Orang-orang yang berpengaruh positif terhadap kita seringkali adalah mereka yang menaruh kepedulian kepada kita, terutama yang mewujud dalam tindakan-tindakan, baik kecil maupun besar.
Salah satu orang yang paling berkesan dalam hidup
saya, yang kepadanya saya memiliki hutang budi, adalah Pak Muzammil. Orang yang
tidak ekspresif ini saya kenal ketika di pesantren, beliau mengajar Nahwu-Saraf
dan tidak pernah membawa kitab ketika mengajar. Ketika kelas mulai, Pak Zammil akan
meminjam kitab santri dan berkata, “Sampai di mana kita?”
Cara berjalannya yang pelan, menurut saya kontras
dengan pikirannya yang melesat: Pak Muzammil orang yang gandrung pada
teknologi, bahkan kami para santri mengenalnya sebagai hacker symbian os, dulu
ponsel-ponsel canggih Nokia mengusung sistem operasional ini. Selain itu Pak
Muzammil juga memiliki bacaan yang luas dan hal inilah yang barangkali tidak
banyak disadari para santri—meski memang tidak banyak santri yang mengenalnya
secara dekat. Beberapa kali Pak Muzammil memberi saya referensi bacaan unik—untuk
tidak mengatakan aneh—yang ditulis blogger Malang.
Dari blogger tersebut—saya lupa namanya dan blognya
sudah lama hilang—saya mengenal analisis lain tentang apa-apa yang sudah saya
terima secara buta, terutama tentang sejarah dan media. Dari blog ini, saya
mulai tertarik belajar tentang tema serupa yang dibahas penulis-penulis lain.
Dan dari penjelajahan kecil itu, saya mulai gemar membaca. Pendek kata, Pak
Muzammil secara tidak langsung memberi pondasi awal pada kultur literasi saya.
Karena tidak banyak santri yang mengenal Pak Muzammil
dengan baik, saya melihat satu fenomena yang mereka lewatkan: Pak
Muzammil sangat jenius dalam bidang bahasa Arab. Saya sendiri baru menyadari
hal ini ketika intens belajar privat pada beliau. Sekitar enam bulan terakhir
di pesantren, saya merasa sangat bodoh tentang bahasa Arab. Setelah melalui
beberapa kali cerita pada Pak Muzammil, ia berkenan mengajari saya.
Jauh sebelum belajar privat dimulai, saya sudah akrab
dengan Pak Muzammil dan saya tidak tahu apa yang membuat saya dekat. Beliau ini,
selain tidak ekspresif, juga sangat pendiam, meski tidak bisa dikatakan
dingin. Karena itu, saya cukup heran bisa dekat dengan beliau. Pada satu
kesempatan, saya pernah ngopi bersama beliau dan selama ngopi saya hanya diam
dan Pak Muzammil sibuk dengan ponselnya—nyaris setiap saat beliau sibuk dengan
ponsel, dari membuat trik internetan gratis, hingga memodifikasi sistem ponsel.
Pada kesempatan lain, saya pernah “dibawa” beliau
menghadiri acara di pesantren Pak Muzammil. Jaraknya sekitar 35 KM, dan Pak
Muzammil hanya mengatur kecepatan motor tidak lebih dari 30 KM/H. saya yang
waktu itu memiliki kebiasaan kebut-kebutan cukup harus menahan emosi melaju
dengan kecepatan “keong” itu. Di tengah perjalanan, Pak Muzammil masih mampir
di warung kopi, dan membuka ponsel setelah memesan kopi hitam. “Ponsel ini
senjata saya,” katanya membuka percakapan setelah saling diam selama
perjalanan. “Senjata bagaimana, Ustad,” tanya saya. “Ya senjata... semacam
bedil,” jawabnya.
“Kenapa tadi di jalan pelan sekali,” tanya saya.
“Ngebut atau pelan sama saja, sama akan sampai pada
tujuan dengan selisih waktu yang tidak seberapa, kecuali kau melaju dengan
kecepatan 150 KM/H.”
Saya mengangguk enggan, menunjukkan gestur tidak
terlalu sepakat.
Setelah sampai di tujuan, kami turun dan masuk masjid
untuk istirahat. Beliau melihat lingkungan sekitar dengan sedikit bengong,
seperti mencari bagian dirinya yang lain. “Di sini tentu saja banyak kenangan,”
katanya, “dan waktu memang tidak terasa. Ada banyak hal yang aku lalui dengan
spontan, termasuk kuliah dan menikah.”
Membeli ponsel symbian mungkin termasuk sedikit
perkara yang beliau perhitungkan dengan rinci. Dan menerima saya sebagai murid,
menurut saya jelas bukan sesuatu yang dipertimbangkan meski pada akhirnya
mungkin mengajar saya bukan perkara mudah, karena waktu belajar di atas jam sembilan malam.
Siang hari beliau mengajar di sekolah dasar, sore hari
ngajar di pesantren, dan sesekali berkebun, dan tentu saja, sebagai kepala
keluarga, Pak Zammil masih memiliki banyak kesibukan lain. Saya sendiri, siang
hari memiliki kesibukan di luar pesantren, entah sebagai supir atau tugas-tugas
lain dari Kyai, dan kadang berlangsung hingga sore hari. Setelah Maghrib saya
masih sesekali (meski sangat jarang) ikut ngaji, dan mengikuti pembelajaran privat ketika masih ada
kegiatan di dalam pesantren tentu bukan hal baik dilihat santri-santri lain.
Karena itu, malam hari adalah satu-satunya opsi
terbaik. Rumah Pak Muzammil saya tuju cukup dengan jalan kaki. Dan ini pada
titik tertentu menjadi momen keren yang saya ingat: di waktu santri lain sudah
menikmati waktu istirahat, maupun ngobrol, saya memilih menenteng kitab untuk
lanjut belajar. Tidak tanggung, kitab yang saya gendong cukup tebal untuk bahan
intimidasi bagi yang melihat: Jami>’ al-Duru>s, satu buku catatan tebal, dan Kayla>ni>.
Namun momen
yang saya sebut keren itu kadang tidak lebih hanya sebagai ajang
ngantuk-ngantukan di rumah Pak Muzammil, atau momen menenteng kitab yang
sepenuhnya artikulasi dari kesombongan belaka. Dari lembar-lembar yang dikaji,
rasanya sedikit sekali yang masuk di kepala.
Tapi
bagaimanapun, Pak Muzammil menelateni saya dengan cara-cara yang merugikan
beliau sendiri. Kadang beliau sangat ngantuk dan harus membuat banyak kopi,
kadang beliau sangat capek dan matanya sangat sayu, merah, letih. Melihat beliau
yang seperti itu, saya sebagai murid tidak banyak berbuat apa-apa kecuali
merasa sangat berhutang budi. Hingga larut malam, pernah hingga jam satu dini
hari, kami melewati waktu dengan diskusi.
Ketika akhirnya
kami sudah tidak belajar bersama, karena saya sudah hendak bersiap melanjutkan
ke perguruan tinggi, Pak Muzammil inilah yang membatu saya mencari beasiswa. Saya
ingat, di satu malam beliau mengantar saya menemui beberapa orang yang mengajar
di kampus yang saya tuju. Saya ingat ketika beliau mengajak saya sowan pada
Kyai dari Pak Muzammil untuk mencari info beasiswa dan pendaftaran kuliah.
Saya ingat
semua usaha-usaha beliau untuk membatu mencapai tujuan yang saya impikan. Bantuan
itu, jujur saja, tidak pernah diberikan guru-guru saya yang lain, bahkan Kyai
sekalipun. Saat mengenang momen-momen itu, kalimat di awal pembukaan ini
tiba-tiba tergurat dalam kepala.