Komposisi keruwetan skripsi antara lain: judul
berkali-kali ditolak, penulisan proposal tersendat-sendat, referensi susah,
dosen pembimbing menetapkan kualitas tulisan tinggi, dan, akibatnya, penulisan
lebih lanjut sering kali buntu. Semua susunan itu lambat laun mengendap menjadi
sekam emosi dalam diri mahasiswa dan jika kita nekat bertanya ia sudah sampai
bab berapa, ia sudah siap mengeluarkan endapan sekam kemarahan itu dan dengan
jelas atau tidak, menghendaki sebuah jawab, “Tutup mulutmu dan kerjakan saja
urusanmu, Bangsat!”
Saya serius, pertanyaan “sudah bab
berapa?” tidak bisa direspon dengan santai oleh mahasiswa yang tidak bisa
mengendalikan kedewasaannya. Seolah pertanyaan bab berapa seperti pertanyaan
kapan mati yang merusak standar kesopanan. Awalnya saya sedih skripsi merubah
perangai kawan-kawan saya menjadi sensitif, tapi bagaimanapun itu bukan salah
skripsi.
Biasanya, sikap di atas diwakili
oleh mereka yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan intelektual rendah. Masih
ada jenis mahasiswa lain: kecerdasan emosi tinggi, intelektual rendah; emosi
rendah, intelektual tinggi; emosi tinggi, intelektual tinggi.
Tentu saja sifat asli mahasiswa
lebih kompleks dari pembagian ngawur saya di atas, tapi setidaknya itu sudah
mewakili cukup banyak mahasiswa. Dan jenis-jenis itu menentukan cara mereka
berhubungan dengan skripsi.
Jika contoh sebelumnya adalah mahasiswa
kelompok pertama, mari kita lihat contoh kedua. Mahasiswa dengan golongan emosi
tinggi dan intelektual rendah, cenderung bersikap kalem terhadap apa-apa yang
menghalangi urusan skripsi mereka. Judul ditolak berarti mencoba cari lagi,
bahan-bahan penelitian susah ya pantang menyerah, dosen terus main petak umpet
ia tetap bersabar. Masalah mereka mungkin di bidang intelektual dan bisa
diakali dengan bimbingan dosen maupun bantuan teman-temannya. Jika ditanya bab
berapa, mereka akan santai saja menjawab.
Ketiga, mahasiswa ber-emosi rendah,
intelektual tinggi. Makhluk ini pasti tidak memiliki masalah dengan sesuatu
yang menyangkut konten skripsi. Judul ditolak ya bikin lagi, bahan tidak memadai
bisa mengandalkan kecerdasannya, dosen rumit ia bisa mengimbangi. Masalahnya
mereka mudah meledak-ledak dan mudah emosi dalam menghadapi hambatan di atas.
Dan jika anda bertanya ia sudah bab berapa pada saat kondisi emosinya parah,
anda bisa kehilangan rupa ramahnya.
Golongan ini cukup banyak jumlahnya,
silakan anda lihat daftar ilmuan terkenal dunia, banyak di antara mereka yang
mudah marah oleh pemicu yang benar-benar sepele.
Keempat, mahasiswa dengan emosi
tinggi, dan intelektual tinggi. Bisa dibilang makhluk ini karakter paling susah
ditemui. Anda tahu, kecerdasan emosi tidak muncul dari bumi dan kecerdasan
intelektual tidak jatuh dari langit, butuh ketekunan melatih jiwa, membuka buku,
dan terus belajar. Dan kelompok ini, jika menghadapi berbagai keruwetan skripsi, mereka kalem-kalem
saja.
Mereka tidak punya beban di bidang
intelektual dan, jika menghadapi kesulitan eksternal, emosi mereka bisa
diandalkan. Kita bisa bertanya sudah bab berapa atau bertanya apapun pada
mereka dan mereka akan selalu merespon dengan positif.
Kita semua memiliki kecenderungan
untuk mengidentifikasi diri termasuk golongan terakhir. Sah-sah saja.
Bagaimanapun realitas selalu kompleks dan mahasiswa bisa berada sedikit di kelompok
pertama dan kelompok ketiga sekaligus. Atau sebaliknya.
Tapi, persetan di mana posisi
seseorang, saya masih sering keheranan mendapati mahasiswa meledak saat
mendapati pertanyaan soal skripsi—anda tidak sulit mencari ungkapan demikian di
media sosial. Sebagian mereka beralasan seseorang tak patut bertanya apapun
tentang skripsi tanpa niat membantu.
O, jadi respon itu tidak lebih dari refleksi bahwa mereka butuh bantuan. Jadi mungkin saya salah menyebut kualitas
emosi mereka rendah. O, tidak-tidak, sepertinya saya masih benar. Atau terserah
anda.
Terlepas dari itu semua, saya pikir
ada yang perlu menegaskan pada mereka bahwa skripsi bukan barang yang
menentukan hidup dan mati. Setiap pembelajar akan tahu bahwa esensi dari
pendidikan adalah pembelajaran itu sendiri. Karenanya, bagi pembelajar, skripsi
bukanlah final dari perjalanan pendidikan. Setiap pembelajar akan menjadi
pembelajar sampai mati. Jika sikap pembelajar ini sudah tertanam, mereka akan kalem saja menghadapi keruwetan skripsi. Sekali lagi, harus ada yang menanamkan sikap seperti
ini di dunia pendidikan kita.
Siapa yang berkewajiban menekankan
pemahaman ini? Saya tidak. Anda mungkin juga tidak. Yang berkewajiban adalah pemerintah,
kampus, sekolah, dosen dan guru. Bagaimanapun mereka memiliki daya untuk
mengampanyekan itu. Saya dan anda tidak.
Saya tidak bisa meyakinkan
kawan-kawan bahwa skripsi itu bukan esensi dari perkuliahan. Lha aku iki sopo?
Saya sadar diri dan kesadaran itu membuat saya hanya dapat menemani kawan-kawan
yang sesekali minta ditemani saat kesusahan menulis skripsi. Cuma itu yang bisa saya
lakukan.
Dan ketika mereka lulus, saya kagum
mereka bisa meyakinkan kawan-kawan yang belum lulus bahwa skripsi itu mudah, “Paling
setengah atau sebulan selesai,” kata mereka. Jadi saat mereka bergalau-galau
saat menulis, bahkan sampai nangis, mungkin itu akting belaka, pikir saya.
Mereka menjadi bijak sekali setelah lulus, terutama saat memberi nasihat kepada
mereka yang belum lulus.
Tentu saja saya senang mereka
menjadi bijak. Dan saya lebih senang jika mahasiswa lebih santai tentang
pertanyaan atas skripsi mereka. Anda tahu, seseorang yang bertanya tentang
skripsi kita bisa jadi adalah orang yang kebingungan dan mereka berusaha
mencari teman untuk tidak merasa kebingungan sendiri. Dengan kata lain, mereka
sedang mencari kawan untuk berjuang bersama.
Hal yang perlu diperhatikan,
setidaknya jika anda percaya pada macam-macam mahasiswa yang saya tulis di
atas, kita menjadi tahu, bahwa keruwetan skripsi bergantung pada sikap kita. Skripsi
adalah masalah pribadi kita dan jika kita punya hubungan buruk dengan skripsi, tidak
baik menjadikan orang lain sebagai pelampiasan keruwetan kita hanya karena
pertanyaan sederhana. Mereka tidak punya hubungan langsung tentang masalah
kita.
Bersikap reaksioner secara negatif terhadap
pertanyaan sederhana soal skripsi memperlihatkan sifat kekanak-kanakan dan
tidak tahu bagaimana cara bersikap respek.
Anda setuju pertanyaan soal skripsi
sebenarnya adalah pertanyaan sepele? Jika iya, mari kita ringan-ringan saja
menjawab. Anda tahu, menjawab hal itu tidak merubah kehidupan kita menjadi
lebih buruk. Kecuali kita berusaha membuat-buat kondisi makin buruk dan mempercayai
bahwa hidup benar-benar makin buruk. Percayalah, sebagai manusia, kita
menyedihkan sekali jika demikian.