Sabtu, 05 Mei 2018

Cemas dan Lain-lain

Tubuh pria baya itu tergeletak setelah terserempet kereta, sore kemarin lusa. sontak kejadian itu menarik perhatian penduduk sekitar dan para pemakai lalu lintas, mereka turun dari kendaraan, berlari menuju korban, untuk melihat dari dekat kemudian mengabil gambar dengan ponsel yang katanya “smart”.

Saya tak mengerti persis apa motivasi mereka melakukan itu. Tapi mungkin kita bisa bertolak dari telaah ala Freud: nafsu apa kiranya yang bergolak di bawah sadarnya?

Ya, sebagian mungkin berniat mewartakan di media sosial, beberapa kecelakaan serupa pernah saya baca di media sosial dengan redaksi, “Innalillah, telah terjadi bla bla bla...” kadang diakhiri dengan kepentingan like, komen “aamiin” sebagai tiket masuk surga, plus share.

Mereka rela turun dari kendaraan, beberapa sampai berdesakan untuk mengambil gambar, mungkin untuk memudahkan pencarian keluarga korban, tapi jika kemudian merasa puas dengan berjibun jumlah “like” dan ramainya komentar warganet setelah hasil gambar itu dipost, barangkali, makin kabur batas antara merayakan kematian dengan berduka atas kematian.

Saya sendiri merasa nurani tak begitu berfungsi menyadari banyaknya orang meninggal di daerah konflik sana. Nurani saya itu, tentu berbeda reaksi jika menyangkut orang yang saya kenal. Saya mulai membedakan berempati untuk seorang yang telah berpulang. Padahal, sebagian setuju, kematian di Palestina, Syiria tetaplah “kematian”, dan berduka untuknya adalah manusiawi, terlepas siapapun yang mati, karena kematian sekaligus duka, kehilangan, sedih yang ada di baliknya, bukan sesuatu yang terlalu layak diperbandingkan.

Setiap hari, entah berapa banyak nyawa hilang, dengan atau tanpa bersalah. Korban Holocaust yang berjuta-juta itu, mungkin tak tahu kenapa mereka harus dibasmi. Penyiksaan dan kematian, bisa bertolak dari warna kulit, bentuk hidung, jenis ras yang sama sekali seorang tak bisa memilih saat dalam kandungan ibu. Andai kita bisa bertanya pada Hitler, kenapa membantai Yahudi? Mungkin jawabnya: mereka tak diingikan.  

Kematian bisa lahir dari kekuasaan yang... mungkin cemas.

Cemas, itulah yang sedikit saya rasa ketika melintas di jalan yang banyak kerumunan melihat jasad tergolek di pinggir rel kereta. Cemas atas keengganan ikut dalam kerumunan yang tak menolong, cemas karena bingung bagaimana harus berempati, cemas terbesit bagaimana perasaan keluarga korban melihat saudaranya hanya diambil gambarnya, cemas memikirkan seberapa banyak kerumunan itu melangitkan doa.

Cemas yang barangkali berbeda dengan cemas Hitler.