Sejak 12 September
2022, hari Senin adalah oseng-oseng asin, atau knalpot brong, atau gambar salah
garis: Dicicipi bikin ngilu, didengar bikin pekak, dilihat tidak indah. Itu
membuat hari Senin terasa berat, lantas menular pada hari Selasa, Rabu, Kamis,
Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Di hari Senin, saya harus
pergi ke kampus untuk kuliah—berangkat dari rumah dan butuh empat hingga enam jam
perjalanan. Perkuliahan pertama mulai pukul 08.00 pagi. Artinya, saya harus
berangkat pukul 03.00 pagi, dan setidaknya saya harus bangun pukul 02.00 dini
hari. Supaya tidak merepotkan famili, saya berangkat naik motor, menuju masjid
berjarak 13 kilo meter dari rumah. Setelah menitipkan motor pada Pak Slamet—satpam
masjid, saya menunggu bus.
Biasanya, saya tiba
kembali di rumah larut malam. Selama di jalan, demi menjaga barang, saya jarang
tidur. Itulah kenapa Senin terasa berat dari berbagai sisi. Bangun pagi-pagi lantas harus terjaga sepanjang hari, sambil memeras isi kepala di kelas saat diskusi. Selasa hari
istirahat. Rabu, Kamis, Jumat, Sabut, Minggu, mengerjakan seluruh aktivitas
selain kuliah, tetapi masih perkara kuliah: apalagi kalau bukan deadline tugas
kuliah. Dan ngajar.
Tiap Senin itu,
keping demi keping cerita terjadi. Dan seluruh hal-hal berat, ketika telah
terjadi, ya... hanya jadi kenangan dan kekonyolan. Tanggal 12 September, misalnya,
adalah hari pertama kuliah dan karena ada perubahan jadwal mendadak, dosen
tidak datang ke kampus. Jadilah perjalanan jauh hari itu sia-sia belaka. Di
dalam hati saya nggrundel: Beliau ini tentu tidak tahu saya bangun jam
dua pagi, dengan berat hati meninggalkan nilai-nilai kenikmatan tidur malam,
menuju ruang kuliah yang hanya berisi bangku-bangku tak bernyawa. Masak mereka
harus ngajar saya?
Pihak akademik juga
tega ngubah jadwal kuliah dadakan tanpa konfirmasi ke dosen. Kita paham bahwa
pekerjaan dosen itu numpuk, tetapi tidak termasuk memantau pergeseran jadwal
kuliah. Untungnya hari itu saya bertemu kaprodi dan menyelesaikan satu urusan
tertentu. Lancar jaya. Semua nggrundel selesai seketika karena hati
riang. Juga ketemu dan ngopi lama sama Novi—kawan dekat saya.
19 September.
Hari itu perkuliahan
lancar. Satu-satunya hal yang mengganggu adalah khawatir motor digondol orang.
Pasalnya, waktu itu saya belum kenal Pak Slamet. Adegan titip motor di masjid
baru terjadi di pekan keempat. Sebelum itu, saya parkir motor begitu saja, lalu
nyelonong pergi naik bus. Untunglah, motor masih utuh hingga hari ini. Jauh sebelum hari perkuliahan aktif, saya sudah coba cari parkir umum di jalur bus, tetapi nihil. Hanya masjid ini yang memungkinkan untuk dititipi.
26 September.
Karena belum kenal
satpam masjid dan merasa khawatir jika motor ditinggal lama, saya coba titip motor di rumah teman yang kebetulan dekat dengan
jalur yang dilewati bus. Sialnya, pagi itu saya berangkat kelaparan, sama
seperti Senin-Senin sebelumnya. Bedanya kali ini saya bawa pisang. Di jalan,
saya eksekusi pisang itu, sambil menembus dingin. Ketika separo pisang sudah
saya telan, tanpa permisi hujan menyerang!
Kepalang tanggung
untuk menepi pakai jas hujan, juga takut ketinggalan bus pertama, saya tetap
menarik ulir gas motor, di pagi buta, sambil makan pisang, sembari dijatuhi
hujan. Ya, tentu saja, jika menganut hukum praktis, saya terhindar dari keselek
sebab tinggal buka mulut, air bisa terminum. Jika adegan itu terjadi di scene
film, mungkin tampak biasa. Masalahnya, sungguh terlalu jika kita mengalaminya
langsung. Rekoso, kata orang Jawa. Rekoso kuadrat.
Di jalanan yang sepi itu, ada bocah menembus dingin sambil kelaparan, makan pisang di atas motor dan ditemani serbuan hujan. Dan ia tetap melaju, tetap makan pisang, demi mengejar jadwal bus pertama, demi tiba tepat waktu di kampus.
3 Oktober
Sehari sebelum
berangkat kuliah, biasanya saya sudah menyiapkan barang-barang untuk ke kampus.
Buku-buku, kaca mata, power bank, semuanya, kecuali hari itu—3 Oktober. Saya
bangun dan mandi kedinginan, lantas buru-buru berangkat. Di jalan, saya baru
sadar: Tidak memakai kemeja. Saya sudah hampir tiba di masjid tempat parkir.
Jika pulang, ketinggalan bus. Dengan berat hati, motor tetap melaju tanpa putar
arah dan terpaksa pinjam kemeja kawan. Saya katakan terpaksa karena enggan
merepotkan.
Saya menghubungi Deni dan menuju kosnya. Saya keluar kos membawa kemeja, berikut motor yang juga Deni pinjami.
10 Oktober
Bus yang seharusnya
berisi 50-an orang, bengkak entah berapa. Tempat duduk penuh, berdiri juga
penuh, tangga masuk bus pun terisi orang. Gila. Jika ketambahan ayam, ia akan
terhimpit. Untungnya, saya kebagian duduk di tengah dan dengan kondisi penuh
seluruh itu, praktis jarak pandang saya terbatas. Pun di tempat duduk itu, saya
diapit oleh dua orang “besar”. Sementara di luar jendela kondisi gelap.
Jadi yang saya
rasakan hanya goncangan dan manuver-manuver bus. Jika anda pernah melihat kelereng di dalam botol yang dikocok anak-anak, seperti itulah kira-kira rasanya. Sementara itu, perut saya
kosong melompong. Sekitar satu jam masuk ke bus, saya mual. Malulah
muntah di bus, apalagi kondisi sesak begitu. Jadi saya coba untuk memejamkan mata
dan bodo amat jika ada barang-barang hilang. Saya tertidur dan bangun karena
macet di tol. Pak sopir menginjak rem sekasar menginjak musuh, dan itu membuat rasa mual berada di puncak.
“Pak, maaf, saya
mual. Izin muntah, ya,” kata saya pada penumpang di samping, scene izin muntah
ini kemudian membuat orang-orang menoleh. Duh.
Nah, saya mengambil
kantong kresek dengan susah payah. Lalu terjadilah sesuatu yang harus terjadi,
tetapi, tidak ada isi lambung yang keluar, karena memang perut tidak ada
isi sama
sekali. Bahkan air pun tak
ada. Efek dari perut kosong dan muntah ini parah: Saya kehabisan energi. Bahkan
rasanya energi turun ke titik minus. Untuk bangkit dan turun dari bus, energi seperti pergi menjauh. Untunglah bapak-bapak bersedia membatu.
Turun dari bus saya mencari sembarang tempat untuk makan nasi bungkus. Tempat pertama yang saya lihat adalah pinggiran parkir keberangkatan bus. Sepi, luas, dan lumayan bersih. Drama mual masih
berlanjut setelah saya makan. Isi lambung buru-buru meloncat keluar, seolah di dalam sana terdapat monster kejam. Tetapi, rasanya tubuh lebih segar dan saya memaksakan diri untuk tetap berangkat ke
kampus.
Di kelas, perkara mual tiba-tiba kumat. Saya tidak bisa fokus mengikuti perkuliahan, menahan pusing sekaligus merasakan isi lambung memaksa untuk kembali menyembur. Jika saya tidak keliru, perkuliahan baru berlangsung sekitar satu jam, lalu saya putuskan untuk menyerah. “Professor, maaf sekali, saya izin tinggal di
toilet saja. Saya mual.”
“Mashaallah...” dawuh
professor.
Lalu terjadilah sesuatu yang harus terjadi. Keluar dari toilet,
saya tidak mampu berdiri tegak. Perut saya terlalu kosong dan berjalan setengah bungkuk. Jadi saya duduk di
dekat toilet dan melihat professor keluar. Mukit membawa saya istirahat ke kosnya, setelah kembali saya mengalami gejolak lambung pasca keluar dari lift. Tidak mungkin ada tempat strategis untuk menunaikan hajat di dekat lift. Jadi saya lari setengah bungkuk menuju parkiran motor, dan terjadilah sesuatu yang harus terjadi.
Di kosan, saya memaksa mengisi perut meski hanya beberapa suap, lalu langsung tidur setelah merasakan gejolak lambung lagi. Tidur inilah kunci untuk benar-benar lebih segar. Bangun tidur saya kembali ke kampus, membeli dan
menyantap makanan, menyelesaikan satu urusan dengan dosen, lalu merasakan tubuh
sudah jauh lebih baik.
Malam hari saya
pulang, numpang mobil Kiai.
17 November
Trauma berangkat
dengan perut kosong, saya sarapan sebelum berangkat. Setelah berbagai kejadian
dari minggu ke minggu, semua lebih aman terkendali. Barang bawaan lebih rapi,
kondisi tubuh relatif stabil. Semua oke, kecuali satu hal yang luput lagi:
Kebelet pipis. Anda tahu rasanya kebelet hajat di atas bus ekonomi yang tidak
menyediakan toilet, sedangkan posisi anda baru masuk tol?
Sudahlah, itu momen
mengangkan, mirip anda menghadapi dosen untuk sidang skripsi.
***
Begitulah dari Senin
ke Senin. Masih ada banyak stok cerita di hari Senin, tetapi itu bagian lain
nanti. Hari Senin penuh pernak pernik. Sebagian membuat getir, sebagian membuat
tertawa. Hari ini sebenarnya tubuh merasakan sedikit letih, tetapi, kuliah
seperti ini hanya sekali seumur hidup dan, karena itu, akan selalu saya cari sisi
nikmatnya, meski ia serupa oseng-oseng asin, atau knalpot brong, atau gambar
salah garis.