Minggu, 05 Juni 2022

Emosi Pak Sopir yang Naik Turun

Sopir bis itu menginjak gas dalam-dalam, membuat bis melaju kencang dan mengumpati mobil-mobil kecil yang melakukan manufer mendadak. “Tekos!” kata Pak Sopir. Setelah mengumpat ia kembali melempar senyum bersahaja pada segala apa yang dilihatnya. Emosi Pak Sopir ini, kata saya dalam hati, antara stabil dan naik-turun bak roller coaster.


Emosi saat mengemudi, sulit di atur. Setidaknya demikian yang saya alami. Misalnya, saat ada orang mendahului sambil mepet-mepet, saya bisa merasa terganggu; saat kendaraan lain tak mau memberi sedikit jalan, saya jengkel. Dugaan pendek saya banyak sopir jenis ini. Jika dugaan ini benar, jalanan kita menjadi arena tumpukan emosi-emosi negatif. Semua orang bergegas entah kemana dan menganggap jalanan harus berpihak pada mereka. Praktis klakson berfungsi sebagai perpanjangan ekspresi kemarahan, alih-alih menjadi fitur keselamatan.


Di lampu merah perkotaan, nyaris selalu ada bunyi klakson. Seolah memberi peringatan pada kendaraan di depan untuk segera melaju. Bayangan saya, jika klakson itu berupa toa, maka suara yang keluar adalah, “Hei kau yang di depan sana, cepat jalan, sialan!” Sekali kita bad mood di jalan, susah untuk kembali nyaman. Pada titik ini, sopir bis tadi adalah anomali. Saya tidak tahu nama Pak Sopir, tetapi bis itu disebut Laskar Ababil. Kita bisa menyebut si pengemudi Pak Laskar.


Sepanjang perjalanan 167 KM itu, emosi Pak Laskar sulit ditebak—meski emosi dominan, saya kira, adalah positif. Misalnya setelah mengumpat tekos, ia bisa bercakap-cakap santai sambil sesekali melempar tawa. Lalu saya menyadari satu hal setelah saya memandangi wajah Pak Laskar cukup lama: Kerutan di wajahnya itu adalah kerutan karena ekspresi senyum atau tertawa. Garis-garis wajah dengan sendirinya membentuk pose senyum.


Bahkan ketika fokus dan tidak menunjukkan ekspresi apapun, wajah itu bersahaja, berkat kerutan di wajahnya. Kerutan itu benar-benar estetik, pikir saya. kerutan kebijaksanaan—well, saya menyukai istilah ini. Ada perjalanan panjang dari hari ke hari, ada ujian dari hari ke hari, tetapi perjalanan atau ujian itu, dalam pikiran saya, dihadapi Pak Laskar dengan senyuman. Senyuman tersebut seolah stempel terhadap apapun yang sedang terjadi. Sejak melihat Pak Laskar hari itu, ia menjadi sosok ideal, aneh, anomali.


Pak Laskar mungkin sering tertawa dan, ketika mengemudi, memiliki pembawaan tenang. Tetapi ia mudah juga mengumpat, lalu secara mendadak kembali stabil. Dalam hitungan detik, emosi itu bisa berpindah-pindah dari satu ekspresi ke ekspresi lain. Benar-benar anomali. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang tejadi pada Pak Laskar. Sambil menikmati perjalanan, saya memikirkan hal itu.


Urusan mengemudi, bagaimanapun, dapat menunjukkan karakter seseorang. Untuk memahami ini kita perlu meminjam tilikan Daniel Kahneman, yang memiliki dua kluster terhadap sistem berpikir manusia: Sistem pertama nyaris intuitif-spontan tanpa proses menguras energi, dan, kebalikannya, sistem kedua membutuhkan waktu untuk menganalisa—ia membutuhkan banyak sumber daya. Termasuk salah satu hal yang membutuhkan kinerja otak sistem kedua adalah mengemudi.


Kita bisa maklum ia menggunakan sistem kedua sebab mengemudi tidak lain adalah proses menghindari kecelakaan. Ia adalah upaya untuk tetap hidup dan mencapai tempat tujuan se-efisien mungkin. Dengan kata lain, mengemudi adalah urusan nyawa. Jika kita menjadi penumpang, dan mendapati mobil akan mendahului kendaraan lain pada kecepatan tinggi sedangkan kondisi jalanan padat, kita memilih untuk tidak mengganggu sopir, bukan? Kita membiarkan ia konsentrasi penuh. Ia membutuhkan sistem berpikir analitik.


Masalahnya adalah, sistem kedua di atas membutuhkan sumber energi banyak. Jika digunakan terus menerus, ia akan membuat fisik manusia lelah, tentu psikisnya juga. Hal ini berkelindan dengan proses menjaga sikap: Bagaimana tindak-tanduk kita di ruang publik, sialnya, membutuhkan sistem kedua. Anda pernah melihat orang yang sangat cerdas? Anda menilai ia memiliki sikap buruk? Itu karena orang cerdas tadi sudah banyak menggunakan sumber daya otaknya untuk tugas-tugas kognitif, sehingga tidak ada sisa energi untuk digunakan sebagai kompas tindakan.


Nah, mengemudi juga demikian. Karena ia menghabiskan banyak sumber daya energi, sebagian besar sopir kehilangan kendali diri ketika lelah. Mereka mudah mengumpat atau bersusah hati saat kondisi energi menipis. Tindakan menggunakan sistem berpikir kedua, begitu pula mengemudi. Ada hal yang harus dikorbankan saat sumber daya menipis. Dan demi keselamatan nyawa, mengemudi jelas mengambil banyak energi.


Sambil melihat Pak Laskar, saya menebak-nebak, jika ia sudah kehabisan energi, ia pasti akan terus mengumpat ketika sudah lelah. Tetapi, emosi sopir ini berbeda sebab dari awal ia sudah mengumpat sambil tetap tenang. Apa yang terjadi, tanya saya sepanjang sisa perjalanan. Saya tahu, memikirkan Pak Laskar tidak memiliki keuntungan khusus bagi saya, tetapi kepala saya gemar berpikir saat di perjalanan. Dari pada ia berpikir hal-hal aneh, ia lebih baik memikirkan Pak Laskar.


Baru ketika hendak turun, emosi Pak Laskar benar-benar menunjukkan kelelahan. Ia lebih sering diam dan memandang serius pada jalanan di depannya. Jika ada kesalahan sedikit, ia cukup emosional. Aha! Ia sama dengan sopir lain. Rupanya pembawaan tenang itu, simpul saya, berakar dari pengalaman mengemudinya. Mungkin selama bertahun-tahun. Di tambah kepribadian Pak Laskar yang jelas bersahaja, pantas ia memiliki pembawaan sedemikian rupa anomali.


Kesimpulan saya tentu saja hanya otak-atik gatuk. Poin saya adalah ini: Sebagai pengemudi, saya kagum pada Pak Laskar, ia memiliki karakter. Pembawaan tenang, skil mengemudi yang di atas rata-rata, sesekali mengumpat, lalu kembali cekikikan dalam hitungan detik... benar-benar perpaduan anomali. Saat turun dari bis, saya kadang menginginkan kerutan senyum—kerutan Pak Laskar.