Media sosial membuat saya sadar bahwa kita punya banyak energi untuk membenci; untuk melihat kesalahan orang lain dan menggelindingkannya sedemikian rupa tanpa ampun.
Saat laga melawan
Thailand beberapa bulan lalu, Indonesia kalah telak. Pada leg pertama, Dewangga
mendapat kesempatan untuk mencetak gol. Ia hanya berjarak beberapa meter di
depan gawang lawan setelah mendapat bola dari Witan Sulaeman dan bola yang
Dewangga tendang melambung jauh ke atas. Penyiar televisi menyebut tuhan melalui
teriakan dramatik dan emosional. Menyesali kesempatan emas yang gagal.
Selang beberapa
menit, muncul gambar meme di Twitter yang mendeskripsikan bahwa Dewangga berpikir
gawang lawan ada di langit sehingga ia menendang bola ke atas. Gambar-gambar
lain segera menyusul. Cacian pada Dewangga mengalir keras.
Orang-orang ini
kenapa, pikir saya.
Di lain kesempatan,
Dandhy Laksono mengumumkan seleksi peserta ekspedisi Indonesia Baru. Ia
mendapat banyak kritik karena tidak memberi gaji kepada peserta terpilih,
bahkan setelah melakukan perjalanan setahun penuh. Kritik itu menggelinding ke
berbagai isu hingga membuka kasus kekerasan seksual di mana Farid Gaban—salah
satu tim ekspedisi—diduga membiarkan laporan korban.
Isu terus bergulir
dan ekspedisi batal.
Di luar dua peristiwa
di atas, kita akan melihat orang-orang yang melakukan kesalahan menjadi
bulan-bulanan warga di media sosial. Jika orang yang “dihajar” itu melakukan
kesalahan fatal, mungkin wajar. Tetapi ada juga orang-orang yang melakukan
kesalahan manusiawi, namun tetap menjadi bulan-bulanan orang satu negara.
Dewangga contohnya.
Ia melakukan
kesalahan manusiawi. Tidak semua tendangan harus berbuah gol. Bahkan Messi dan
Ronaldo pernah melakukan kesalahan serupa! Tendangan mereka mengarah ke langit.
Oh, jika dua pemain sepak bola terbaik dunia pernah melakukan kesalahan semacam
itu, artinya semua pemain sepak bola berpotensi melakukan kesalahan yang sama!
Tetapi orang-orang seperti tidak peduli dan menganggap Dewangga telah merugikan
masyarakat dan, sebisa mungkin, menerima caci-maki.
Saya ngeri sendiri,
tiap kali sebuah nama trending di Twitter atau media sosial lain, ada sebuah
kesalahan yang digoreng massa. Dan kadang kesalahan itu manusiawi! Artinya,
kita semua berpotensi untuk menjadi bulan-bulanan masyarakat se-Indonesia. Ya!
Kita semua berpotensi, sebab kita hanya manusia biasa yang bisa berbuat
kesalahan.
Bayangkan ketika
kesalahan kita tertangkap kamera atau diceritakan seseorang di media sosial,
seluruh kebencian dan caci-maki akan mengarah kepada kita. Dan kita seolah diam
tak bisa berkutik. Klarifikasi tidak akan menghilangkan amarah publik, sebab
stigma telah menjadi stempel permanen pada diri kita, seolah kita tidak bisa
berubah.
Apa yang akan kita
lakukan ketika dihujat seluruh rakyat Indonesia? Mungkin perasaan yang akan
mengubah hidup kita selamanya.
Apa yang kira-kira
dirasakan Dewangga? Entah. Apa yang kira-kira dirasakan orang senasib dengan
Dewangga? Entah. Mungkin perasaan yang akan mengubah kehidupan mereka. Selamanya.
Kadang saya berpikir,
jika orang-orang itu bertemu langsung dengan orang-orang yang mereka hujat
secara membabi-buta, apakah kata-kata kasar itu masih akan keluar dengan
lancar? Tiap kali melihat orang bertengkar di Twitter, saya kadang mengajukan
pertanyaan serupa. Beberapa ahli mengatakan mereka tidak akan sekeras itu jika
bertatap muka langsung.
Sebagian mereka
merasa leluasa karena tidak bertemu langsung dan mendapat efek “privat”, di
mana cuitan mereka seolah tidak dilihat secara langsung. Itulah mengapa
kata-kata kasar mudah keluar di media sosial dan jarang kita jumpai di
percakapan sehari-hari.
Oh, well, selamat datang pada dunia penghakiman. Dunia rimba media sosial, di mana orang berbuat salah hampir selalu dikeroyok bersama, dan orang yang menghajar merasa paling benar dan mungkin tak mengira suatu saat ia akan ada di posisi yang sama. Selamat datang pada sisi lain media sosial. Dan jangan lupa kita semua berpotensi berada pada posisi dihajar publik.