Itu pemandangan yang melegakan. Pada hiruk-pikuk
mainan gawai, ada yang menyisihkan waktu menyepi untuk membaca buku. Di tengah
derasnya ajakan ngopi—yang konon syarat diskusi namun ternyata isi omong kosong—masih
ada yang memilih khusuk belajar.
Semua maklum akan setumpuk manfaat belajar, sembari
tetap membuang banyak waktu pada gawai—untuk berstory ria atau lainnya. Tak jauh beda dengan tahu bahwa ada tetangga lapar, sembari tetap menyantap banyak nasi
kebuli, roti, soto, atau mie ayam dengan cakar. Tugas pemilik banyak makanan
mungkin berbagi, karena mampu. Tugas pelajar mungkin memprioritaskan belajar
atas kenikmatan bermain yang lain. Barangkali.
Siapa pun orang hebat pasti telah melalui proses belajar. Dan kemungkinan proses itu akan begitu membekas hingga menyarankan pada orang lain agar bermanfaat. Saya pernah mengikuti pelatihan menulis, workshop penelitian
ilmiah, penelitian kualitatif, dan semacamnya. Hampir semua tutor
menginstruksikan pola dasar yang sama: banyak membaca, banyak diskusi, banyak melatih skil menulis, yang sederhananya bisa disingkat
menjadi dua kata: rajin belajar.
Rajin belajar. Itu kata kuncinya. Klise sekali. Tapi begitulah kenyataannya. Pengalaman saya yang mblegedes sepertinya
menyetujui hal itu. mengikuti kajian metodologi penelitian tak menyulap saya
menjadi peneliti sehandal Prof. Azyumardi Azra. Mengikuti pelatihan menulis tak
menyulap saya menyusun karya secemerlang Sidney Sheldon.
Bahwa pelatihan semacam itu menyajikan langkah
praktis dan benar, saya setuju. Dan saya juga mengangguk, pelatihan itu
menuntut keterlibatan aktif kita dalam mengasah ketekunan belajar. Dengan kata
lain, kita bisa membaca buku dengan judul semacam how to, tapi kita perlu
menyelami pengalaman, meresapi, berkaca, dan pelan-pelan membentuk hasil. demikian tulis Goenawan Mohamad.
Pada titik itu, barangkali kampus bukan cuma gedung
pencetak manusia berotak pandai, ia akan lebih bermakna jika membangun
pendidikan edukatif yang membuat peserta didik cinta belajar. Tapi mungkin itu
mimpi yang minta diwujudkan dari waktu ke waktu. Tak pernah nyata.
Masalahnya, banyak tutor yang menjelaskan pentingnya sinau dengan sedikit nada olok-olok. “Pelajar tanpa
membaca,” kata seorang dosen suatu hari, “susah merumuskan masalah penelitian,
karena hidupnya sendiri sudah masalah.” Saya terdiam mendengar itu sembari berpikir bahwa semua orang sudah paham hal itu: betapa membaca sebenarnya penting menunjang proses belajar--untuk tidak mengatakan itu adalah keniscayaan. Tapi, tak pernah ada upaya serius dari kampus untuk membuat iklim cinta belajar itu sendiri. Jadi tugas kampus itu
apa? Menarik biaya yang mahal? Dan mengolok mahasiswa yang tak rajin belajar? Tanpa
membimbing dengan edukatif?
Jangan-jangan, kampus itu jaya karena mahasiswa yang
tekun belajar mandiri. Jangan-jangan, kampus tak cakap menempa anak-anaknya
untuk gemar menatap bacaan.
Ada yang salah dengan pendidikan Indonesia, sejak SD
hingga SMA siswa mendapat pelajaran Bahasa Inggris, namun ketika masuk kampus tak
mampu bercakap dengan bahasa itu. siapa yang salah? Jokowi? Donal Trump? Oh,
mungkin jangkrik di sawah bisa jadi kambing hitam. Alasannya dipikir belakang.
Kita kebingungan mengurai problem pendidikan itu,
karena hampir semua ceruk-ceruk mengandung persoalan. ceruk lingkungan menyumbang hal itu:
pelajar yang membaca buku di depan kelas akan segera diolok-olok temannya
sebagai bocah yang sok rajin, sok pintar, dan segenap sok saudaranya. Kalau di
sekolah atau kampus sudah umum hal demikian, kita tak bisa berharap tukang becak
yang sepi pelanggan rajin belajar.
Akibatnya tak ada yang menjadikan rutinitas belajar
sebagai prioritas. Tapi tak perlu khawatir, pertanyaan menohok dari dosen banyak
efektif membuat mahasiswa segera membuka buku: apa judul penelitian skripsimu?
Sistem pembelajaran di kampus mungkin salah, lingkungan
mahasiswa mungkin salah. Yang jelas salah adalah saya yang mengolok-olok
semuanya hingga tampak sok suci.
Satu-satunya yang mungkin benar adalah bocah pembaca buku Yuval Noah Harari di pojok gedung sepi tanpa ribut-ribut.