Selasa, 29 Maret 2022

Selamat Datang di Dunia Media Sosial

Media sosial membuat saya sadar bahwa kita punya banyak energi untuk membenci; untuk melihat kesalahan orang lain dan menggelindingkannya sedemikian rupa tanpa ampun.


Saat laga melawan Thailand beberapa bulan lalu, Indonesia kalah telak. Pada leg pertama, Dewangga mendapat kesempatan untuk mencetak gol. Ia hanya berjarak beberapa meter di depan gawang lawan setelah mendapat bola dari Witan Sulaeman dan bola yang Dewangga tendang melambung jauh ke atas. Penyiar televisi menyebut tuhan melalui teriakan dramatik dan emosional. Menyesali kesempatan emas yang gagal.


Selang beberapa menit, muncul gambar meme di Twitter yang mendeskripsikan bahwa Dewangga berpikir gawang lawan ada di langit sehingga ia menendang bola ke atas. Gambar-gambar lain segera menyusul. Cacian pada Dewangga mengalir keras.


Orang-orang ini kenapa, pikir saya.


Di lain kesempatan, Dandhy Laksono mengumumkan seleksi peserta ekspedisi Indonesia Baru. Ia mendapat banyak kritik karena tidak memberi gaji kepada peserta terpilih, bahkan setelah melakukan perjalanan setahun penuh. Kritik itu menggelinding ke berbagai isu hingga membuka kasus kekerasan seksual di mana Farid Gaban—salah satu tim ekspedisi—diduga membiarkan laporan korban.


Isu terus bergulir dan ekspedisi batal.


Di luar dua peristiwa di atas, kita akan melihat orang-orang yang melakukan kesalahan menjadi bulan-bulanan warga di media sosial. Jika orang yang “dihajar” itu melakukan kesalahan fatal, mungkin wajar. Tetapi ada juga orang-orang yang melakukan kesalahan manusiawi, namun tetap menjadi bulan-bulanan orang satu negara.


Dewangga contohnya.


Ia melakukan kesalahan manusiawi. Tidak semua tendangan harus berbuah gol. Bahkan Messi dan Ronaldo pernah melakukan kesalahan serupa! Tendangan mereka mengarah ke langit. Oh, jika dua pemain sepak bola terbaik dunia pernah melakukan kesalahan semacam itu, artinya semua pemain sepak bola berpotensi melakukan kesalahan yang sama! Tetapi orang-orang seperti tidak peduli dan menganggap Dewangga telah merugikan masyarakat dan, sebisa mungkin, menerima caci-maki.


Saya ngeri sendiri, tiap kali sebuah nama trending di Twitter atau media sosial lain, ada sebuah kesalahan yang digoreng massa. Dan kadang kesalahan itu manusiawi! Artinya, kita semua berpotensi untuk menjadi bulan-bulanan masyarakat se-Indonesia. Ya! Kita semua berpotensi, sebab kita hanya manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan.


Bayangkan ketika kesalahan kita tertangkap kamera atau diceritakan seseorang di media sosial, seluruh kebencian dan caci-maki akan mengarah kepada kita. Dan kita seolah diam tak bisa berkutik. Klarifikasi tidak akan menghilangkan amarah publik, sebab stigma telah menjadi stempel permanen pada diri kita, seolah kita tidak bisa berubah.


Apa yang akan kita lakukan ketika dihujat seluruh rakyat Indonesia? Mungkin perasaan yang akan mengubah hidup kita selamanya.


Apa yang kira-kira dirasakan Dewangga? Entah. Apa yang kira-kira dirasakan orang senasib dengan Dewangga? Entah. Mungkin perasaan yang akan mengubah kehidupan mereka. Selamanya.


Kadang saya berpikir, jika orang-orang itu bertemu langsung dengan orang-orang yang mereka hujat secara membabi-buta, apakah kata-kata kasar itu masih akan keluar dengan lancar? Tiap kali melihat orang bertengkar di Twitter, saya kadang mengajukan pertanyaan serupa. Beberapa ahli mengatakan mereka tidak akan sekeras itu jika bertatap muka langsung.


Sebagian mereka merasa leluasa karena tidak bertemu langsung dan mendapat efek “privat”, di mana cuitan mereka seolah tidak dilihat secara langsung. Itulah mengapa kata-kata kasar mudah keluar di media sosial dan jarang kita jumpai di percakapan sehari-hari.


Oh, well, selamat datang pada dunia penghakiman. Dunia rimba media sosial, di mana orang berbuat salah hampir selalu dikeroyok bersama, dan orang yang menghajar merasa paling benar dan mungkin tak mengira suatu saat ia akan ada di posisi yang sama. Selamat datang pada sisi lain media sosial. Dan jangan lupa kita semua berpotensi berada pada posisi dihajar publik.

Bagus

 Saya suka membaca tulisan bagus. Mereka membawa saya pada dunia lain. Tulisan buruk saya kurang suka. Mereka membawa saya ke dunia lain juga, serupa dunia siksaan, mungkin.

Terpujilah para penulis-penulis hebat. Saya berharap bisa menulis sebagus mereka.

Sabtu, 26 Maret 2022

Percakapan Tabu

 “Menurutmu, Kenapa tokoh agama sangat dihormati?” Andik sangat terusik dengan pertanyaan yang telah lama menggantung di kepalanya dan selalu mencari orang yang tepat untuk ditanya dan Ocrio adalah orang yang menurutnya terlalu tepat.


“Ini percakapan panjang,” kata Rio.


“Panjang dan menarik,” jawab Andik.


“Pandangan kita tentang tokoh agama adalah pandangan purba tentang sosok yang harus dihormati sedemikian rupa sebab ia adalah pewaris nabi. Pada titik tertentu, padangan itu terasa seperti glorifikasi dari tokoh yang diidealkan: tokoh agama sosok yang suci; sosok keramat; sosok yang tidak pernah salah. Jika ia berbuat salah, barangkali itu hanya tampak salah, sebab para wali sering melakukan hal melenceng dan kita dipaksa percaya bahwa itu benar belaka.”


Andik mengambil posisi serius mendengar pembuka kalimat itu, dan Rio melanjutkan.


“Keluargaku cukup religius, dan menganggap tokoh agama sebagaimana sosok seperti itu—tidak pernah salah. Pandangan itu dengan mudah aku serap dengan cara kerja mirip doktrin. Dan seperti doktrin, kita sulit keluar darinya karena ada bias desonansi kognitif: Jika kita hidup di lingkungan yang mempercayai sebuah mitos, kita akan menganggap mitos itu nyata.


“Jika kita besar di lingkungan Islam, kita sulit lepas dari kepercayaan Islam. Bagi pemeluk agama lain, Islam tidak rasional karena menyembah batu Kakbah. Bagi Islam, agama lain tidak rasional karena, misalnya, menyembah Diego Maradona. Bagi orang ateis seluruh agama tidak masuk akal. Dan pemeluk agama tidak mudah keluar dari kepercayaan akar. Kesulitan keluar ini bisa disebut desonansi kognitif.”


Rio diam sejenak, memilih kata-kata yang akan ia keluarkan. Sementara Andik tetap khusuk menyimak, bahkan ia terlihat cukup antusias.


“Nah, kepercayaan tentang tokoh agama, juga bekerja seperti desonansi kognitif. Kepercayaan yang aku dapat turun temurun dari keluarga itu bertahan hingga masuk pesantren. Ketika nyantri, ya mudah saja menghormati Kiai sehormat-hormatnya.”


“Tunggu, Rio... kau tidak ingin mengatakan bahwa Kiai tidak perlu dihormati?”


“Setiap orang bisa kita hormati, sesuai dengan apa yang ia lakukan. Dan soal hormat kepada orang lain kadang tidak lebih dari soal kepentingan. Kau masih ingin aku melanjutkan?”


“Aku masih mendengarkan.”


“Suatu ketika, aku menyukai seorang cewek. Dan kebetulan waktu itu aku boleh pegang hp. Aku usaha mendekatinya via chating yang sangat norak, dan disela-sela usaha itu, kadang tugas dari Kiai tiba-tiba muncul. Nah, ketika itulah aku merasa terganggu, sebab kepentinganku jadi terhambat.


“Lepas dari itu, tugasku sehari-hari cuma bantu Kiai, dengan kepercayaan pada barokah. Mungkin itu kepercayaan yang tidak keliru, tetapi aku sudah mulai merasa bodoh dan ingin jadi pintar. Gimana bisa jadi pintar jika kesibukan sehari-hari malah memunggungi pengetahuan? Jadi, kepentinganku terganggu lagi.”


Rio kembali membiarkan hening menyergap, ia menyembunyikan ingatan pahit yang tidak baik dikeluarkan. Lalu ia melanjutkan.


“Kepentingan, itulah kata kuncinya, Ndik. Tiap orang membawa kepentingan masing-masing. Dan semenjak aku paham bahwa kepentinganku sudah berbeda dengan kepentingan Kiai, aku cari cara buat keluar pondok. Dalam usaha keluar itulah, pikiranku terusik: Bagaimana cara melihat apakah pengabdian ini berjalan sebagaimana mestinya, atau aku hanya dimanfaatkan.”


“Maksudmu?”


“Sebagai santri, aku senang-senang saja mengerjakan tugas-tugas dari guru. Tetapi aku tidak pernah tahu, apakah tugasku itu mewakili kepentingan banyak orang, atau hanya kepentingan guruku.”


“Apa bedanya bagimu?”


“Aku hanya terusik, bagaimana jika tokoh agama kita menggunakan privilise mereka untuk hal-hal yang tidak mewakili kepentingan banyak orang? Aku tahu, ini pertanyaan kurang ajar. Tetapi, ayolah. Beberapa orang bisa saja terjebak menggunakan narasi-narasi agama untuk menjaga kepentingan mereka.


“Beberapa guru kadang keras sekali memberi doktrin macam-macam supaya santri ngabdi dengan buta. Sebenarnya tipis sekali perbedaan antara santri nurut dan berontak. Bedanya hanya ketika nilai kepentingan masing-masing sudah saling kontradiktif: santri berontak kadang hanya karena kepentingannya sudah tidak sejalan dengan kepentingan guru.”


“Apakah kepentingan guru dikedepankan dengan alasan ia punya pengetahuan batin?”


“Sepertinya itu persoalan lain lagi. Tetapi apa yang menjamin bahwa kepentingan guru selalu baik untuk muridnya? Jangan-jangan kepentingan visioner si murid lebih baik bagi murid itu sendiri, kan? Tidak ada yang tahu. Sialnya, kadang ada salah satu pihak merasa kepentingannya perlu didahulukan. Bahkan tidak jarang ada guru yang menitipkan narsisme pada muridnya: Ia ingin si murid menjadi hebat karena jasa mereka.”


“Aku mulai mengerti.” Kata Andik. “Dan itu ditekankan kepada murid seolah ia harus membayar hutang budi seumur hidup.”


“Tepat. Itu ditekankan kepada murid seolah ia harus membayar hutang budi seumur hidup.”


Mereka sama-sama menikmati keheningan sejenak. Mencari kesimpulan masing-masing dari percakapan ini.


“Tentu saja aku menghormati mereka,” kata Rio. “Bagaimanapun, mereka orang berilmu. Cuma ketika tujuanku terhambat, aku harus menghindari. Menurutku yang membuat aku berubah dan berpikir seperti ini adalah kesadaran akan kepentingan itu. Dan ditunjang berbagai bacaan, tentu saja. Aku ingin keluar dari pondok sebab sudah ada pergeseran nilai yang aku anut, bahkan sebelum aku mulai baca banyak pemikiran.”


“Karakter pemuka agama sebanyak yang kau tak tahu.”


“Ya. Opiniku hanya tertuju pada pemuka agama tertentu.”