Tubuh pria baya itu tergeletak setelah
terserempet kereta, sore kemarin lusa. sontak kejadian itu menarik perhatian
penduduk sekitar dan para pemakai lalu lintas, mereka turun dari kendaraan,
berlari menuju korban, untuk melihat dari dekat kemudian mengabil gambar dengan
ponsel yang katanya “smart”.
Saya tak mengerti persis apa motivasi
mereka melakukan itu. Tapi mungkin kita bisa bertolak dari telaah ala Freud:
nafsu apa kiranya yang bergolak di bawah sadarnya?
Ya, sebagian mungkin berniat mewartakan
di media sosial, beberapa kecelakaan serupa pernah saya baca di media sosial
dengan redaksi, “Innalillah, telah terjadi bla bla bla...” kadang diakhiri
dengan kepentingan like, komen “aamiin” sebagai tiket masuk surga, plus share.
Mereka rela turun dari kendaraan,
beberapa sampai berdesakan untuk mengambil gambar, mungkin untuk memudahkan
pencarian keluarga korban, tapi jika kemudian merasa puas dengan berjibun
jumlah “like” dan ramainya komentar warganet setelah hasil gambar itu dipost,
barangkali, makin kabur batas antara merayakan kematian dengan berduka atas
kematian.
Saya sendiri merasa nurani tak begitu
berfungsi menyadari banyaknya orang meninggal di daerah konflik sana. Nurani
saya itu, tentu berbeda reaksi jika menyangkut orang yang saya kenal. Saya
mulai membedakan berempati untuk seorang yang telah berpulang. Padahal,
sebagian setuju, kematian di Palestina, Syiria tetaplah “kematian”, dan berduka
untuknya adalah manusiawi, terlepas siapapun yang mati, karena kematian sekaligus
duka, kehilangan, sedih yang ada di baliknya, bukan sesuatu yang terlalu layak
diperbandingkan.
Setiap hari, entah berapa banyak nyawa
hilang, dengan atau tanpa bersalah. Korban Holocaust yang berjuta-juta itu,
mungkin tak tahu kenapa mereka harus dibasmi. Penyiksaan dan kematian, bisa
bertolak dari warna kulit, bentuk hidung, jenis ras yang sama sekali seorang
tak bisa memilih saat dalam kandungan ibu. Andai kita bisa bertanya pada
Hitler, kenapa membantai Yahudi? Mungkin jawabnya: mereka tak diingikan.
Kematian bisa lahir dari kekuasaan
yang... mungkin cemas.
Cemas, itulah yang sedikit saya rasa
ketika melintas di jalan yang banyak kerumunan melihat jasad tergolek di
pinggir rel kereta. Cemas atas keengganan ikut dalam kerumunan yang tak menolong,
cemas karena bingung bagaimana harus berempati, cemas terbesit bagaimana
perasaan keluarga korban melihat saudaranya hanya diambil gambarnya, cemas
memikirkan seberapa banyak kerumunan itu melangitkan doa.
Cemas yang barangkali berbeda dengan cemas
Hitler.