Rabu, 23 Mei 2018

Domba itu Bernama Publik

Orang patut bersyukur hidup di Indonesia karena negeri ini memiliki berjibun stok filsuf, hampir semua orang, berpendidikan atau tidak, pandai memberi nasihat dan petuah.  Pitutur dan kelakar para bapak atau ibu filsuf ini biasanya ditaruh di berbagai tempat sehingga mudah dipelajari khalayak: papan bak truk, kaca angkot, kaos, dan mungkin kamar mandi. Dan tak jarang pikiran itu terpaut dengan bumbu propaganda, misalnya, kita cukup familiar dengan kalimat, “Enak zamanku, tho!”.

Seakan mengajak pada romantisme sejarah orde baru. Dengan penjelasan bahwa semua harga barang pokok pada era orba murah, kita pun percaya bahwa zaman orba, memang zaman enak. Tapi benarkah seenak itu? Saya menemukan ulasan menarik dari Bonnie Triyana yang mungkin perlu kita simak. 

"Orang Indonesia mudah terharu dan melakonlis," tulis Bonnie di majalah Historia (2014), saat revolusi kemerdekaan, banyak penduduk desa yang bertanya, “kapan gerangan zaman kemerdekaan” akan usai. Zaman kemerdekaan itu mengacu pada situasi revolusi terhadap Belanda yang penuh ketegangan. Ketegangan berupa Pertempuran, pengungsian dan penderitaan. Banyak penduduk yang terkena imbas dari perubahan politik yang drastis itu. kerinduan kembali ke masa nyaman dan tenang pun muncul. Mereka ingin kembali ke situasi normal yang sialnya mengacu pada zaman di mana Belanda berkuasa.

Tentu saja, situasi normal itu mengenai kesadaran kosong yang dibentuk penguasa. Bonnie mengutip sejarawan Belanda Marieke Bloembergen, menurutnya negera kolonial berhasil membangun negara dengan pembungkaman gerakan politik orang pribumi. Nampaknya itu upaya yang sukses besar. Orang pribumi mutlak ter-hegemoni, daya kritis rakyat mati. Dan Indonesia dieksploitasi habis-habisan. Benar adanya masyarakat mengalami fase tenang dan nyaman, tapi semu belaka.

Saat pemerintahan Soekarno-Hatta berlangsung, Belanda berkampanye mengatakan “enak zamanku” dalam bentuk lain. Pada 1947, Dubes Belanda untuk PBB, Elco Van Kleffens mengumbar propaganda bahwa, sepeninggal pemerintah kolonial, situasi Indonesia kacau dan tak menentu dan hanya Belanda yang bisa mengembalikan situasi kondusif. Demi meyakinkan publik yang kala itu baru merdeka, Belanda menggunakan kalimat “Het Uitzicth”.

Beberapa tahun lalu atau bahkan sekarang, kita masih sering mendengar jargon, “Enak zamanku, tho!”. Pangkal soalnya adalah, orde baru berkuasa dengan cara tak jauh beda dengan Belanda. Bahkan mungkin lebih sistematis. Dengan meminjam konsep Antonio Gramsci, kita tahu bahwa orba tak hanya mendominasi rakyat lewat tata negara yang identik dengan kekerasan, tapi juga mengelola kekuasaan atas rakyat lewat perangkat hegemoni yang terwujud dalam intelektual dan moral.

Opini publik digiring dengan sangat sistematis dan samar. Semua pengetahuan yang ada di sekolah, harus sesuai dengan visi orba, buku sejarah mengenai PKI ditulis dengan deskripsi bahwa orang-orang di dalamnya sangat kejam, dan membunuh sesama layaknya membunuh ayam. PKI (mungkin) memang kejam, tapi apakah orba tidak? Beberapa buku yang perlu dibaca untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah dinamka Orba-PKI, misal buku Ita F. Nadia: Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Buku yang lain, Pledoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku.

Zaman orba, semua pengkritik pemerintah akan menemui konsekuensi serius, penjara atau mati. Jurnalis yang kritis dibungkam, kita tahu majalah Tempo yang sering mengkritik pemeritah itu dibrendel, sampai akhirnya bisa terbit lagi setelah orba lengser. Nasib sama mungkin juga menimpa media lain.

Ingatan kolektif kita atas sejarah tentu masih banyak berat sebelah, dengan melihat orba yang begitu gagah berkuasa, seakan orba adalah pemerintahan paling sukses dan membuat mbah kita hidup nyaman dulu.

Di tengah jargon “enak zamanku” yang terletak di banyak tempat itu, mungkinkah ada ajakan mengkampanyekan pemerintahan layaknya orba? Ajakan ke masa depan dengan rasa masa lalu? Masa lalu yang bukan memperbaiki keadaan, tapi untuk mengikat kita di bawah pemerintah yang mutlak ingin transenden. Ingin hegemoni berdiri tegak.

Entah, kecurigaan yang mungkin terlalu paranoid. Tapi curiga, sebagian dari waspada, menandakan kita bukan domba.