Sabtu, 26 Maret 2022

Percakapan Tabu

 “Menurutmu, Kenapa tokoh agama sangat dihormati?” Andik sangat terusik dengan pertanyaan yang telah lama menggantung di kepalanya dan selalu mencari orang yang tepat untuk ditanya dan Ocrio adalah orang yang menurutnya terlalu tepat.


“Ini percakapan panjang,” kata Rio.


“Panjang dan menarik,” jawab Andik.


“Pandangan kita tentang tokoh agama adalah pandangan purba tentang sosok yang harus dihormati sedemikian rupa sebab ia adalah pewaris nabi. Pada titik tertentu, padangan itu terasa seperti glorifikasi dari tokoh yang diidealkan: tokoh agama sosok yang suci; sosok keramat; sosok yang tidak pernah salah. Jika ia berbuat salah, barangkali itu hanya tampak salah, sebab para wali sering melakukan hal melenceng dan kita dipaksa percaya bahwa itu benar belaka.”


Andik mengambil posisi serius mendengar pembuka kalimat itu, dan Rio melanjutkan.


“Keluargaku cukup religius, dan menganggap tokoh agama sebagaimana sosok seperti itu—tidak pernah salah. Pandangan itu dengan mudah aku serap dengan cara kerja mirip doktrin. Dan seperti doktrin, kita sulit keluar darinya karena ada bias desonansi kognitif: Jika kita hidup di lingkungan yang mempercayai sebuah mitos, kita akan menganggap mitos itu nyata.


“Jika kita besar di lingkungan Islam, kita sulit lepas dari kepercayaan Islam. Bagi pemeluk agama lain, Islam tidak rasional karena menyembah batu Kakbah. Bagi Islam, agama lain tidak rasional karena, misalnya, menyembah Diego Maradona. Bagi orang ateis seluruh agama tidak masuk akal. Dan pemeluk agama tidak mudah keluar dari kepercayaan akar. Kesulitan keluar ini bisa disebut desonansi kognitif.”


Rio diam sejenak, memilih kata-kata yang akan ia keluarkan. Sementara Andik tetap khusuk menyimak, bahkan ia terlihat cukup antusias.


“Nah, kepercayaan tentang tokoh agama, juga bekerja seperti desonansi kognitif. Kepercayaan yang aku dapat turun temurun dari keluarga itu bertahan hingga masuk pesantren. Ketika nyantri, ya mudah saja menghormati Kiai sehormat-hormatnya.”


“Tunggu, Rio... kau tidak ingin mengatakan bahwa Kiai tidak perlu dihormati?”


“Setiap orang bisa kita hormati, sesuai dengan apa yang ia lakukan. Dan soal hormat kepada orang lain kadang tidak lebih dari soal kepentingan. Kau masih ingin aku melanjutkan?”


“Aku masih mendengarkan.”


“Suatu ketika, aku menyukai seorang cewek. Dan kebetulan waktu itu aku boleh pegang hp. Aku usaha mendekatinya via chating yang sangat norak, dan disela-sela usaha itu, kadang tugas dari Kiai tiba-tiba muncul. Nah, ketika itulah aku merasa terganggu, sebab kepentinganku jadi terhambat.


“Lepas dari itu, tugasku sehari-hari cuma bantu Kiai, dengan kepercayaan pada barokah. Mungkin itu kepercayaan yang tidak keliru, tetapi aku sudah mulai merasa bodoh dan ingin jadi pintar. Gimana bisa jadi pintar jika kesibukan sehari-hari malah memunggungi pengetahuan? Jadi, kepentinganku terganggu lagi.”


Rio kembali membiarkan hening menyergap, ia menyembunyikan ingatan pahit yang tidak baik dikeluarkan. Lalu ia melanjutkan.


“Kepentingan, itulah kata kuncinya, Ndik. Tiap orang membawa kepentingan masing-masing. Dan semenjak aku paham bahwa kepentinganku sudah berbeda dengan kepentingan Kiai, aku cari cara buat keluar pondok. Dalam usaha keluar itulah, pikiranku terusik: Bagaimana cara melihat apakah pengabdian ini berjalan sebagaimana mestinya, atau aku hanya dimanfaatkan.”


“Maksudmu?”


“Sebagai santri, aku senang-senang saja mengerjakan tugas-tugas dari guru. Tetapi aku tidak pernah tahu, apakah tugasku itu mewakili kepentingan banyak orang, atau hanya kepentingan guruku.”


“Apa bedanya bagimu?”


“Aku hanya terusik, bagaimana jika tokoh agama kita menggunakan privilise mereka untuk hal-hal yang tidak mewakili kepentingan banyak orang? Aku tahu, ini pertanyaan kurang ajar. Tetapi, ayolah. Beberapa orang bisa saja terjebak menggunakan narasi-narasi agama untuk menjaga kepentingan mereka.


“Beberapa guru kadang keras sekali memberi doktrin macam-macam supaya santri ngabdi dengan buta. Sebenarnya tipis sekali perbedaan antara santri nurut dan berontak. Bedanya hanya ketika nilai kepentingan masing-masing sudah saling kontradiktif: santri berontak kadang hanya karena kepentingannya sudah tidak sejalan dengan kepentingan guru.”


“Apakah kepentingan guru dikedepankan dengan alasan ia punya pengetahuan batin?”


“Sepertinya itu persoalan lain lagi. Tetapi apa yang menjamin bahwa kepentingan guru selalu baik untuk muridnya? Jangan-jangan kepentingan visioner si murid lebih baik bagi murid itu sendiri, kan? Tidak ada yang tahu. Sialnya, kadang ada salah satu pihak merasa kepentingannya perlu didahulukan. Bahkan tidak jarang ada guru yang menitipkan narsisme pada muridnya: Ia ingin si murid menjadi hebat karena jasa mereka.”


“Aku mulai mengerti.” Kata Andik. “Dan itu ditekankan kepada murid seolah ia harus membayar hutang budi seumur hidup.”


“Tepat. Itu ditekankan kepada murid seolah ia harus membayar hutang budi seumur hidup.”


Mereka sama-sama menikmati keheningan sejenak. Mencari kesimpulan masing-masing dari percakapan ini.


“Tentu saja aku menghormati mereka,” kata Rio. “Bagaimanapun, mereka orang berilmu. Cuma ketika tujuanku terhambat, aku harus menghindari. Menurutku yang membuat aku berubah dan berpikir seperti ini adalah kesadaran akan kepentingan itu. Dan ditunjang berbagai bacaan, tentu saja. Aku ingin keluar dari pondok sebab sudah ada pergeseran nilai yang aku anut, bahkan sebelum aku mulai baca banyak pemikiran.”


“Karakter pemuka agama sebanyak yang kau tak tahu.”


“Ya. Opiniku hanya tertuju pada pemuka agama tertentu.”