Seakan mengajak pada romantisme sejarah
orde baru. Dengan penjelasan bahwa semua harga
barang pokok pada era orba murah, kita pun percaya bahwa zaman orba, memang
zaman enak. Tapi benarkah seenak itu? Saya menemukan ulasan menarik dari Bonnie Triyana yang mungkin perlu kita
simak.
"Orang Indonesia mudah terharu dan
melakonlis," tulis Bonnie di majalah Historia (2014), saat revolusi kemerdekaan,
banyak penduduk desa yang bertanya, “kapan gerangan zaman kemerdekaan” akan
usai. Zaman kemerdekaan itu mengacu pada situasi revolusi terhadap Belanda yang
penuh ketegangan. Ketegangan berupa Pertempuran, pengungsian dan penderitaan.
Banyak penduduk yang terkena imbas dari perubahan politik yang drastis itu. kerinduan
kembali ke masa nyaman dan tenang pun muncul. Mereka ingin kembali ke situasi
normal yang sialnya mengacu pada zaman di mana Belanda berkuasa.
Tentu saja, situasi normal itu mengenai
kesadaran kosong yang dibentuk penguasa. Bonnie mengutip sejarawan Belanda Marieke
Bloembergen, menurutnya negera kolonial berhasil membangun negara dengan
pembungkaman gerakan politik orang pribumi. Nampaknya itu upaya yang sukses
besar. Orang pribumi mutlak ter-hegemoni, daya kritis rakyat mati. Dan Indonesia
dieksploitasi habis-habisan. Benar adanya masyarakat mengalami fase tenang dan
nyaman, tapi semu belaka.
Saat pemerintahan Soekarno-Hatta
berlangsung, Belanda berkampanye mengatakan “enak zamanku” dalam bentuk lain.
Pada 1947, Dubes Belanda untuk PBB, Elco Van Kleffens mengumbar propaganda
bahwa, sepeninggal pemerintah kolonial, situasi Indonesia kacau dan tak menentu
dan hanya Belanda yang bisa mengembalikan situasi kondusif. Demi meyakinkan
publik yang kala itu baru merdeka, Belanda menggunakan kalimat “Het
Uitzicth”.
Beberapa tahun lalu atau bahkan sekarang,
kita masih sering mendengar jargon, “Enak zamanku, tho!”. Pangkal soalnya
adalah, orde baru berkuasa dengan cara tak jauh beda dengan Belanda. Bahkan
mungkin lebih sistematis. Dengan meminjam konsep Antonio Gramsci, kita tahu
bahwa orba tak hanya mendominasi rakyat lewat tata negara yang identik dengan kekerasan, tapi juga mengelola kekuasaan atas rakyat lewat perangkat hegemoni
yang terwujud dalam intelektual dan moral.
Opini publik digiring dengan sangat
sistematis dan samar. Semua pengetahuan yang ada di sekolah, harus sesuai
dengan visi orba, buku sejarah mengenai PKI ditulis dengan deskripsi bahwa
orang-orang di dalamnya sangat kejam, dan membunuh sesama layaknya membunuh
ayam. PKI (mungkin) memang kejam, tapi apakah orba tidak? Beberapa buku yang perlu dibaca untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi dalam sejarah dinamka Orba-PKI, misal buku Ita F. Nadia: Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Buku yang lain, Pledoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku.
Zaman orba, semua pengkritik pemerintah
akan menemui konsekuensi serius, penjara atau mati. Jurnalis yang kritis
dibungkam, kita tahu majalah Tempo yang sering mengkritik pemeritah itu dibrendel,
sampai akhirnya bisa terbit lagi setelah orba lengser. Nasib sama mungkin juga
menimpa media lain.
Ingatan kolektif kita atas sejarah tentu
masih banyak berat sebelah, dengan melihat orba yang begitu gagah berkuasa,
seakan orba adalah pemerintahan paling sukses dan membuat mbah kita hidup nyaman
dulu.
Di tengah jargon “enak zamanku” yang
terletak di banyak tempat itu, mungkinkah ada ajakan mengkampanyekan
pemerintahan layaknya orba? Ajakan ke masa depan dengan rasa masa lalu? Masa
lalu yang bukan memperbaiki keadaan, tapi untuk mengikat kita di bawah
pemerintah yang mutlak ingin transenden. Ingin hegemoni berdiri tegak.
Entah, kecurigaan yang mungkin terlalu paranoid. Tapi curiga, sebagian dari waspada, menandakan kita bukan domba.