Bertahun kemudian aku menangisi kepergianmu, saat
mulai sadar bahwa para saudara dan tetangga memandangku bocah yang perlu
dikasihani dan ditiup kepalanya sebelum diberi uang saat bulan Asyura. Tapi aku
selalu menolak ditiup sembari ditonton semacam itu. penolakan yang tidak banyak
dilakukan anak yatim, dengan satu atau dua alasan. Aku berpikir ritual itu
membuat si anak yatim tampak terintimidasi.
Sebagaian orang merasa perlu bocah-bocah yatim
digiring menuju “altar” dan duduk tertunduk menunggu barisan manusia antre
mengangsurkan uang dengan tiupan. Tidakkah ritual semacam itu membikin
bocah-bocah makin merasa bahwa dirinya menyedihkan? Kehilangan ayah adalah
kesedihan, dan dianggap menyedihkan adalah penumpukan kesedihan. Kasihan betul
anak yatim. Seharusnya orang mulai memikirkan bentuk santunan yang lebih
manusiawi. Bukankan begitu?
Aku merindukanmu, tentu saja maksudku sangat
rindu. Sekarang usiaku hampir matang meski masih cengeng. Kendati demikian, seorang guru di pesantren mengatakan dengan
nada pernyataan sikap—di depan semua wali santri—bahwa anakmu seorang yang
didewasakan oleh masalah semenjak usia 16 tahun, karena berbagai tugas berat yang tidak seharusnya dibebankan kepada bocah remaja.
Memang aku dirintiki beberapa masalah kecil-kecil
yang terus menerus menyerang pertahananku. Kadang aku remuk dibuatnya. Aku tak
bisa mengadu pada ibu, karena saat itu ia sering sakit dan bolak-balik
mengunjungi dokter, dokter paru dan lambung. Jadi, dari pada membikin kesehatan
ibu memburuk karena ocehanku, lebih baik kusimpan sendiri. Pada saat-saat
itulah aku kadang ingin bercerita padamu, duduk bersamamu, membayangkan apa
yang kira-kira kau katakan untuk masalahku. Dan itu tidak mungkin, memang.
Untuk itulah aku menulis surat ini padamu. Aku harap
kau juga rindu anakmu.
Di satu hari yang telah terlupakan, Ibu bercerita aku
pernah minta kuburmu digali, “Aku ingin Ayah balik,” kataku. Sebenarnya aku
lupa pernah mengatakan itu. Ibu yang menceritakan. Sekarang aku tak akan bisa
lupa kalimat yang menyayat Ibu itu.
Ada hal lain yang tak akan kulupakan: di kelas
dua SMP aku memutuskan belajar di pesantren, sebagaimana tradisi keluarga kita.
Sepertinya itu keputusan salah karena aku hanya bertahan tiga hari dan pulang. Tak
ada yang boleh menghalangi karena hidup di pesantren ternyata menyiksa. Ibu
menuruti meski ia sangat marah dan tak bertegur sapa denganku.
Satu tahun kemudian aku kembali lagi tinggal di
pesantren dan kali ini pesantren baru dan untuk kali kedua aku hanya bertahan beberapa
hari. Aku pulang lagi. Ibu kembali "marah", juga Kakak. Hanya Nenek dan Kakek yang bersimpati di saat famili kecewa
padaku. Mereka berdua memberi pelukan, uang, dan sesekali pijitan untuk
menenangkan. “Kau tak usah pulang, di rumah ini saja,” kata Nenek. Aku tak
ingat kapan dua malaikat ini marah padaku. Mereka tak pernah marah padaku, sampai
tubuh mereka terpaksa aku saksikan masuk ke bumi.
Singkat cerita, aku kembali masuk pesantren dan
berhasil adaptasi. Tapi gara-gara sering berhenti tahun sebelumnya, pendidikan
formalku berantakan, aku putus sekolah di tingkat SMP. Kakek menyarankan pada
Kiai untuk memberiku tugas-tugas informal, karena tak sekolah.
Ibu tenang karena aku sudah betah di pesantren. Katanya: “Nak, aku tak bisa bayangkan kalau kau tak di pesantren, betapa kecewa
Ayahmu, ia pernah berpesan padaku untuk menjaga pendidikanmu. Kau tahu, dulu
ayahmu berniat mengirim anak-anaknya belajar di luar negeri.” Jadi kau ingin
anaknya menjadi pembelajar? Itu bagus sekali!
Tapi sayang, di pesantren aku tak sibuk
belajar. Aku sibuk mengabdi dengan dan mengerjakan semua tugas berat. Saat pagi buta aku pergi ke pasar untuk belanja, kemudian masak untuk
para santri, memastikan mereka sarapan sebelum berangkat sekolah. Kau tahu, aku kadang ingin sekolah seperti mereka. Tapi aku hanya bisa bertugas
menyiapkan makanan mereka, aku seolah menjadi ayah di usia remaja.
Tahun kedua di pesantren aku ditunjuk jadi pengurus,
di tahun yang sama Kiai menambah tugas lain: melayani jamaah haji. Di tahun
berikutnya: mengurus koperasi. Jadi, alih-alih sibuk belajar, tiap hari
aku pusing mengatur dapur pesantren dan uang belanja, melayani jamaah haji,
memastikan koperasi berjalan lancar, dan harus menjadi supir setiap saat
dibutuhkan Kiai.
Aku tak punya mental sepertimu, kau sendiri yang
bilang bahwa aku cengeng, dan tentu saja menghadapi semua itu di usia remaja
kerap membuat mataku menghangat dan menjatuhkan air. Hidup memang keras,
pikirku, tapi apa harus sedini ini dikerasi? Padahal, saat itu banyak
senior yang mampu. Mereka semua seolah menutup mata pada problem di pesantren
yang aku tangani.
Aku sudah abai tentang pendidikan saat itu,
bahkan pendidikan wajib diniyah pun aku tak rampung.
Kadang pikiran nakalku bertanya, apakah pesantren ini harus dijalankan tanpa standar yang jelas dan tanpa pengawasan langsung dari dewan pengasuh? Entah. Itu pertanyaan menggelitik
hingga sekarang.
Apa pendapatmu tentang kondisi pendidikanku? Kau
dulu melarangku mondok di tempatmu mondok dengan alasan—yang belakangan Ibu
ceritakan kauberucap, “Aku khawatir bocah itu disuruh meneruskan pengabdianku,
bocah itu tak akan kuat.”
Tapi toh pendidikan pesantrenku hanya
replika dari pengabdianmu, yang kau upayakan tak terjadi padaku. Sekarang aku
paham, kau ingin anakmu benar-benar menjadi pembelajar, bukan? Aku juga
berpikiran sama untuk anakku kelak. Aku tak akan mengizinkan ia sibuk apapun
kecuali belajar. Tentu jika takdir menghendaki aku punya anak.
Aku berpikir semua masalahku itu akan menguap jika
kau masih ada. Mungkin aku bisa mendapat pendidikan yang lebih baik,
sebagaimana kau kehendaki. Mungkin di pondok dulu aku tak sibuk mencari uang buat
beli motor tanpa sepengetahuan Ibu. Mungkin aku tak perlu berhemat di pondok sedemikian
keras hingga sering kelaparan di tengah malam. Dan tubuhku masih kurus sebagaimana tubuh masa kecilku ketia kau masih ada.
Kadang aku merindukan punggungmu, aku bisa mendapat
pijakan untuk sekedar tidak khawatir soal kesejahteraan. Oke, ini memang menyedihkan, aku jadi mudah
menyalahkan nasib yang mengambilmu terlalu cepat dari hidupku, dan aku
menghendaki kehadiranmu sejauh itu menguntungkanku. Pemikir sekarang menyebut
itu narsisme.
Maaf, tapi aku menganggap demikian karena Ayahku
adalah engkau: seorang yang waktu itu sudah aku anggap mapan; yang mencurahkan
semua daya untuk kelayakan hidup keluarga. Dan semua fasilitas yang engkau
berikan saat itu membuat keluargamu hidup tenang. Selalu lebih dari cukup.
Sekarang aku sudah kuliah, setelah berusaha keras mengejar ketertinggalan melalui berbagai cara. Tidak banyak hal
menarik terkait pembelajaran diri di kampus, aku banyak menyusun kurikulum
sendiri dan mengerjakannya mati-matian. Semua terasa sukar karena aku masih
tetap dengan kesibukan melayani orang lain sedemikian rupa. Sering aku harus menjinjing laptop ketika bertugas. Sesaat setelah hendak eksekusi tugas dan belajar, mataku sudah lejar karena
mengemudi jauh.
Tentu saja itu mulia, atau menggunakan ungkapan umum:
berkah. Tapi pengalaman hidupku membuat narasi demikian terdengar klise. Kadang
sedikit muak, tapi aku tak pernah berani cerita blak-blakan pada siapa pun,
karena mereka tidak pernah punya pengalaman yang sama.
Kau mungkin setuju, bahwa pengalaman adalah satu
hal, sedang memaknai pengalaman adalah hal lain. Orang mengalami dan merasakan
perih dengan caranya sendiri, orang melewati rintangan dan ujian dengan caranya
sendiri. Dan pengalamanku mengajarkan bahwa adalah egois memaksakan pemaknaan
kita atas pengalaman orang lain. aku tidak pernah memaksakan pemaknaanku pada
orang, tapi mereka tidak bisa menahan opininya terhadap pengalamanku,
terutama soal bagaimana menyikapi beban di pesantren.
Pengalaman orang lain di pesantren mungkin
menyenangkan, setidaknya dalam arti mereka menjadi santri “normal”. Tapi
masalahnya tidak semua santri hidup dengan lingkungan “menyenangkan”, beberapa
santri, yang mungkin jumlahnya sangat sedikit, mengalami “siksaan” tertentu.
Kupikir hanya kau yang paham.
Mungkin kondisi ideal tentang belajar tak akan pernah
diraih manusia, eh? Entahlah, aku pernah ingin berpesan pada entah
siapa yang mengurusku di hari tua, “Tolong kalau aku meninggal, di batu nisanku
tulislah: di sini terbaring orang yang ingin belajar dengan tenang, namun tak
pernah bisa.”
Oh, tapi
usiaku mungkin masih akan panjang dan aku bisa mengupayakan di sisa umur untuk
menghapus wasiat itu.
Baiklah, menyenangkan bisa menulis surat padamu. Surat ini mungkin konyol, tapi cukup mengobati rinduku. Masih banyak hal
yang ingin aku ceritakan, mungkin lain kali aku akan mengirim surat padamu. Lagi.
Oya, datanglah pada mimpiku.