Sabtu, 30 Mei 2020

Langkah Nenek

Kamis lalu saya bangun pukul tiga dinihari tanpa bisa tidur lagi dan, karenanya, untuk mengisi waktu saya membaca Seratus Tahun Kesunyian karya Marques. Saat sampai pada bagian Ursula menerima anak-anak Arcadio—yang baru mati ditembak—ibu saya menelpon; memberi kabar bahwa nenek saya meninggal.

Yang saya maksud nenek di sini adalah kakak perempuan nenek saya—dari pihak ibu. Meski bukan nenek “asli”, bagaimanapun ia masih terhitung nenek saya. Rumah kami berdampingan dan hubungan saya dan nenek benar-benar dekat; ia orang yang sabar mendengar cerita-cerita saya di sekolah dan akan memberi perhatian penuh saat saya mengatakan banyak hal.

Jadi, saya terpatung mendengar kabar duka itu dari ibu. Saya masih ada di tempat rantau dan tidak bisa pulang ke rumah, karena satu-dua alasan mendesak, terutama akibat virus. “Kau doakan saja dari sana,” kata ibu. Saya masih mematung dan hanya mampu menjawab singkat, “Ya.”

Dan beberapa detik kemudian sambungan telepon itu terputus.

Saya menutup buku Pak Marques dan masih kikuk untuk berbuat sesuatu, bahkan saya melupakan saran ibu untuk memberi nenek sebuah doa. Dalam situasi sepagi dan sendiri itu, kondisi hati terasa kocar-kacir dan tidak ada gunanya memikirkan akan berbuat apa. Saya berbaring menatap langit-langit kamar.

“Aku titip dua saudaramu ini, jaga dan tegurlah jika mereka melakukan salah,” kata nenek di waktu ia mengantar dua cucunya untuk mondok di pesantren: mengikuti jejak saya yang sudah lebih dulu sekitar dua tahun. Nurul satu tahun lebih tua dari saya; Fathur dua tahun lebih muda dari saya. Pesan nenek saya ingat hingga sekarang, meski saya enggan menegur dua saudara itu, saya tidak berniat menampilkan diri sebagai korektor atas tindakan mereka.

Saya tidak pernah menjaga mereka karena mereka lebih jago dalam bertarung: mereka rajin berkelahi ketika kecil, mempelajari dengan tekun ilmu bela diri saat di pesantren. Sedang saya, seumur-umur, baru satu kali berkelahi ketika SMP, tubuh saya kurus untuk terlihat jagoan atau sok jagoan. 

Pesan nenek itu saya jalankan selama Nurul atau Fathur meminta saya memberi masukan atas masalah yang mereka hadapi. Dan hingga sekarang kami tetap saling membantu. O, kami tidak saling bantu, terutama dalam hubungan saya dengan Nurul, bocah ini adalah manusia paling malang karena akan saya hubungi jika saya butuh bantuan. Dan ia selalu tampil seperti malaikat untuk memberi pertolongan.

Di usia saya yang ke-17, nenek tiba-tiba meminta nasihat bagaimana memberikan pengertian yang baik pada Nurul dan Fathur, bahwa mereka harus belajar serius di pesantren. Saya tidak bisa memberi jawaban pada nenek.

Saat saya berusia 19, nenek sudah kehilangan sebagian kesadaran dan kemampuan bergerak. Ia pikun dan terkena stroke. Beberapa kali saya melihatnya berjalan sangat pelan—sedikit menyeret kakinya, berjalan menuju musalla. Sebelum cara berjalannya agak terseret, saya hafal suara langkah kakinya: ketika sakit, nenek tiap hari akan menjenguk dan melihat perkembangan kesehatan saya; dan dari kamar, saya mendengar dengan jelas langkah pendek-pendek kaki nenek yang sesekali berbunyi karena tumitnya berpantulan dengan sandal jepit.

Suara langkah kaki itu, yang saya hafal ketika sakit, menjadi suara langkah yang saya kenal hingga ia tidak mampu berjalan lagi. Sesekali saya mengunjunginya ketika pulang dan saya senang ia tersenyum melihat saya, dan ia juga masih mengingat nama saya meski telah pikun—setidaknya sebelum kondisinya makin parah. Hal itu membuat saya merasa tetap menjadi anak yang akan ia dengarkan saat saya bercerita segala hal, kalau saja ia mampu mendengar.

Percikan-percikan itu muncul saat saya terbaring setelah dikabari ibu. Saya mencoba tetap tenang dan tidak menangis. Lalu segera saya memejamkan mata sekitar jam enam. Jam tujuh saya bangun, merasakan tangan sedikit nyeri karena tertindih, dan membalas pesan masuk kawan yang akan keluar bersama hari itu.

Saya mencoba untuk tetap tenang, bercakap-cakap dengan cara biasa, berkelakar dan tertawa dengan cara yang wajar. Sebelumnya saya tak mampu bersikap demikian saat mendengar kabar kematian famili dekat. Saat ayah meninggal, saya nyaris pingsan. Nenek “asli” meninggal, saya histeris. Kakek meninggal, saya menangis bahkan berhari-hari. Bibi meninggal saya menangis di dalam bis.

Sepanjang hari itu, setiap ingat nenek meninggal, saya mengingatkan diri sendiri: Nenek pasti bahagia di sana, saya tidak punya alasan untuk bersedih. Lanjutkan berbahagia di sana, Nek. Cucumu akan melanjutkan kebahagiaannya di sini. Mari kita berbahagia bersama.

Kalimat-kalimat itu saya ulang-ulang sepanjang hari. Dan membuat saya tidak terlalu bersedih. Ini menjadi momentum menyikapi kematian dengan cara yang radikal; yang berbeda dari sikap-sikap saya yang dahulu. Tapi saya kalah: hari ini air mata seperti memiliki kehendak sendiri untuk keluar. Namun saya tidak terlalu bersedih, karena kalimat-kalimat di atas tetap manjur: nenek melanjutkan kebahagiaannya, saya juga.

Dalam pikiran saya sekarang, ia melangkah lebih ringan dengan suara yang saya hafal dulu. Menuju tempat yang baik.