Selasa, 24 Maret 2020

Surat untuk Ayah

Sudah masuk tahun ke-14 sejak aku—dengan kepolosan bocah 10 tahun—gembira engkau berpulang, Ayah. Kadang bocah terlalu bergembira tentang apa pun dan tak pernah berpikir masa dewasa yang menyebalkan merangkak datang. Jadi, maafkan aku mengantar kepergianmu dengan riang sebab tak akan ada lagi seorang ayah marah anaknya melototi TV seperti dua kutub magnet yang terhubung.

Bertahun kemudian aku menangisi kepergianmu, saat mulai sadar bahwa para saudara dan tetangga memandangku bocah yang perlu dikasihani dan ditiup kepalanya sebelum diberi uang saat bulan Asyura. Tapi aku selalu menolak ditiup sembari ditonton semacam itu. penolakan yang tidak banyak dilakukan anak yatim, dengan satu atau dua alasan. Aku berpikir ritual itu membuat si anak yatim tampak terintimidasi.

Sebagaian orang merasa perlu bocah-bocah yatim digiring menuju “altar” dan duduk tertunduk menunggu barisan manusia antre mengangsurkan uang dengan tiupan. Tidakkah ritual semacam itu membikin bocah-bocah makin merasa bahwa dirinya menyedihkan? Kehilangan ayah adalah kesedihan, dan dianggap menyedihkan adalah penumpukan kesedihan. Kasihan betul anak yatim. Seharusnya orang mulai memikirkan bentuk santunan yang lebih manusiawi. Bukankan begitu?

Aku merindukanmu, tentu saja maksudku sangat rindu. Sekarang usiaku hampir matang meski masih cengeng. Kendati demikian, seorang guru di pesantren mengatakan dengan nada pernyataan sikap—di depan semua wali santri—bahwa anakmu seorang yang didewasakan oleh masalah semenjak usia 16 tahun, karena berbagai tugas berat yang tidak seharusnya dibebankan kepada bocah remaja.

Memang aku dirintiki beberapa masalah kecil-kecil yang terus menerus menyerang pertahananku. Kadang aku remuk dibuatnya. Aku tak bisa mengadu pada ibu, karena saat itu ia sering sakit dan bolak-balik mengunjungi dokter, dokter paru dan lambung. Jadi, dari pada membikin kesehatan ibu memburuk karena ocehanku, lebih baik kusimpan sendiri. Pada saat-saat itulah aku kadang ingin bercerita padamu, duduk bersamamu, membayangkan apa yang kira-kira kau katakan untuk masalahku. Dan itu tidak mungkin, memang.

Untuk itulah aku menulis surat ini padamu. Aku harap kau juga rindu anakmu.

Di satu hari yang telah terlupakan, Ibu bercerita aku pernah minta kuburmu digali, “Aku ingin Ayah balik,” kataku. Sebenarnya aku lupa pernah mengatakan itu. Ibu yang menceritakan. Sekarang aku tak akan bisa lupa kalimat yang menyayat Ibu itu.

Ada hal lain yang tak akan kulupakan: di kelas dua SMP aku memutuskan belajar di pesantren, sebagaimana tradisi keluarga kita. Sepertinya itu keputusan salah karena aku hanya bertahan tiga hari dan pulang. Tak ada yang boleh menghalangi karena hidup di pesantren ternyata menyiksa. Ibu menuruti meski ia sangat marah dan tak bertegur sapa denganku.

Satu tahun kemudian aku kembali lagi tinggal di pesantren dan kali ini pesantren baru dan untuk kali kedua aku hanya bertahan beberapa hari. Aku pulang lagi. Ibu kembali "marah", juga Kakak. Hanya Nenek dan Kakek yang bersimpati di saat famili kecewa padaku. Mereka berdua memberi pelukan, uang, dan sesekali pijitan untuk menenangkan. “Kau tak usah pulang, di rumah ini saja,” kata Nenek. Aku tak ingat kapan dua malaikat ini marah padaku. Mereka tak pernah marah padaku, sampai tubuh mereka terpaksa aku saksikan masuk ke bumi.

Singkat cerita, aku kembali masuk pesantren dan berhasil adaptasi. Tapi gara-gara sering berhenti tahun sebelumnya, pendidikan formalku berantakan, aku putus sekolah di tingkat SMP. Kakek menyarankan pada Kiai untuk memberiku tugas-tugas informal, karena tak sekolah.

Ibu tenang karena aku sudah betah di pesantren. Katanya: “Nak, aku tak bisa bayangkan kalau kau tak di pesantren, betapa kecewa Ayahmu, ia pernah berpesan padaku untuk menjaga pendidikanmu. Kau tahu, dulu ayahmu berniat mengirim anak-anaknya belajar di luar negeri.” Jadi kau ingin anaknya menjadi pembelajar? Itu bagus sekali!

Tapi sayang, di pesantren aku tak sibuk belajar. Aku sibuk mengabdi dengan dan mengerjakan semua tugas berat. Saat pagi buta aku pergi ke pasar untuk belanja, kemudian masak untuk para santri, memastikan mereka sarapan sebelum berangkat sekolah. Kau tahu, aku kadang ingin sekolah seperti mereka. Tapi aku hanya bisa bertugas menyiapkan makanan mereka, aku seolah menjadi ayah di usia remaja.

Tahun kedua di pesantren aku ditunjuk jadi pengurus, di tahun yang sama Kiai menambah tugas lain: melayani jamaah haji. Di tahun berikutnya: mengurus koperasi. Jadi, alih-alih sibuk belajar, tiap hari aku pusing mengatur dapur pesantren dan uang belanja, melayani jamaah haji, memastikan koperasi berjalan lancar, dan harus menjadi supir setiap saat dibutuhkan Kiai.

Aku tak punya mental sepertimu, kau sendiri yang bilang bahwa aku cengeng, dan tentu saja menghadapi semua itu di usia remaja kerap membuat mataku menghangat dan menjatuhkan air. Hidup memang keras, pikirku, tapi apa harus sedini ini dikerasi? Padahal, saat itu banyak senior yang mampu. Mereka semua seolah menutup mata pada problem di pesantren yang aku tangani.

Aku sudah abai tentang pendidikan saat itu, bahkan pendidikan wajib diniyah pun aku tak rampung.

Kadang pikiran nakalku bertanya, apakah pesantren ini harus dijalankan tanpa standar yang jelas dan tanpa pengawasan langsung dari dewan pengasuh? Entah. Itu pertanyaan menggelitik hingga sekarang.

Apa pendapatmu tentang kondisi pendidikanku? Kau dulu melarangku mondok di tempatmu mondok dengan alasan—yang belakangan Ibu ceritakan kauberucap, “Aku khawatir bocah itu disuruh meneruskan pengabdianku, bocah itu tak akan kuat.”

Tapi toh pendidikan pesantrenku hanya replika dari pengabdianmu, yang kau upayakan tak terjadi padaku. Sekarang aku paham, kau ingin anakmu benar-benar menjadi pembelajar, bukan? Aku juga berpikiran sama untuk anakku kelak. Aku tak akan mengizinkan ia sibuk apapun kecuali belajar. Tentu jika takdir menghendaki aku punya anak.

Aku berpikir semua masalahku itu akan menguap jika kau masih ada. Mungkin aku bisa mendapat pendidikan yang lebih baik, sebagaimana kau kehendaki. Mungkin di pondok dulu aku tak sibuk mencari uang buat beli motor tanpa sepengetahuan Ibu. Mungkin aku tak perlu berhemat di pondok sedemikian keras hingga sering kelaparan di tengah malam. Dan tubuhku masih kurus sebagaimana tubuh masa kecilku ketia kau masih ada.

Kadang aku merindukan punggungmu, aku bisa mendapat pijakan untuk sekedar tidak khawatir soal kesejahteraan. Oke, ini memang menyedihkan, aku jadi mudah menyalahkan nasib yang mengambilmu terlalu cepat dari hidupku, dan aku menghendaki kehadiranmu sejauh itu menguntungkanku. Pemikir sekarang menyebut itu narsisme.

Maaf, tapi aku menganggap demikian karena Ayahku adalah engkau: seorang yang waktu itu sudah aku anggap mapan; yang mencurahkan semua daya untuk kelayakan hidup keluarga. Dan semua fasilitas yang engkau berikan saat itu membuat keluargamu hidup tenang. Selalu lebih dari cukup.

Sekarang aku sudah kuliah, setelah berusaha keras mengejar ketertinggalan melalui berbagai cara. Tidak banyak hal menarik terkait pembelajaran diri di kampus, aku banyak menyusun kurikulum sendiri dan mengerjakannya mati-matian. Semua terasa sukar karena aku masih tetap dengan kesibukan melayani orang lain sedemikian rupa. Sering aku harus menjinjing laptop ketika bertugas. Sesaat setelah hendak eksekusi tugas dan belajar, mataku sudah lejar karena mengemudi jauh.

Tentu saja itu mulia, atau menggunakan ungkapan umum: berkah. Tapi pengalaman hidupku membuat narasi demikian terdengar klise. Kadang sedikit muak, tapi aku tak pernah berani cerita blak-blakan pada siapa pun, karena mereka tidak pernah punya pengalaman yang sama.

Kau mungkin setuju, bahwa pengalaman adalah satu hal, sedang memaknai pengalaman adalah hal lain. Orang mengalami dan merasakan perih dengan caranya sendiri, orang melewati rintangan dan ujian dengan caranya sendiri. Dan pengalamanku mengajarkan bahwa adalah egois memaksakan pemaknaan kita atas pengalaman orang lain. aku tidak pernah memaksakan pemaknaanku pada orang, tapi mereka tidak bisa menahan opininya terhadap pengalamanku, terutama soal bagaimana menyikapi beban di pesantren.

Pengalaman orang lain di pesantren mungkin menyenangkan, setidaknya dalam arti mereka menjadi santri “normal”. Tapi masalahnya tidak semua santri hidup dengan lingkungan “menyenangkan”, beberapa santri, yang mungkin jumlahnya sangat sedikit, mengalami “siksaan” tertentu.

Kupikir hanya kau yang paham.

Mungkin kondisi ideal tentang belajar tak akan pernah diraih manusia, eh? Entahlah, aku pernah ingin berpesan pada entah siapa yang mengurusku di hari tua, “Tolong kalau aku meninggal, di batu nisanku tulislah: di sini terbaring orang yang ingin belajar dengan tenang, namun tak pernah bisa.”

 Oh, tapi usiaku mungkin masih akan panjang dan aku bisa mengupayakan di sisa umur untuk menghapus wasiat itu.

Baiklah, menyenangkan bisa menulis surat padamu. Surat ini mungkin konyol, tapi cukup mengobati rinduku. Masih banyak hal yang ingin aku ceritakan, mungkin lain kali aku akan mengirim surat padamu. Lagi.

Oya, datanglah pada mimpiku.