Jumat, 30 Agustus 2019

Surat-surat Mini Untuk Saya


Bersama 18 orang kawan, saya tinggal satu rumah selama satu bulan penuh, untuk menjalani masa KKN. Satu bulan yang awalnya saya pandang sebagai waktu yang menyiksa, pada momen tertentu, membikin memori tak bisa melupakannya. Kelak, semoga saya punya kemampuan menulis keping demi keping momen itu.

Bagaimana rasanya satu bulan satu atap bersama orang yang nyaris seluruhnya asing? Well, cukup menyegarkan. Si A kadang membikin ngakak, si B kadang membuat bengong. Kawan C meninggalkan celana dalamnya di kamar mandi, kawan D mungkin diam-diam tersengat “cinta lokasi”. Bila saya singkat: nano-nano kesannya.

Dan catatan ini berisi kesan yang ditujukan untuk saya, entah jujur atau tidak. Tujuan ditulis di blog ini sederhana: agar ketika rindu momen bersama, tak perlu membuka kertas surat mini. Catatan berikut ada yang saya rubah seperlunya, tanpa mengurangi esensi.

Saya tak tahu siapa penulis masing-masing surat ini. Tapi, untuk kalian semua... salam hangat dari bocah aneh ini.
˔˔˔
Jangan dingin-dingin.
Sikapnya nakutin.
Hehehe.

Hahaha. Sori membuatmu takut. Semoga aku punya waktu kenal dekat denganmu. Hingga kau dapat melihat sifat tersembunyiku (lebay!!!).
˔˔˔
Kalau ada salah-salah, mohon maaf sebanyak-banyaknya. Jangan kerja sendiri, kan anak-anak yang lain bisa bantu.
Terimakasih sudah menjadi teman serumah. Jangan bosan-bosan punya teman seperti ini.

Aku tidak kerja sendiri, Fellas! 18 orang itu keluar tenaga semua. Dan, mohon maaf juga. Senang bersama kalian.
˔˔˔
Pakem ae, rek!

Supaya istiqomah, Bro! Haha.
˔˔˔
Sudah jelas kalau dirimu sabar dan dewasa. Tapi auramu membikin segan. Dan mohon maklumi sifat bar-bar anak-anak.

Percayalah, aku sorang bocah yang terkurung dalam tubuh berusia 23 tahun.
˔˔˔
Sangar dirimu. Bacaanmu ngeri. Gak banyak ngomong tapi action-nya sangar. Belajar banyak darimu. Kapan-kapan ayo diskusi lagi. Semoga lancar semua urusannya. Semoga tetap lurus jalannya. Tetap rasional dan sangar!

Senang kau paham selera bacaku. Dulu, di sebuah tempat, aku pernah melihat seorang cewek yang tertawa sendirian menatap lembar-lembar karya Nietzsche. Melihatnya, aku merasa dunia akan baik-baik saja. Ehm, kau termasuk wanita semacam itu? (yeah, kalau kau wanita, tentu saja). Untuk doanya, semoga kembali padamu.
Ehm, tetap rasional? Well, kau tau Foucault, bukan? Memahami pemikirannya, entah apa itu rasional. Haha!
˔˔˔
Bermanfaat dan bermartabat.

Siapapun kau... Maksudmu opo?
˔˔˔
Perbanyak baca istighfar
Karena semakin banyak
Wanita bar-bar
Hiyayaya...
Maafkan lah aku
Bar-bar
Terima kasih banyak.

Astaghfirullah...
Aku sudah baca istighfar
Dan, tak masalah banyak
Wanita bar-bar
Karena, aku menikmatinya. Haha!
˔˔˔
Jangan cuek-cuek. Bikin orang takut, nggak berani ngajak bercanda. Jangan terlalu diam. Bikin orang salah paham.

Hei, blogku. Aku kudu piye?
Ehm, Sebenarnya, pada titik tertentu, disalahpahami itu menyenangkan. Introvert paham ini. Hehe.
˔˔˔
Jangan asik sama dunia sendiri. Bisa jadi orang lain juga tertarik dengan duniamu. Hiya hiya hiya.

Percayalah, orang lain tak akan tertarik pada duniaku. Dunia bocah yang muram.
˔˔˔
Nggak usah cuek-cuek. Kalau ada yang kurang atau salah diomongkan saja. Gak usah sungkan. Peace. Aku yang sungkan kalau kamu terlalu diam. Sampai jumpa di lain hari.

Salam sungkem buatmu, ya. Maafkan sifat yang mungkin sudah dari sononya ini. Lain hari, kalau sudah kenal dekat, mungkin... mungkin lho ya, kesanmu bisa berubah.
˔˔˔
Terima kasih. Kamu yang paling banyak mengajariku banyak hal. Terima kasih telah bantu kelompok ini dengan kerja keras yang luar biasa.

Hoy, aku mengajarimu apa? Tentang bagaimana cara tidur yang baik?
˔˔˔
Sepurane seng akeh.

Serasa lebaran, ey.
˔˔˔
Senang sekali rasanya bisa bertemu kamu, seseorang yang memiliki jiwa yang kritis serta sangat rasional. Aku belajar banyak dari kamu. Semoga keperluanmu dipermudah dan lancar. Salam FU!!

Senang juga bertemu denganmu. Sebentar, aku tak serasional itu. aku tahu dua ditambah dua hasilnya empat, tapi tak pernah paham mengapa dua dikali dua hasilnya juga empat. Semoga urusamu dipermudah juga. Salam FU!
˔˔˔
Jangan kerja sendiri. Kalau butuh ngomong saja ke temen-temen. Ehe...

Hai kawan-kawan. Kadang aku butuh pasangan!
˔˔˔
LOL!

Loading-ku lama?
˔˔˔
Hay everyone
Yo’re amazing. 

Boleh kenalan? Siapa, ya?
˔˔˔
Sukses jalannya masing-masing dan menyebarkan yang positif.
Bisnis.

Hai, Bro. Bisnis apa sekarang?
˔˔˔
Love you
Ya ya ya ya.

Sebentar, aku tahu kau menulis “love you” untuk semua.
Sebentar, aku pura-pura pingsan. Ingat kalimat itu dari mantan.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Kunci Motor dan Ideologi


Kalau Anda mencabut kunci kendaraan dan seketika orang-orang melihat itu dengan aneh, mungkin Anda sedang berada di Dusun Badur, Desa Winong. Saya mengalaminya ketika salat di masjid. Saat meletakkan kunci kendaraan di dekat kaki, orang-orang melirik kunci itu dengan pandangan yang “riskan”. Jumat berikutnya saya sadar, barangkali itu pandangan iba bahwa saya datang dari negeri jauh yang penuh pencuri. Pikiran itu muncul setelah sebelumnya mata ini melihat semua kunci motor yang masih nyaman meringkuk di tempatnya.

Meninggalkan kunci motor di kendaraan pastilah kebiasaan yang terbentuk dari rasa aman. Dari mana keamanan sedemikian rupa ini? Sependek wawancara pada warga, termasuk kepala desa, semua hampir menjawab seragam: "Entah, Mas. Dari dulu sudah begitu. Di sini aman." Anehnya, aman itu tak bisa ditemui di dusun sebelah, yang masih tergolong satu desa. “Kalau ada di Gebangan, sebaiknya sampean lebih hati-hati. Tak ada begal, tapi kalau kunci ada di motor, ada risiko.” Kata Pak Lurah.

Begitulah Badur, sebuah dusun yang membuka mata saya bahwa, persaingan soal harta bukan menjadi kemelut utama dalam otak. Karenanya tak ada kejadian ambil hak milik orang lain. Begitulah Badur, daerah yang mengingatkan saya pada sebuah nama masyhur: Karl Marx.

Pernah ada suatu masa, ketika ideologi “tak ada hak milik pribadi” mendominasi dunia. Kita tahu, ideologi itu dirumuskan Karl Marx, benama komunisme. Franz Magnis-Suseno menulis soal itu dengan jernih, dalam bukunya, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

Dalam lembar-lembar awal karya Romo Suseno itu, kita bisa temukan pendasaran ajaran sosialisme ortodoks berasal dari Sir Thomas More, dalam karyanya: Utopia. Buku ini mengisahkan, di sebuah pulau bernama Utopis segala hal dimiliki bersama, kecuali pasangan. Semua orang menikmati pendapatan yang sama, dan semua bekerja. Tiap orang bekerja di tanah atau bengkel masing-masing, namun bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai karyawan komunitas. Umumnya, mereka bekerja selama enam jam sehari.

Tulisan More menggambarkan tatanan masyarakat yang ideal. Yang tentram. Yang tak ada ambisi. Pada titik ini, kita bisa mengingat slogan komunisme: sama rata sama rasa. Semua orang sejahtera, dan tak akan ada bentuk kejahatan karena ketimpangan sosial: pencurian, korupsi, dan segala bentuknya yang lain.

Karya fiksi More itu, banyak mempengaruhi pemikir lain. Di abad 20, Gabriel Garcia Marquez menulis Seratus Tahun Kesendirian. Sama dengan More, Marquez menggiring pembaca dengan pesona utopis yang ganjil. Kisah keluarga Buenda ini, yang berlangsung selama seabad—meminjam tafsir Goenawan Mohamad, “adalah drama perubahan, baik pelan-pelan ataupun drastis.” Buenda, bersama keluarga, orang-orang, hewan,  melewati pegunungan mencari jalan ke laut. Tak ada hasil.

Mereka berhenti di sebuah tempat dan mereka bangun kehidupan, tempat yang di beri nama Macondo. Di daerah yang dari arah timur berdiri gunung yang kedap itu, memang dimaksudkan menjadi “firdaus bumi”. Buenda merancang kota dan kehidupan dengan rapi. Dari tiap rumah, penduduk desa dapat pergi ke sungai mengambil air dengan usaha yang sama, dengan jalan yang sama. Tak ada rumah yang mendapat sinar matahari lebih.

Dan pembacapun bergumam: fiksi!!!

Tapi seorang Marx percaya kondisi utopis itu akan terjadi, ketika tak ada kapitalisme yang ia ramalkan akan hancur. Ramalan itu agaknya meleset. Dan yang utopis tetap utopis. Orang masih berlomba memiliki, dari roti hingga Lamborghini. Dan ambisi itu kerap melahirkan disharmoni: tak cukup uang sendiri, masih bisa korupsi atau mencuri. Dan pada kondisi cara pandang yang seperti itu, seorang More, Marquez, Marx gelisah.

Tiba-tiba saya penasaran, apa yang akan tokoh-tokoh itu pikirkan saat hidup di sebuah dusun yang sebuah kunci kendaraan bertengger nyaman di tempatnya. Apa yang akan mereka pikirkan melihat berbagai kendaraan parkir di depan rumah saat pemiliknya tidur pulas malam hari. Sayang, di Badur, Bali, dan beberapa daerah lain yang “aman”, tak pernah didarati kaki mereka.

Minggu, 18 Agustus 2019

Optimisme


Saudara Mbah Sugeng dan orang terdekatnya nyaris selalu berkaca-kaca, atau setidaknya murung, saat berbicara soal Mbah Sugeng. Sedangkan Mbah Geng sebaliknya: ia selalu menyungging senyum dan tawa saat berbicara soal apapun.

Begitulah kesan saya atas pemilik rumah yang saya tempati KKN. Beberapa minggu di sini ia selalu menampakkan sikap hangat, ditengah suhu 13 derajat celcius desa Winong yang cukup menggigit tulang.

Mbah Geng Gong—begitu panggilan akrabnya—sempat ditinggal istrinya merantau selama hampir 20 tahun. Jarak beberapa bulan setelah pulang kampung, ia meninggal, Februari lalu. Tanpa sakit. Tanpa wasiat. Itulah yang membuat orang-orang dekatnya sedu bercertia kehidupan Mbah Geng.

Kerutan di wajahnya yang membentuk bekas paras ceria itu, menunjukkan sikap optimis yang kontinu. Dan sejauh pengakuan si Mbah, ia tak pernah bersentuhan dengan literatur. Jadi, sikap optimis itu tak ia dapatkan dari menatap lembar-lembar karya David J. Schwartz atau Dale Carnegie.

“Kabeh iki wis takdir, Le. Ono sing ngatur. Anane yo ruet, digae tenang. Pinter-pinter ngatur posisi. Urip okeh perkoro lakon.” Begitu jawabnya saat saya tanya dari mana sikap optimis itu. Klise, memang. Tapi keselarasan omong dan sikap, juga kekuatan untuk menjaga semangat itu sama sekali bukan klise. Bukan mudah.

“Semua sudah takdir” mencerminkan doktrin agama yang melatarinya. Tak mengherankan, karena manusia adalah—dalam postulat Karen Armstrong—Homo religiosus.

Agama berangkat dari “rasa gaib”. Rudolf Otto percaya bahwa, gaib tersebut adalah dasar dari agama dan perasaan akan hal itu “mendahului hasrat untuk menjelaskan asal-usul dunia atau menemukan landasan beretika.” Satu dari gaib itu adalah takdir, yang manusia ada dalam garis batasnya. Dengan pengertian itu, Mbah Geng, dan mungkin juga yang lain, meyakini bahwa ia hanya penyerta bagi rencana besar. Dan takdir itu diterima, tanpa gugat.

Dengan pengertian “diterima” ini kita bisa katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Sebuah optimisme yang dikritik Voltaire dalam novel satire masyhurnya, Candide. Bagi Voltaire, kejahatan tetap kejahatan, musibah tetap musibah. Dunia ini bukan dunia terbaik yang mungkin.

Dalam Candide, Sayup-sayup saya ingat kalimat untuk tuan putri Jerman dari nenek yang kehilangan satu pantatnya,“silakan nona tanyakan pada seluruh penumpang kapal ini. Kalau ada seorang saja yang tak sering menyumpahi hidupnya, yang tak pernah menganggap diri orang termalang di dunia, ceburkan saya ke laut dengan kepala lebih dahulu.”

Maksud Voltaire barangkali menampakkan kemelut musibah manusia yang tak sepatutnya diterima sebagai sesuatu yang baik. “Aku menghormati Tuhan. Tapi aku mencintai manusia,” katanya. Dengan kata lain, ia memilih untuk lebih dekat dengan yang fana. Ia tak menerima rencana agung—yang oleh Leibniz disebut “harmoni yang sudah tersusun”, memperkuda manusia yang tak kekal.

Mbah Geng barangkali tak menahu Leibniz, Voltaire, Armstrong. Ia barangkali tak menyiapkan kondisi pikiran terbaik saat ada di titik paling buruk dengan membaca David Schwartz dan Carnegie. Ia juga tak terpaut dengan narasi raksasa: ideologi, membangun bangsa, atau meruntuhkan peradaban. Tanpa semua itu, ia, dan juga orang sejenis, meneguk optimis.

Pagi hari, dengan suara musik tradisional dari radionya, Si Mbah menyapa seperti biasa—dengan senyum dan tawa. Saya, dengan sesuatu di dalam kepala yang barangkali menumpuk kekacauan... ingin tersenyum seperti itu.