Menyuruh orang lain segera menikah tanpa peduli apakah ia siap atau tidak termasuk tindakan kurang bijak, begitu pula menyuruh orang lain sekolah S2 dan S3 tanpa persiapan—yang penting kuliah dulu, soal tugas-tugas dipikir belakangan. Kenapa tidak bijak? Bukankah sekolah tinggi itu baik?
Saya setuju sekolah
tinggi itu baik sebab berdampak bagi lingkungan, bahkan bagi negara. Pertanyaannya:
apakah mereka siap? Kesiapan kadang tidak berbanding lurus dengan keinginan.
Anda akan melihat banyak orang yang ingin kuliah setinggi mungkin, tanpa
kesadaran akan apa yang akan ia hadapi, dan komitmen serta usaha belajar
seperti apa yang dibutuhkan. Pokoknya lanjut kuliah. Titik. Anda mungkin juga
sering diminta pendapat oleh kawan Anda apakah ia perlu lanjut kuliah atau...
menikah, mungkin.
Ada banyak cara
menyikapi soal lanjut kuliah, sebanyak jumlah kepala manusia. Dan saya tidak
tahu pendapat mana yang paling baik.
Kita bisa menganggap
kuliah setinggi mungkin sebagai langkah kebaikan; langkah mengembangkan diri
dalam ruang akademik. Kita bisa memiliki kerangka pikir saintifik dan dapat
diandalkan membuat keputusan remeh maupun penting pada kehidupan sehari-hari. Bahkan,
dengan memilih jurusan yang tepat, kita bisa dengan mudah memiliki pekerjaan
layak dengan gelar berjejer di belakang nama, berikut kemampuan yang melekat
pada gelar tersebut. Dengan kata lain, kesempatan berkarir menjadi lebih besar.
Poin di atas
setidaknya adalah hasil perjalanan kuliah. Yang tidak dilihat adalah proses
kuliahnya itu sendiri. Dan inilah poin pentingnya: kuliah adalah proses
pemenuhan tanggungjawab akademik. Artinya, kita harus bertarung sesuai aturan
main di kampus bersangkutan. Mari saya ceritakan gambaran besar pertarungan
kuliah S2 di kampus saya. Anda mungkin perlu mendapat cerita dari mahasiswa
lain, supaya menjadi perbandingan fair sebab kebijakan masing-masing kampus
mungkin berbeda.
Pertama, kualitas
tugas kuliah. Jenis tugas kuliah pada tiap program sudi mungkin berbeda. Di kampus
saya tugasnya adalah menyusun makalah seusai tema yang telah ditentukan. Tentu makalah
ini jauh berbeda dengan makalah S1. Profesor biasanya akan marah jika tugas
makalah hanya ditulis asal-asalan. Apalagi copy-paste. Tema yang ditentukan
saja biasanya sudah sulit, hingga data yang dicari benar-benar perlu
perjuangan. Belum lagi soal pendekatan yang harus mahasiswa kuasai.
Penguasaan meriset
dan meneliti diperlukan. Sangat diperlukan. Anggapan para profesor, para
mahasiswa sudah mampu melakukan riset setelah menjalani kuliah S1. Dengan kata
lain, mahasiswa S2 sudah dianggap memiliki kemampuan dasar meneliti dan
menulis. Faktanya, banyak mahasiswa tidak memiliki kemampuan ini, saya
mendapati beberapa mahasiswa kena semprot di kelas karena tugas yang ia tangani
jauh dari kata layak.
Berdasar pengalaman
pribadi, saya tidak ditempa untuk mampu menulis. Hanya ada satu biji mata kuliah
menulis. Pihak kampus tinggal mewajibkan mahasiswa menulis tanpa pendampingan
memadai, seolah kemampuan menulis adalah bawaan lahir. Dengan kata lain,
mahasiswa juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas problem ini. Yang ingin saya
katakan, akan sangat membantu jika kita menempa diri pada aspek kemampuan riset
dan menulis untuk menunjang perkuliahan S2.
Apakah itu berarti
mahasiswa tanpa kemampuan riset-nulis tidak boleh kuliah S2? Kita simpan
jawaban ini diakhir. Izinkan saya lanjut pada poin berikutnya tentang tugas
kuliah.
Kedua, dosen di
kampus saya mewajibkan menulis di jurnal. Well, sepuluh tahun lalu mahasiswa S2
tidak akan, atau setidaknya jarang, mendapat kewajiban submit tulisan di
jurnal. Hari ini, menulis di jurnal sudah menjadi ketentuan lumrah. Di beberapa
kampus, untuk tingkat S1 sudah menerapkan tugas jurnaling. Sebenarnya,
tugas menulis di jurnal memiliki pra-syarat kemampuan meneliti dan menulis,
sama seperti poin pertama. Namun submit di jurnal adalah tantangan tersendiri
sebab naskah kita harus berkualitas.
Jika tulisan tugas perkuliahan kita
jelek, kita akan mendapat masukan profesor/dosen. Atau
pada tingkat ekstrem, masukan itu bercampur sindiran pedas. Jika tulisan kita
dibawah standar saat submit di jurnal, ia jelas kalah dengan ribuan naskah
lain. Tugas-tugas ini tidak bisa dikatakan mudah.
Bagaimana sebaiknya
memberi saran pada mahasiswa yang ingin lanjut kuliah?
Katakan dengan sopan:
ia harus memiliki persiapan, setidaknya ia harus tahu di mana ia berdiri, dan
kemana ia akan menuju. Supaya lebih jelas, mari gunakan ilustrasi konkret. Dari
pada mendorong orang lain lalu lepas tangan kemudian, lebih baik kita sarankan
padanya, akan lebih baik jika ia mencari informasi mata kuliah apa yang akan
ditempuh, siapa saja dosennya, seperti apa bentuk tugasnya, setinggi apa syarat
kualitas tugasnya. Ia bisa mencari testimoni dari angkatan senior.
Lalu dari berbagai
informasi itu, ia harus menentukan jangkauan kemampuannya. Sumber daya seperti
apa yang sudah ia kumpulkan untuk mengatasi semua tanggung jawab. Ingat bahwa
tugas kuliah S2 harus dikerjakan individu. Jika ternyata ia belum mampu, apakah
ada orang lain yang akan membantu. Pasangan, misalnya, sebab mengandalkan teman
tidak baik, mereka sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Minta bantuan joki
juga tidak disarankan. Buat apa kuliah jika ujungnya tugas diserahkan ke joki,
kecuali memang kuliah hanya formalitas.
Ibarat perang,
sebelum memasuki arena, ia harus tahu kemampuan musuh, dan mengukur kemampuan
serta perangkat senjata apa yang ia miliki. Konyol jika ia berangkat ke medan
perang tanpa cukup informasi. Ia bisa mati sia-sia.
Bagaimana jika
persiapan kurang tetapi berbagai faktor mengharuskan ia lanjut kuliah? Katakan padanya:
Ia harus rajin belajar! Tidak peduli ia mahasiswa terbaik pada masanya, ia
tetap harus rajin belajar! Kuliah tidak hanya mengisi presensi perkuliahan, ia
adalah tanggung jawab. Hanya dengan rajin belajar ia akan memiliki refleksi
personal atas apa yang ia dapat selama masa perkuliahan. Ia harus meluangkan
waktu duduk berjam-jam fokus belajar. Oh, jika ia malas belajar dan entah
karena apa tetap harus kuliah, ya sudah... yang penting lulus, sekacau apapun
caranya.
Barangkali ia akan
menemukan sesuatu yang menarik di kampus. Tetapi jauh sebelum ia masuk dalam
ritme baru, sebaiknya kita berhenti menyuruh orang lain kuliah tanpa memberi
tahu segala konsekuensinya. Tidak semua orang siap. Kuliah lanjutan butuh
persiapan. Tidak baik menjerumuskan orang lain dalam kondisi yang ia tidak
siap.
Bagi yang ingin kuliah, siapkan segala hal yang dibutuhkan, dan rajinlah belajar! Meski tidak rajin juga tak masalah, jika memang kau sudah sedemikian terpepet entah apa untuk segera kuliah. Barangkali, kau akan menemukan sesuatu di kampus. Apapun itu.