Sopir bis itu menginjak gas dalam-dalam, membuat bis melaju kencang dan mengumpati mobil-mobil kecil yang melakukan manufer mendadak. “Tekos!” kata Pak Sopir. Setelah mengumpat ia kembali melempar senyum bersahaja pada segala apa yang dilihatnya. Emosi Pak Sopir ini, kata saya dalam hati, antara stabil dan naik-turun bak roller coaster.
Emosi saat mengemudi,
sulit di atur. Setidaknya demikian yang saya alami. Misalnya, saat ada orang
mendahului sambil mepet-mepet, saya bisa merasa terganggu; saat kendaraan lain
tak mau memberi sedikit jalan, saya jengkel. Dugaan pendek saya banyak sopir
jenis ini. Jika dugaan ini benar, jalanan kita menjadi arena tumpukan
emosi-emosi negatif. Semua orang bergegas entah kemana dan menganggap jalanan
harus berpihak pada mereka. Praktis klakson berfungsi sebagai perpanjangan
ekspresi kemarahan, alih-alih menjadi fitur keselamatan.
Di lampu merah
perkotaan, nyaris selalu ada bunyi klakson. Seolah memberi peringatan pada
kendaraan di depan untuk segera melaju. Bayangan saya, jika klakson itu berupa
toa, maka suara yang keluar adalah, “Hei kau yang di depan sana, cepat jalan,
sialan!” Sekali kita bad mood di jalan, susah untuk kembali nyaman. Pada titik ini, sopir
bis
tadi adalah anomali. Saya tidak tahu nama Pak Sopir,
tetapi bis itu disebut Laskar Ababil. Kita bisa menyebut si pengemudi Pak
Laskar.
Sepanjang perjalanan
167 KM itu, emosi Pak Laskar sulit ditebak—meski emosi dominan, saya kira,
adalah positif. Misalnya setelah mengumpat tekos, ia bisa bercakap-cakap
santai sambil sesekali melempar tawa. Lalu saya menyadari satu hal setelah saya
memandangi wajah Pak Laskar cukup lama: Kerutan di wajahnya itu adalah kerutan
karena ekspresi senyum atau tertawa. Garis-garis wajah dengan sendirinya
membentuk pose senyum.
Bahkan ketika fokus
dan tidak menunjukkan ekspresi apapun, wajah itu bersahaja, berkat kerutan di
wajahnya. Kerutan itu benar-benar estetik, pikir saya. kerutan
kebijaksanaan—well, saya menyukai istilah ini. Ada perjalanan panjang dari hari
ke hari, ada ujian dari hari ke hari, tetapi perjalanan atau ujian itu, dalam
pikiran saya, dihadapi Pak Laskar dengan senyuman. Senyuman tersebut seolah
stempel terhadap apapun yang sedang terjadi. Sejak melihat Pak Laskar hari itu,
ia menjadi sosok ideal, aneh, anomali.
Pak Laskar mungkin
sering tertawa dan, ketika mengemudi, memiliki pembawaan tenang. Tetapi ia
mudah juga mengumpat, lalu secara mendadak kembali stabil. Dalam hitungan
detik, emosi itu bisa berpindah-pindah dari satu ekspresi ke ekspresi lain. Benar-benar
anomali. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang tejadi pada Pak Laskar. Sambil
menikmati perjalanan, saya memikirkan hal itu.
Urusan mengemudi,
bagaimanapun, dapat menunjukkan karakter seseorang. Untuk memahami ini kita
perlu meminjam tilikan Daniel Kahneman, yang memiliki dua kluster terhadap
sistem berpikir manusia: Sistem pertama nyaris intuitif-spontan tanpa proses
menguras energi, dan, kebalikannya, sistem kedua membutuhkan waktu untuk
menganalisa—ia membutuhkan banyak sumber daya. Termasuk salah satu hal yang
membutuhkan kinerja otak sistem kedua adalah mengemudi.
Kita bisa maklum ia
menggunakan sistem kedua sebab mengemudi tidak lain adalah proses menghindari
kecelakaan. Ia adalah upaya untuk tetap hidup dan mencapai tempat tujuan
se-efisien mungkin. Dengan kata lain, mengemudi adalah urusan nyawa. Jika kita
menjadi penumpang, dan mendapati mobil akan mendahului kendaraan lain pada
kecepatan tinggi sedangkan kondisi jalanan padat, kita memilih untuk tidak
mengganggu sopir, bukan? Kita membiarkan ia konsentrasi penuh. Ia membutuhkan
sistem berpikir analitik.
Masalahnya adalah,
sistem kedua di atas membutuhkan sumber energi banyak. Jika digunakan terus
menerus, ia akan membuat fisik manusia lelah, tentu psikisnya juga. Hal ini
berkelindan dengan proses menjaga sikap: Bagaimana tindak-tanduk kita di ruang
publik, sialnya, membutuhkan sistem kedua. Anda pernah melihat orang yang
sangat cerdas? Anda menilai ia memiliki sikap buruk? Itu karena orang cerdas tadi
sudah banyak menggunakan sumber daya otaknya untuk tugas-tugas kognitif,
sehingga tidak ada sisa energi untuk digunakan sebagai kompas tindakan.
Nah, mengemudi juga
demikian. Karena ia menghabiskan banyak sumber daya energi, sebagian besar
sopir kehilangan kendali diri ketika lelah. Mereka mudah mengumpat atau
bersusah hati saat kondisi energi menipis. Tindakan menggunakan sistem berpikir
kedua, begitu pula mengemudi. Ada hal yang harus dikorbankan saat sumber daya
menipis. Dan demi keselamatan nyawa, mengemudi jelas mengambil banyak energi.
Sambil melihat Pak
Laskar, saya menebak-nebak, jika ia sudah kehabisan energi, ia pasti akan terus
mengumpat ketika sudah lelah. Tetapi, emosi sopir ini berbeda sebab dari awal ia
sudah mengumpat sambil tetap tenang. Apa yang terjadi, tanya saya sepanjang
sisa perjalanan. Saya tahu, memikirkan Pak Laskar tidak memiliki keuntungan
khusus bagi saya, tetapi kepala saya gemar berpikir saat di perjalanan. Dari
pada ia berpikir hal-hal aneh, ia lebih baik memikirkan Pak Laskar.
Baru ketika hendak
turun, emosi Pak Laskar benar-benar menunjukkan kelelahan. Ia lebih sering diam
dan memandang serius pada jalanan di depannya. Jika ada kesalahan sedikit, ia
cukup emosional. Aha! Ia sama dengan sopir lain. Rupanya pembawaan tenang itu,
simpul saya, berakar dari pengalaman mengemudinya. Mungkin selama
bertahun-tahun. Di tambah kepribadian Pak Laskar yang jelas bersahaja, pantas
ia memiliki pembawaan sedemikian rupa anomali.
Kesimpulan saya tentu saja hanya otak-atik gatuk. Poin saya adalah ini: Sebagai pengemudi, saya kagum pada Pak Laskar, ia memiliki karakter. Pembawaan tenang, skil mengemudi yang di atas rata-rata, sesekali mengumpat, lalu kembali cekikikan dalam hitungan detik... benar-benar perpaduan anomali. Saat turun dari bis, saya kadang menginginkan kerutan senyum—kerutan Pak Laskar.