Yang saya maksud nenek di sini adalah kakak perempuan
nenek saya—dari pihak ibu. Meski bukan nenek “asli”, bagaimanapun ia masih
terhitung nenek saya. Rumah kami berdampingan dan hubungan saya dan nenek
benar-benar dekat; ia orang yang sabar mendengar cerita-cerita saya di sekolah
dan akan memberi perhatian penuh saat saya mengatakan banyak hal.
Jadi, saya terpatung mendengar kabar duka itu dari
ibu. Saya masih ada di tempat rantau dan tidak bisa pulang ke rumah, karena
satu-dua alasan mendesak, terutama akibat virus. “Kau doakan saja dari sana,”
kata ibu. Saya masih mematung dan hanya mampu menjawab singkat, “Ya.”
Dan beberapa detik kemudian sambungan telepon itu
terputus.
Saya menutup buku Pak Marques dan masih kikuk untuk
berbuat sesuatu, bahkan saya melupakan saran ibu untuk memberi nenek sebuah
doa. Dalam situasi sepagi dan sendiri itu, kondisi hati terasa kocar-kacir dan
tidak ada gunanya memikirkan akan berbuat apa. Saya berbaring menatap
langit-langit kamar.
“Aku titip dua saudaramu ini, jaga dan tegurlah jika
mereka melakukan salah,” kata nenek di waktu ia mengantar dua cucunya untuk mondok
di pesantren: mengikuti jejak saya yang sudah lebih dulu sekitar dua tahun.
Nurul satu tahun lebih tua dari saya; Fathur dua tahun lebih muda dari saya. Pesan
nenek saya ingat hingga sekarang, meski saya enggan menegur dua saudara itu,
saya tidak berniat menampilkan diri sebagai korektor atas tindakan mereka.
Saya tidak pernah menjaga mereka karena mereka lebih
jago dalam bertarung: mereka rajin berkelahi ketika kecil, mempelajari dengan
tekun ilmu bela diri saat di pesantren. Sedang saya, seumur-umur, baru satu
kali berkelahi ketika SMP, tubuh saya kurus untuk terlihat jagoan atau sok
jagoan.
Pesan nenek itu saya jalankan selama Nurul atau Fathur
meminta saya memberi masukan atas masalah yang mereka hadapi. Dan hingga
sekarang kami tetap saling membantu. O, kami tidak saling bantu, terutama dalam
hubungan saya dengan Nurul, bocah ini adalah manusia paling malang karena akan
saya hubungi jika saya butuh bantuan. Dan ia selalu tampil seperti malaikat
untuk memberi pertolongan.
Di usia saya yang ke-17, nenek tiba-tiba meminta
nasihat bagaimana memberikan pengertian yang baik pada Nurul dan Fathur,
bahwa mereka harus belajar serius di pesantren. Saya tidak bisa memberi jawaban
pada nenek.
Saat saya berusia 19, nenek sudah kehilangan sebagian
kesadaran dan kemampuan bergerak. Ia pikun dan terkena stroke. Beberapa kali
saya melihatnya berjalan sangat pelan—sedikit menyeret kakinya, berjalan menuju
musalla. Sebelum cara berjalannya agak terseret, saya hafal suara langkah
kakinya: ketika sakit, nenek tiap hari akan menjenguk dan melihat perkembangan
kesehatan saya; dan dari kamar, saya mendengar dengan jelas langkah pendek-pendek
kaki nenek yang sesekali berbunyi karena tumitnya berpantulan dengan sandal
jepit.
Suara langkah kaki itu, yang saya hafal ketika sakit,
menjadi suara langkah yang saya kenal hingga ia tidak mampu berjalan lagi. Sesekali
saya mengunjunginya ketika pulang dan saya senang ia tersenyum melihat saya,
dan ia juga masih mengingat nama saya meski telah pikun—setidaknya sebelum
kondisinya makin parah. Hal itu membuat saya merasa tetap menjadi anak yang
akan ia dengarkan saat saya bercerita segala hal, kalau saja ia mampu
mendengar.
Percikan-percikan itu muncul saat saya terbaring
setelah dikabari ibu. Saya mencoba tetap tenang dan tidak menangis. Lalu segera
saya memejamkan mata sekitar jam enam. Jam tujuh saya bangun, merasakan tangan
sedikit nyeri karena tertindih, dan membalas pesan masuk kawan yang akan keluar
bersama hari itu.
Saya mencoba untuk tetap tenang,
bercakap-cakap dengan cara biasa, berkelakar dan tertawa dengan cara yang
wajar. Sebelumnya saya tak mampu bersikap demikian saat mendengar kabar
kematian famili dekat. Saat ayah meninggal, saya nyaris pingsan. Nenek “asli”
meninggal, saya histeris. Kakek meninggal, saya menangis bahkan berhari-hari. Bibi
meninggal saya menangis di dalam bis.
Sepanjang hari itu, setiap ingat nenek meninggal, saya
mengingatkan diri sendiri: Nenek pasti bahagia di sana, saya tidak punya alasan
untuk bersedih. Lanjutkan berbahagia di sana, Nek. Cucumu akan melanjutkan
kebahagiaannya di sini. Mari kita berbahagia bersama.
Kalimat-kalimat itu saya ulang-ulang sepanjang hari. Dan
membuat saya tidak terlalu bersedih. Ini menjadi momentum menyikapi kematian
dengan cara yang radikal; yang berbeda dari sikap-sikap saya yang dahulu. Tapi saya kalah: hari ini air mata seperti memiliki
kehendak sendiri untuk keluar. Namun saya tidak terlalu bersedih, karena
kalimat-kalimat di atas tetap manjur: nenek melanjutkan kebahagiaannya, saya
juga.
Dalam pikiran saya sekarang, ia melangkah lebih ringan
dengan suara yang saya hafal dulu. Menuju tempat yang baik.