Selamat ngopi, Ustadz”.


“Ya,” kata saya sambil mengangguk. Iya mengatakan kalimat lain, dan saya kembali mengangguk, mengangguk, mengangguk.


Manusia adalah makhluk agama, kata Rudolf Otto. Dan saya percaya manusia memang menempatkan orientasi agama dalam banyak lini kehidupan, dan antribut agama mau tidak mau melekat dalam penilaian individu terhadap individu lain. Artinya, penampilan religius seseorang menjadi pintu awal sebagai tolak ukur kesalehan seseorang. Saya tidak kenal si X, tapi karena si X memakai atribut religius dalam penampilannya, itu sudah cukup untuk membuat saya harus menyesuaikan sikap pada si X.


Sekali lagi, penampilan tidak menentukan apa-apa kecuali aspek luar dari seseorang, saya kira kita bisa bersepekat tentang itu. Kita bisa memilih penampilan religius, sambil diam-diam bersikap oposisi terhadap ajaran agama. Di abad ke-21, sikap demikian bukan barang baru. Sialnya, atau untungnya, saya sedang berada dalam fase—meski tidak ber-oposisi terhadap agama—mempertanyakan ulang doktrin agama.


Tentang surga dan neraka, tentang kebenaran agama, tentang kitab suci. Saya pikir setiap orang yang berusaha memahami dengan mendalam ajaran agama, akan bertemu tembok yang mengharuskan ia memiliki sikap skeptis. Misalnya, benarkah orang akan masuk surga semata karena berafiliasi kepada Islam, betapapun ia melakukan tindakan yang brengsek? Orang seperti Mahatma Gandhi, meski memiliki sikap respek dan baik pada sesama manusia, bagi orang Islam kebanyakan, kelak ia tidak akan menempati surga, sebab Gandhi bukan Islam.


Benarkah surga hanya ditentukan dari afiliasi keagamaan? Kita bisa menjawab dengan kalimat yang banyak dikatakan pada pemuka agama: hanya Tuhan yang tahu.


Satu agama seringkali menganggap pemahaman dan tindakan pemeluk agama lain tidak rasional. Orang yang tidak beragama sama sekali menganggap pemeluk agama berada dalam ilusi, tidak rasional. Kata Robert M. Prirsig, yang dikutip Ricard Dawkins: Ketika satu orang menderita delusi, fenomena ini disebut kegilaan. Ketika banyak orang menderita delusi, ini disebut agama.


Saya harap anda tidak salah paham bahwa saya seorang ateis yang sedang mengkritik agama. Tidak. Saya hanya sedang mempelajari, atau lebih tepat merenungkan ajaran agama. Hingga sekarang, saya masih menjalankan “ritual agama”, mempelajari kitab sucinya—bahkan saya mengambil studi teologi.


Bisa dikatakan, saya tidak sedang berhati-hati terhadap ajaran agama, tetapi saya mengambil porsi tertentu terhadap “penafsir agama”. Dalam beberapa hal posisi ini membuat saya kadang skeptis luar biasa terhadap “tukang agama”, bahkan saya sering ngeri sendiri pada pikiran saya dan tidak membayangkan betapa orangtua saya mungkin akan khawatir terhadap pikiran saya.


Nah, jika ia tahu apa yang saya pikirkan, semoga ia sadar bahwa saya hanya berada dalam fase belajar. Selain itu, kadang saya juga penasaran terhadap reaksi orang-orang yang sering melihat saya memakai sarung dan bersikap, meski hanya basa-basi, bahwa saya termasuk representasi dari orang religius. Kadang saya ingin berkata pada mereka, “Hai, maukah kau menjadi pengikutku? Kau akan masuk surga, dari pintu masuk manapun yang kau mau.”