Jika dikatakan salah satu cara efektif melek waktu adalah menjadi
muadzin, saya setuju. Seorang tak bisa mengumandangkan adzan Subuh jam enam
pagi. Akan aneh—meskipun sah saja, adzan Isya’ jam 10 malam. Umumnya, batas toleransi
“telat” adzan tak lebih dari dua atau lima menit. Kecuali Maghrib saat
Ramadhan, muadzin nyaris tak boleh terlewat waktu.
Kesetujuan saya, sayangnya, tak diimbangi dengan semangat
melantunkan adzan. Alasannya: suara ancur. Karenanya, saya terakhir kali
adzan saat kelas 2 SMP, itupun karena dulu dibayar tiap satu kali adzan. Efeknya,
tiap mendapat giliran adzan di tempat KKN, saya ingin pura-pura pingsan!
Adzan bukan hanya butuh suara merdu, tapi juga disiplin waktu. Karena tetap diharuskan adzan, saya memilih waktu subuh, untuk mengatasi ketak-PD-an. Tentu karena pada waktu ini banyak orang yang tak akan menghiraukan suara adzan.
Ternyata adzan subuh sembari dikepung suhu 13 derajat celcius butuh
perjuangan. Mula-mula, saya akan malas luar biasa bangkit dari tidur melihat
yang lain masih tidur. Kemudian, kulit serasa membeku saat di tempat terbuka
menuju masjid. Belum lagi sensasi gemetar kulit menyentuh air untuk wudu. Dan
saya harus adzan dengan bibir gemeretak kedinginan, yang membuat suara adzan
tampak konyol.
Saat selesai rangkaian di atas, kepala ini sudah merasa membesar:
satu kedisiplinan sudah terlewati. Tinggal esok lagi. Lagi esok. Seterusnya.
Begitulah adzan melatih saya, membeli harga kemalasan. Agama memang cenderung
tak membiarkan manusia hidup dengan waktu yang dilalaikan.
Seorang guru besar sejarah dan ekonomi Harvard tertarik pada jam,
ia telaah alat waktu manusia ini. Kita tahu namanya David S. Landes.
Kesimpulannya: ibadat biaralah yang membagi waktu dalam rangkaian terinci,
hingga ada arloji, seiko, dan pieget. Pembagian waktu kemudian ditransformasikan
jadi konsep yang mudah dipakai matematika dan kehidupan sehari-hari. Ia menjadi
acuan ibadah, membagi warisan, mengisi perut yang lapar, atau kapan meledakkan
nuklir.
Waktu juga membuka mata saya akan satu rantai yang saling
kait-mengkait: jika waktu tidur molor, akan berimbas pada aktivitas siang hari
yang akan diserang ngantuk. Jika jadwal A bablas, jadwal B akan rusak.
Keberpengaruhan waktu itu membuat saya mengingat industri. Sebagaimana
agama, industri tak rela soal terbuangnya waktu. Jika ada seorang pegawai
pabrik sepatu yang mengawaki satu mesin telat masuk, ia akan menghambat kinerja
pegawai yang mengawaki mesin lain. Jika pekerja mesin di nomor tiga tertidur
lima menit, ia menghentikan pengerjaan mesin lainnya. Dan untuk mecegah
kekacauan semacam itu, satu-satunya solusi: tepat waktu!
Jadwal industri tersebut kemudian diadopsi sekolah, kantor, dan
lain-lain. imbasnya juga menyentuh pada kapan angkutan umum harus berangkat.
Maka, Industri membuat semua saling terikat satu sama lain. Pengikat itu
bernama waktu.
Bayangkan, di abad pertengahan, sebagian besar masyarakat—terutama
eropa—tak mampu melakukan pengukuran waktu secara tepat, juga sama sekali tak
tertarik untuk melakukannya. Dunia berjalan tanpa jam dan jadwal. Semua hanya bergantung
pada edaran matahari dan siklus pertanian. Dan jika ada seorang pengembara yang
bingung dan bertanya “tahun berapa sekarang?” maka orang-orang desa akan
terheran-heran dengan pertanyaan itu.
Dunia berubah. Industri tak peduli dengan matahari!
Waktu adalah pedang, kata pepatah. Ia memenggal umur tanpa rasa
sakit. Bunyi adzan barangkali akan selalu mengingatkan saya soal harga
kemalasan yang mahal. Harga yang kadang tetap tak mengubah sikap malas.