Senin, 11 Mei 2020

Sebuah Pertanyaan: Sudah Sampai Bab Berapa?

Bagi sebagian besar mahasiswa, skripsi serupa kiamat dalam bentuk mini: ia perkasa sekali membuat kebahagian-kebahagian duniawi—yang besar maupun kecil—meluntur. Dan cara seseorang menyikapi skripsi mencerminkan bagaimana kepribadian ia dan sejauh apa pengetahuannya.

Komposisi keruwetan skripsi antara lain: judul berkali-kali ditolak, penulisan proposal tersendat-sendat, referensi susah, dosen pembimbing menetapkan kualitas tulisan tinggi, dan, akibatnya, penulisan lebih lanjut sering kali buntu. Semua susunan itu lambat laun mengendap menjadi sekam emosi dalam diri mahasiswa dan jika kita nekat bertanya ia sudah sampai bab berapa, ia sudah siap mengeluarkan endapan sekam kemarahan itu dan dengan jelas atau tidak, menghendaki sebuah jawab, “Tutup mulutmu dan kerjakan saja urusanmu, Bangsat!”

Saya serius, pertanyaan “sudah bab berapa?” tidak bisa direspon dengan santai oleh mahasiswa yang tidak bisa mengendalikan kedewasaannya. Seolah pertanyaan bab berapa seperti pertanyaan kapan mati yang merusak standar kesopanan. Awalnya saya sedih skripsi merubah perangai kawan-kawan saya menjadi sensitif, tapi bagaimanapun itu bukan salah skripsi.

Biasanya, sikap di atas diwakili oleh mereka yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan intelektual rendah. Masih ada jenis mahasiswa lain: kecerdasan emosi tinggi, intelektual rendah; emosi rendah, intelektual tinggi; emosi tinggi, intelektual tinggi.

Tentu saja sifat asli mahasiswa lebih kompleks dari pembagian ngawur saya di atas, tapi setidaknya itu sudah mewakili cukup banyak mahasiswa. Dan jenis-jenis itu menentukan cara mereka berhubungan dengan skripsi.

Jika contoh sebelumnya adalah mahasiswa kelompok pertama, mari kita lihat contoh kedua. Mahasiswa dengan golongan emosi tinggi dan intelektual rendah, cenderung bersikap kalem terhadap apa-apa yang menghalangi urusan skripsi mereka. Judul ditolak berarti mencoba cari lagi, bahan-bahan penelitian susah ya pantang menyerah, dosen terus main petak umpet ia tetap bersabar. Masalah mereka mungkin di bidang intelektual dan bisa diakali dengan bimbingan dosen maupun bantuan teman-temannya. Jika ditanya bab berapa, mereka akan santai saja menjawab.

Ketiga, mahasiswa ber-emosi rendah, intelektual tinggi. Makhluk ini pasti tidak memiliki masalah dengan sesuatu yang menyangkut konten skripsi. Judul ditolak ya bikin lagi, bahan tidak memadai bisa mengandalkan kecerdasannya, dosen rumit ia bisa mengimbangi. Masalahnya mereka mudah meledak-ledak dan mudah emosi dalam menghadapi hambatan di atas. Dan jika anda bertanya ia sudah bab berapa pada saat kondisi emosinya parah, anda bisa kehilangan rupa ramahnya.

Golongan ini cukup banyak jumlahnya, silakan anda lihat daftar ilmuan terkenal dunia, banyak di antara mereka yang mudah marah oleh pemicu yang benar-benar sepele.

Keempat, mahasiswa dengan emosi tinggi, dan intelektual tinggi. Bisa dibilang makhluk ini karakter paling susah ditemui. Anda tahu, kecerdasan emosi tidak muncul dari bumi dan kecerdasan intelektual tidak jatuh dari langit, butuh ketekunan melatih jiwa, membuka buku, dan terus belajar. Dan kelompok ini, jika menghadapi berbagai keruwetan skripsi, mereka kalem-kalem saja.

Mereka tidak punya beban di bidang intelektual dan, jika menghadapi kesulitan eksternal, emosi mereka bisa diandalkan. Kita bisa bertanya sudah bab berapa atau bertanya apapun pada mereka dan mereka akan selalu merespon dengan positif.

Kita semua memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasi diri termasuk golongan terakhir. Sah-sah saja. Bagaimanapun realitas selalu kompleks dan mahasiswa bisa berada sedikit di kelompok pertama dan kelompok ketiga sekaligus. Atau sebaliknya.

Tapi, persetan di mana posisi seseorang, saya masih sering keheranan mendapati mahasiswa meledak saat mendapati pertanyaan soal skripsi—anda tidak sulit mencari ungkapan demikian di media sosial. Sebagian mereka beralasan seseorang tak patut bertanya apapun tentang skripsi tanpa niat membantu.

O, jadi respon itu tidak lebih dari refleksi bahwa mereka butuh bantuan. Jadi mungkin saya salah menyebut kualitas emosi mereka rendah. O, tidak-tidak, sepertinya saya masih benar. Atau terserah anda.

Terlepas dari itu semua, saya pikir ada yang perlu menegaskan pada mereka bahwa skripsi bukan barang yang menentukan hidup dan mati. Setiap pembelajar akan tahu bahwa esensi dari pendidikan adalah pembelajaran itu sendiri. Karenanya, bagi pembelajar, skripsi bukanlah final dari perjalanan pendidikan. Setiap pembelajar akan menjadi pembelajar sampai mati. Jika sikap pembelajar ini sudah tertanam, mereka akan kalem saja menghadapi keruwetan skripsi. Sekali lagi, harus ada yang menanamkan sikap seperti ini di dunia pendidikan kita.

Siapa yang berkewajiban menekankan pemahaman ini? Saya tidak. Anda mungkin juga tidak. Yang berkewajiban adalah pemerintah, kampus, sekolah, dosen dan guru. Bagaimanapun mereka memiliki daya untuk mengampanyekan itu. Saya dan anda tidak.

Saya tidak bisa meyakinkan kawan-kawan bahwa skripsi itu bukan esensi dari perkuliahan. Lha aku iki sopo? Saya sadar diri dan kesadaran itu membuat saya hanya dapat menemani kawan-kawan yang sesekali minta ditemani saat kesusahan menulis skripsi. Cuma itu yang bisa saya lakukan.

Dan ketika mereka lulus, saya kagum mereka bisa meyakinkan kawan-kawan yang belum lulus bahwa skripsi itu mudah, “Paling setengah atau sebulan selesai,” kata mereka. Jadi saat mereka bergalau-galau saat menulis, bahkan sampai nangis, mungkin itu akting belaka, pikir saya. Mereka menjadi bijak sekali setelah lulus, terutama saat memberi nasihat kepada mereka yang belum lulus.

Tentu saja saya senang mereka menjadi bijak. Dan saya lebih senang jika mahasiswa lebih santai tentang pertanyaan atas skripsi mereka. Anda tahu, seseorang yang bertanya tentang skripsi kita bisa jadi adalah orang yang kebingungan dan mereka berusaha mencari teman untuk tidak merasa kebingungan sendiri. Dengan kata lain, mereka sedang mencari kawan untuk berjuang bersama.

Hal yang perlu diperhatikan, setidaknya jika anda percaya pada macam-macam mahasiswa yang saya tulis di atas, kita menjadi tahu, bahwa keruwetan skripsi bergantung pada sikap kita. Skripsi adalah masalah pribadi kita dan jika kita punya hubungan buruk dengan skripsi, tidak baik menjadikan orang lain sebagai pelampiasan keruwetan kita hanya karena pertanyaan sederhana. Mereka tidak punya hubungan langsung tentang masalah kita.

Bersikap reaksioner secara negatif terhadap pertanyaan sederhana soal skripsi memperlihatkan sifat kekanak-kanakan dan tidak tahu bagaimana cara bersikap respek.

Anda setuju pertanyaan soal skripsi sebenarnya adalah pertanyaan sepele? Jika iya, mari kita ringan-ringan saja menjawab. Anda tahu, menjawab hal itu tidak merubah kehidupan kita menjadi lebih buruk. Kecuali kita berusaha membuat-buat kondisi makin buruk dan mempercayai bahwa hidup benar-benar makin buruk. Percayalah, sebagai manusia, kita menyedihkan sekali jika demikian.