“Menurutmu, Kenapa tokoh agama sangat dihormati?” Andik sangat terusik dengan pertanyaan yang telah lama menggantung di kepalanya dan selalu mencari orang yang tepat untuk ditanya dan Ocrio adalah orang yang menurutnya terlalu tepat.
“Ini percakapan panjang,” kata Rio.
“Panjang dan menarik,” jawab Andik.
“Pandangan kita tentang tokoh agama adalah
pandangan purba tentang sosok yang harus dihormati sedemikian rupa sebab ia
adalah pewaris nabi. Pada titik tertentu, padangan itu terasa seperti
glorifikasi dari tokoh yang diidealkan: tokoh agama sosok yang suci; sosok keramat;
sosok yang tidak pernah salah. Jika ia berbuat salah, barangkali itu hanya
tampak salah, sebab para wali sering melakukan hal melenceng dan kita dipaksa
percaya bahwa itu benar belaka.”
Andik mengambil posisi serius mendengar
pembuka kalimat itu, dan Rio melanjutkan.
“Keluargaku cukup religius, dan menganggap
tokoh agama sebagaimana sosok seperti itu—tidak pernah salah. Pandangan itu
dengan mudah aku serap dengan cara kerja mirip doktrin. Dan seperti doktrin,
kita sulit keluar darinya karena ada bias desonansi kognitif: Jika kita hidup
di lingkungan yang mempercayai sebuah mitos, kita akan menganggap mitos itu
nyata.
“Jika kita besar di lingkungan Islam, kita
sulit lepas dari kepercayaan Islam. Bagi pemeluk agama lain, Islam tidak
rasional karena menyembah batu Kakbah. Bagi Islam, agama lain tidak rasional
karena, misalnya, menyembah Diego Maradona. Bagi orang ateis seluruh agama
tidak masuk akal. Dan pemeluk agama tidak mudah keluar dari kepercayaan akar.
Kesulitan keluar ini bisa disebut desonansi kognitif.”
Rio diam sejenak, memilih kata-kata yang
akan ia keluarkan. Sementara Andik tetap khusuk menyimak, bahkan ia terlihat
cukup antusias.
“Nah, kepercayaan tentang tokoh agama,
juga bekerja seperti desonansi kognitif. Kepercayaan yang aku dapat turun
temurun dari keluarga itu bertahan hingga masuk pesantren. Ketika nyantri, ya
mudah saja menghormati Kiai sehormat-hormatnya.”
“Tunggu, Rio... kau tidak ingin mengatakan
bahwa Kiai tidak perlu dihormati?”
“Setiap orang bisa kita hormati, sesuai
dengan apa yang ia lakukan. Dan soal hormat kepada orang lain kadang tidak
lebih dari soal kepentingan. Kau masih ingin aku melanjutkan?”
“Aku masih mendengarkan.”
“Suatu ketika, aku menyukai seorang cewek.
Dan kebetulan waktu itu aku boleh pegang hp. Aku usaha mendekatinya via
chating yang sangat norak, dan disela-sela usaha itu, kadang tugas dari Kiai
tiba-tiba muncul. Nah, ketika itulah aku merasa terganggu, sebab kepentinganku
jadi terhambat.
“Lepas dari itu, tugasku sehari-hari cuma
bantu Kiai, dengan kepercayaan pada barokah. Mungkin itu kepercayaan yang tidak
keliru, tetapi aku sudah mulai merasa bodoh dan ingin jadi pintar. Gimana bisa
jadi pintar jika kesibukan sehari-hari malah memunggungi pengetahuan? Jadi,
kepentinganku terganggu lagi.”
Rio kembali membiarkan hening menyergap,
ia menyembunyikan ingatan pahit yang tidak baik dikeluarkan. Lalu ia
melanjutkan.
“Kepentingan, itulah kata kuncinya, Ndik. Tiap
orang membawa kepentingan masing-masing. Dan semenjak aku paham bahwa
kepentinganku sudah berbeda dengan kepentingan Kiai, aku cari cara buat keluar
pondok. Dalam usaha keluar itulah, pikiranku terusik: Bagaimana cara melihat
apakah pengabdian ini berjalan sebagaimana mestinya, atau aku hanya
dimanfaatkan.”
“Maksudmu?”
“Sebagai santri, aku senang-senang saja
mengerjakan tugas-tugas dari guru. Tetapi aku tidak pernah tahu, apakah tugasku
itu mewakili kepentingan banyak orang, atau hanya kepentingan guruku.”
“Apa bedanya bagimu?”
“Aku hanya terusik, bagaimana jika tokoh
agama kita menggunakan privilise mereka untuk hal-hal yang tidak mewakili
kepentingan banyak orang? Aku tahu, ini pertanyaan kurang ajar. Tetapi, ayolah.
Beberapa orang bisa saja terjebak menggunakan narasi-narasi agama untuk menjaga
kepentingan mereka.
“Beberapa guru kadang keras sekali memberi
doktrin macam-macam supaya santri ngabdi dengan buta. Sebenarnya tipis sekali
perbedaan antara santri nurut dan berontak. Bedanya hanya ketika nilai
kepentingan masing-masing sudah saling kontradiktif: santri berontak kadang hanya
karena kepentingannya sudah tidak sejalan dengan kepentingan guru.”
“Apakah kepentingan guru dikedepankan
dengan alasan ia punya pengetahuan batin?”
“Sepertinya itu persoalan lain lagi.
Tetapi apa yang menjamin bahwa kepentingan guru selalu baik untuk muridnya? Jangan-jangan
kepentingan visioner si murid lebih baik bagi murid itu sendiri, kan? Tidak ada
yang tahu. Sialnya, kadang ada salah satu pihak merasa kepentingannya perlu
didahulukan. Bahkan tidak jarang ada guru yang menitipkan narsisme pada
muridnya: Ia ingin si murid menjadi hebat karena jasa mereka.”
“Aku mulai mengerti.” Kata Andik. “Dan itu
ditekankan kepada murid seolah ia harus membayar hutang budi seumur hidup.”
“Tepat. Itu ditekankan kepada murid seolah
ia harus membayar hutang budi seumur hidup.”
Mereka sama-sama menikmati keheningan
sejenak. Mencari kesimpulan masing-masing dari percakapan ini.
“Tentu saja aku menghormati mereka,” kata
Rio. “Bagaimanapun, mereka orang berilmu. Cuma ketika tujuanku terhambat, aku harus
menghindari. Menurutku yang membuat aku berubah dan berpikir seperti ini adalah kesadaran
akan kepentingan itu. Dan ditunjang berbagai bacaan, tentu saja. Aku ingin
keluar dari pondok sebab sudah ada pergeseran nilai yang aku anut, bahkan
sebelum aku mulai baca banyak pemikiran.”
“Karakter pemuka agama sebanyak yang kau
tak tahu.”
“Ya. Opiniku hanya tertuju pada pemuka agama tertentu.”