Minggu, 23 Oktober 2022

Perjalanan Makanan

Pagi itu Ibuk masuk kamar untuk memberi kelapa sekaligus alat parut, “Mbak iparmu lagi sakit, bantu masak, ya.” Saya mengambil kelapa dan mulai memarut, sambil menikmati pikiran terbang kemana-mana.


Saya membayangkan si kelapa ini sebelum tiba di meja makan nanti. Mula-mula ada orang yang memanjat pohon kelapa, dengan risiko nyawa, jika jatuh dari ketinggian. Lalu kelapa dijual ke tengkulak sayur, menuju pasar atau toko. Para penjual mengupas kulit berlapis serat dan tempurung. Jika meleset mengayunkan pengupas, minimal akan ada sayatan di tangan.


Kelapa siap jual, berpindah dari tangan penjual ke tangan pembeli dengan pertukaran uang. Pembeli membawa pulang, lalu mulai memarut. Biasanya manual, seperti yang saya lakukan pagi itu. Setelah berubah menjadi bulir-bulir kecil, kelapa diperas dan hanya diambil air pati. Ampasnya dibuang karena dianggap tidak berguna. Kita tahu, dari proses inilah kemudian kita mengenal celoteh “habis pati, ampas dibuang.”


Dari seluruh bagian keluarga kelapa, bulir ampas mungkin yang sering bernasib buruk, kecuali jika ia dimasak jadi botok. Sementara daun kelapa, dahan, pohon, kulit... semua difungsikan dengan sempurna. Kulit dan tempurung kelapa minimal bisa dibakar di tungku. Ampas tidak dibakar karena basah. Ia dibuang begitu saja.


Sebagian orang bernasib seperti ampas. Tapi mari kembali ke pokok utama. Masakan.


Setelah pati diambil, ia disiapkan untuk dicampur dengan aneka sayur. Ia dipanaskan, diberi bumbu, ditunggu hingga mendidih, dicicipi rasanya, sebelum akhirnya berakhir di meja makan. Betapa panjang seluruh perjalanan sayur kuah santan. Melibatkan pemanjat yang bertaruh nyawa, atau patah tulang, lalu melibatkan penjual-pembeli, berlanjut ke dapur, dan meja makan.


Nah, sebenarnya hal itu tidak hanya terjadi pada masakan santan. Coba anda lihat di meja makan. Apakah di sana ada sambal? Olahan ini tidak kalah dramatis untuk mencapai meja kita. ada bibit cabai dan tomat yang harus ditanam dan petani yang harus panas-panasan. Ada ibu pergi ke pasar atau toko di hari petang. Lalu proses ngulek dengan komposisi terasi, gula, garam, yang diperhitungkan.


Rentetan satu menu saja sudah sedemikian panjang. Dan jangan pernah mengira hal-hal di atas mudah dilakukan. Ibu-ibu mungkin tidak mengeluh karena memang tidak memiliki sarana mengeluh. Jika ia punya Twitter dan tahu cara memanfaatkannya, maka keluhan demi keluhan akan muncul.


Sekali lagi, coba kita perhatikan menu masakah di meja makan. Ia tidak pernah sederhana. Terlepas dari kerja-kerja tangan ibu, ada tangan bapak yang tak kasat mata. Ialah tulang ekonomi yang menentukan seberapa “berkualitas” menu di meja. Kita tak pernah tahu, apa yang dipikirkan seorang ayah ketika mengalami kesulitan mencari pundi-pundi rupiah demi makana di meja makan itu—yang kadang karena terlalu sederhana membuat kita tak berselera menyantapnya.


Kita juga tak pernah tahu, apa yang dipikirkan seorang ayah ketika ia harus berhutang demi memutar nyawa seluruh keluarganya. Sebagian ayah tidak memiliki media sosial, dan mereka membuat hiburan dengan hal-hal sederhana dengan bapak-bapak lain, seperti main gaplek.


Proses memarut kelapa itu mengantarkan saya pada banyak hal yang barangkali luput dari pikiran saya selama ini. Betapa makanan di meja itu harus saya hargai sedemikian rupa. Jika ada orang-orang yang harus menerima penghargaan atas perputaran banyak hal di meja kita, sungguh kita tak pernah bisa mengurai seberapa banyak para penerima penghargaan itu. Tetapi kita bisa melakukan hal-hal sederhana untuk mengapresiasi semuanya: Makan dengan gembira dan habiskan.

Bangun

Ketika Anda Bangun di pagi hari, pikirkan betapa istimewa hak untuk hidup—bernapas, berpikir, menikmati, mencitai.

--Marcus Aurelius

 

Benar, Pak. Tetapi sebagian orang berpikir betapa damainya tidak menjadi bagian dari kehidupan.

Selasa, 18 Oktober 2022

Perjalanan Senin demi Senin

Sejak 12 September 2022, hari Senin adalah oseng-oseng asin, atau knalpot brong, atau gambar salah garis: Dicicipi bikin ngilu, didengar bikin pekak, dilihat tidak indah. Itu membuat hari Senin terasa berat, lantas menular pada hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu.


Di hari Senin, saya harus pergi ke kampus untuk kuliah—berangkat dari rumah dan butuh empat hingga enam jam perjalanan. Perkuliahan pertama mulai pukul 08.00 pagi. Artinya, saya harus berangkat pukul 03.00 pagi, dan setidaknya saya harus bangun pukul 02.00 dini hari. Supaya tidak merepotkan famili, saya berangkat naik motor, menuju masjid berjarak 13 kilo meter dari rumah. Setelah menitipkan motor pada Pak Slamet—satpam masjid, saya menunggu bus.


Biasanya, saya tiba kembali di rumah larut malam. Selama di jalan, demi menjaga barang, saya jarang tidur. Itulah kenapa Senin terasa berat dari berbagai sisi. Bangun pagi-pagi lantas harus terjaga sepanjang hari, sambil memeras isi kepala di kelas saat diskusi. Selasa hari istirahat. Rabu, Kamis, Jumat, Sabut, Minggu, mengerjakan seluruh aktivitas selain kuliah, tetapi masih perkara kuliah: apalagi kalau bukan deadline tugas kuliah. Dan ngajar.


Tiap Senin itu, keping demi keping cerita terjadi. Dan seluruh hal-hal berat, ketika telah terjadi, ya... hanya jadi kenangan dan kekonyolan. Tanggal 12 September, misalnya, adalah hari pertama kuliah dan karena ada perubahan jadwal mendadak, dosen tidak datang ke kampus. Jadilah perjalanan jauh hari itu sia-sia belaka. Di dalam hati saya nggrundel: Beliau ini tentu tidak tahu saya bangun jam dua pagi, dengan berat hati meninggalkan nilai-nilai kenikmatan tidur malam, menuju ruang kuliah yang hanya berisi bangku-bangku tak bernyawa. Masak mereka harus ngajar saya?


Pihak akademik juga tega ngubah jadwal kuliah dadakan tanpa konfirmasi ke dosen. Kita paham bahwa pekerjaan dosen itu numpuk, tetapi tidak termasuk memantau pergeseran jadwal kuliah. Untungnya hari itu saya bertemu kaprodi dan menyelesaikan satu urusan tertentu. Lancar jaya. Semua nggrundel selesai seketika karena hati riang. Juga ketemu dan ngopi lama sama Novi—kawan dekat saya.


19 September.


Hari itu perkuliahan lancar. Satu-satunya hal yang mengganggu adalah khawatir motor digondol orang. Pasalnya, waktu itu saya belum kenal Pak Slamet. Adegan titip motor di masjid baru terjadi di pekan keempat. Sebelum itu, saya parkir motor begitu saja, lalu nyelonong pergi naik bus. Untunglah, motor masih utuh hingga hari ini. Jauh sebelum hari perkuliahan aktif, saya sudah coba cari parkir umum di jalur bus, tetapi nihil. Hanya masjid ini yang memungkinkan untuk dititipi.


26 September.


Karena belum kenal satpam masjid dan merasa khawatir jika motor ditinggal lama, saya coba titip motor di rumah teman yang kebetulan dekat dengan jalur yang dilewati bus. Sialnya, pagi itu saya berangkat kelaparan, sama seperti Senin-Senin sebelumnya. Bedanya kali ini saya bawa pisang. Di jalan, saya eksekusi pisang itu, sambil menembus dingin. Ketika separo pisang sudah saya telan, tanpa permisi hujan menyerang!


Kepalang tanggung untuk menepi pakai jas hujan, juga takut ketinggalan bus pertama, saya tetap menarik ulir gas motor, di pagi buta, sambil makan pisang, sembari dijatuhi hujan. Ya, tentu saja, jika menganut hukum praktis, saya terhindar dari keselek sebab tinggal buka mulut, air bisa terminum. Jika adegan itu terjadi di scene film, mungkin tampak biasa. Masalahnya, sungguh terlalu jika kita mengalaminya langsung. Rekoso, kata orang Jawa. Rekoso kuadrat. 


Di jalanan yang sepi itu, ada bocah menembus dingin sambil kelaparan, makan pisang di atas motor dan ditemani serbuan hujan. Dan ia tetap melaju, tetap makan pisang, demi mengejar jadwal bus pertama, demi tiba tepat waktu di kampus. 


3 Oktober


Sehari sebelum berangkat kuliah, biasanya saya sudah menyiapkan barang-barang untuk ke kampus. Buku-buku, kaca mata, power bank, semuanya, kecuali hari itu—3 Oktober. Saya bangun dan mandi kedinginan, lantas buru-buru berangkat. Di jalan, saya baru sadar: Tidak memakai kemeja. Saya sudah hampir tiba di masjid tempat parkir. Jika pulang, ketinggalan bus. Dengan berat hati, motor tetap melaju tanpa putar arah dan terpaksa pinjam kemeja kawan. Saya katakan terpaksa karena enggan merepotkan. 


Saya menghubungi Deni dan menuju kosnya. Saya keluar kos membawa kemeja, berikut motor yang juga Deni pinjami.


10 Oktober


Bus yang seharusnya berisi 50-an orang, bengkak entah berapa. Tempat duduk penuh, berdiri juga penuh, tangga masuk bus pun terisi orang. Gila. Jika ketambahan ayam, ia akan terhimpit. Untungnya, saya kebagian duduk di tengah dan dengan kondisi penuh seluruh itu, praktis jarak pandang saya terbatas. Pun di tempat duduk itu, saya diapit oleh dua orang “besar”. Sementara di luar jendela kondisi gelap.


Jadi yang saya rasakan hanya goncangan dan manuver-manuver bus. Jika anda pernah melihat kelereng di dalam botol yang dikocok anak-anak, seperti itulah kira-kira rasanya. Sementara itu, perut saya kosong melompong. Sekitar satu jam masuk ke bus, saya mual. Malulah muntah di bus, apalagi kondisi sesak begitu. Jadi saya coba untuk memejamkan mata dan bodo amat jika ada barang-barang hilang. Saya tertidur dan bangun karena macet di tol. Pak sopir menginjak rem sekasar menginjak musuh, dan itu membuat rasa mual berada di puncak.


“Pak, maaf, saya mual. Izin muntah, ya,” kata saya pada penumpang di samping, scene izin muntah ini kemudian membuat orang-orang menoleh. Duh.


Nah, saya mengambil kantong kresek dengan susah payah. Lalu terjadilah sesuatu yang harus terjadi, tetapi, tidak ada isi lambung yang keluar, karena memang perut tidak ada isi sama sekali. Bahkan air pun tak ada. Efek dari perut kosong dan muntah ini parah: Saya kehabisan energi. Bahkan rasanya energi turun ke titik minus. Untuk bangkit dan turun dari bus, energi seperti pergi menjauh. Untunglah bapak-bapak bersedia membatu.


Turun dari bus saya mencari sembarang tempat untuk makan nasi bungkus. Tempat pertama yang saya lihat adalah pinggiran parkir keberangkatan bus. Sepi, luas, dan lumayan bersih. Drama mual masih berlanjut setelah saya makan. Isi lambung buru-buru meloncat keluar, seolah di dalam sana terdapat monster kejam. Tetapi, rasanya tubuh lebih segar dan saya memaksakan diri untuk tetap berangkat ke kampus. 


Di kelas, perkara mual tiba-tiba kumat. Saya tidak bisa fokus mengikuti perkuliahan, menahan pusing sekaligus merasakan isi lambung memaksa untuk kembali menyembur. Jika saya tidak keliru, perkuliahan baru berlangsung sekitar satu jam, lalu saya putuskan untuk menyerah. “Professor, maaf sekali, saya izin tinggal di toilet saja. Saya mual.”


“Mashaallah...” dawuh professor.


Lalu terjadilah sesuatu yang harus terjadi. Keluar dari toilet, saya tidak mampu berdiri tegak. Perut saya terlalu kosong dan berjalan setengah bungkuk. Jadi saya duduk di dekat toilet dan melihat professor keluar. Mukit membawa saya istirahat ke kosnya, setelah kembali saya mengalami gejolak lambung pasca keluar dari lift. Tidak mungkin ada tempat strategis untuk menunaikan hajat di dekat lift. Jadi saya lari setengah bungkuk menuju parkiran motor, dan terjadilah sesuatu yang harus terjadi. 


Di kosan, saya memaksa mengisi perut meski hanya beberapa suap, lalu langsung tidur setelah merasakan gejolak lambung lagi. Tidur inilah kunci untuk benar-benar lebih segar. Bangun tidur saya kembali ke kampus, membeli dan menyantap makanan, menyelesaikan satu urusan dengan dosen, lalu merasakan tubuh sudah jauh lebih baik.


Malam hari saya pulang, numpang mobil Kiai.


17 November


Trauma berangkat dengan perut kosong, saya sarapan sebelum berangkat. Setelah berbagai kejadian dari minggu ke minggu, semua lebih aman terkendali. Barang bawaan lebih rapi, kondisi tubuh relatif stabil. Semua oke, kecuali satu hal yang luput lagi: Kebelet pipis. Anda tahu rasanya kebelet hajat di atas bus ekonomi yang tidak menyediakan toilet, sedangkan posisi anda baru masuk tol?


Sudahlah, itu momen mengangkan, mirip anda menghadapi dosen untuk sidang skripsi.


***


Begitulah dari Senin ke Senin. Masih ada banyak stok cerita di hari Senin, tetapi itu bagian lain nanti. Hari Senin penuh pernak pernik. Sebagian membuat getir, sebagian membuat tertawa. Hari ini sebenarnya tubuh merasakan sedikit letih, tetapi, kuliah seperti ini hanya sekali seumur hidup dan, karena itu, akan selalu saya cari sisi nikmatnya, meski ia serupa oseng-oseng asin, atau knalpot brong, atau gambar salah garis.

Hewan

Hewan buas itu, kata Steve Irwin, cukup sederhana. Jika Anda bertemu dengan mereka, mungkin mereka akan memakan Anda, atau setidaknya menyerang Anda. Manusia lebih rumit. Mula-mula, mereka akan berpura-pura menjadi teman Anda terlebih dahulu.