Sabtu, 08 Juni 2024

Menunggu Pak Wadir

Belakangan ini saya mendapat banyak pengalaman baru, sambil muncul buntut ketakutan baru: saya makin segan chat dosen. Ketika masih mahasiswa, sebelum mengirim chat pada dosen, saya akan berpikir panjang sebelum mengirimnya, sekarang proses berpikir itu malah makin panjang.


Sejak makin dalam menyelami dunia kampus, saya mengalami langsung tanjakan-terjal-tugas-pekerjaan dosen. Jika Anda kaprodi, Anda nyaris tidak punya waktu untuk mengerjakan hal-hal di luar kewajiban kampus selain menunaikan hajat-hajat hidup. Jika Anda kaprodi yang mayoritas mahasiswanya bermasalah, baik karena kepribadian mereka atau masalah hidup mereka, Anda tidak pernah menemukan pintu istirahat di kampus.


Karena itu, saya makin segan mengirim chat kepada dosen.


Beberapa waktu lalu, saya perlu meminta tanda tangan beberapa dosen untuk mengurus ijazah. Alih-alih menghubungi dosen bersangkutan, saya pergi ke bagian akademik, dan bertanya di mana ruangan terbaru Bu Dosen. Setelah mendapat koordinatnya, saya menunggu di depan ruangan. Proses menunggu ini saya lakukan beberapa kali sebelum akhirnya bertemu beliau.


Setelah mendapat satu tanda tangan, saya perlu tanta tangan pamungkas dari Pak Wadir, orang paling sibuk di Pascasarjana. Karena tahu setumpuk kerumitan yang harus dihadapi Pak Wadir, saya memilih untuk tidak menghubungi beliau dan langsung menunggu di depan kantor. Pertama-tama, saya akan mengonfirmasi kehadiran Pak Wadir kepada resepsionis. Jika ia menjawab bahwa Pak Wadir tidak bertugas ke luar kota, maka saya akan menunggu.


Hingga hari ini, setelah dua pekan, saya belum berkesempatan menemui Pak Wadir: kadang menguji, kadang keluar kota, kadang rapat, kadang dipanggil direktur, dan sederet kadang yang lain. Anda mungkin berpikir kenapa mempersulit diri sendiri, padahal chat dosen untuk konfirmasi itu sudah hal biasa.


Memang chat dosen adalah hal biasa. Tetapi, seperti yang sudah saya bilang, Pak Wadir termasuk salah satu orang paling sibuk di Pascasarjana. Sebagai orang yang sudah mengalami rangkaian kesibukan dosen—meski saya hanya bertugas bantu-bantu—saya benar-benar segan mengirim pesan kepadanya, sebab seringkali kesibukan dosen benar-benar tidak manusiawi.


Lagi pula, saya tiap hari pergi ke kampus. Jadi, jika Pak Wadir sedang bertugas, saya langsung kembali ke fakultas untuk mengerjakan tumpukan hal-hal yang harus dikerjakan. Jarak ruang Wadir dan fakultas cukup dekat sehingga saya cukup fleksibel mengambil jalur “ribet menunggu” seperti ini. Lain cerita jika saya berangkat dari rumah yang berjarak 180-an kilometer.


Di lain episode, saya pernah terlibat mengerjakan naskah bersama Pak Hendra [bukan nama sebenarnya]—salah satu dosen di fakultas saya. Ketika itu, Pak Hendra sedang menulis disertasi, dan saya harus melayout beberapa naskah penting. Karena satu dan dua hal, kami mengerjakan tugas ini bersama-sama. Ketika itu saya masih PP dari rumah ke kampus, sedangkan layout naskah ini perlu segera selesai, begitu juga Pak Hendra yang harus merampungkan naskahnya dalam hitungan jam, sehingga kami menginap di sebuah hotel.


Tentu saja Pak Hendra menghandel urusan pembayaran.


Jadi, satu malam itu kami menghadap laptop masing-masing. Setelah Pak Hendra selesai mengerjakan naskahnya, Pak Hendra harus mengirim naskah tersebut paling tidak pada lima dosen penguji untuk tanda tangan. Jadi, Pak Hendra mengirim satu naskah ke satu orang penguji untuk meminta tanta tangan. Setelah dosen pertama memberi tanda tangan, Pak Hendra akan meneruskan naskah itu pada dosen kedua, dan begitu terus hingga nanti dipungkasi tanta tangan Pak Direktur.


Pak Hendra adalah mahasiswa S3 semester akhir. Dan malam itu—malam Sabtu—adalah malam terakhir untuk Pak Hendra merampungkan naskah dan meminta TTD, sebagai syarat mengikuti ujian terbuka. Jika gagal, DO menjadi konsekuensi di depan mata. Singkat kata, Pak Hendra dihimpit waktu.


“Kenapa nggak kirim saja naskahnya ke semua dosen secara bersamaan. Nanti kita copy semua tanda tangannya. Simpel dan efisien,” kata saya pada Pak Hendra. Dan jawaban Pak Hendra membuat saya terdiam: “Saya merasa lancang, Mas. Lebih baik saya menghadapi konsekuensi terburuk, dari pada saya lancang ke dosen.” Saya menaruh hormat atas pernyataan ini.


Kalimat itu terpatri kuat di dalam kepala saya. Bahkan pada titik akhir perjuangan hidup-mati mahasiswa doktoral, Pak Hendra masih menaruh hormat tertinggi kepada para dosennya. Apakah Anda bisa mencerna sikap Pak Hendra? Padahal, Pak Hendra juga seorang dosen di fakultas. Ia bisa saja melobi beberapa orang berpengaruh, untuk mempermudah urusan ini. Tetapi jalur prosedural masih ditempuh.


Siang hari sebelum kami chek in ke hotel, Pak Hendra masih sempat membimbing mahasiswanya yang akan segera ujian skripsi. “Padahal saya sendiri dikejar deadline, tetapi ini kewajiban saya,” kata Pak Hendra. Singkat cerita, malam itu tanda tangan gagal terkumpul, tetapi pihak akademik berhasil bertarung untuk memperjuangkan Pak Hendra pada hari berikutnya—hari Sabtu.


Sebagai dosen, Pak Hendra tahu betapa banyak tugas-tugas tidak masuk akal. Itulah kenapa Pak Hendra memilih jalur pelan. Dan, begitu pula yang saya rasakan. Di tengah kesibukan ini, saya kadang sering oleng menghadapi chat mahasiswa, meski saya tetap membalasnya.


Dan karena itu, saya memilih menunggu di depan ruangan Pak Wadir.

Balui

Apakah ini yang disebut balui?