Seorang guru pernah berucap,
“cara mengingat ilmu adalah dengan mengajar.” Dan suatu ketika saya mengajar
kawan-kawan SD--untuk beberapa waktu, tanpa mengingat apapun ilmu tingkat SD.
Ingin saya berucap, “cara mengingat ilmu adalah dengan menyontek”.
Well, jadi saya menatap
penghuni kelas itu dengan wajah bingung. Dingin. Pada momen seperti pecundang
itu, saya seperti ingin menyalahkan banyak orang: diri saya sendiri yang tak
pandai mengingat pelajaran; hingga sekolah SD dulu yang saya pikir tak mengajarkan
hal relevan dalam kehidupan sehari-hari. Yang kedua tentu tak ada hubungannya,
tapi begitulah hasrat ketika kalang kabut: mencari-cari kesalahan.
Seketika muncul ide untuk
membuat diri tak tampak bingung: memberi soal matematika. Soal yang dulu saya
butuh waktu lama mengerjakannya. Dengan kapur seadanya itu, saya tulis sepuluh
soal. “adik-adik, silakan kerjakan soal ini.”
“Boleh nyontek, Kak?” tanya seorang murid dengan nada bercanda.
“Silakan kerjakan bersama.”
Jawab saya.
Pertanyaan itu muncul
barangkali karena ia merasa matematika bukan pelajaran yang bersahabat. Dan
ketika berhadapan dengannya, seorang anak kerap merasa apa yang dikatakan
Tagore: sekolah adalah “siksaan tak tertahankan.”
Saat melihat mereka
mengerjakan bersama, atau saling contek itu, memicu bayangan betapa pemandangan
ini akan membuat guru kebanyakan marah. Marah karena, nyontek melanggar “adab”
belajar yang baik. Ia melompati proses "barsakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian". Namun yang jadi soal—kata Goenawan Mohamad—bagaimana
menghubungkan “bersakit-sakit” itu dengan masa depan? Dengan kelak? Bagi orang
yang tak berkecimpung dengan rumus seperti saya, latihan tak mencontek itu soal
kepatuhan sesaat.
Usia dewasa mungkin adalah
saat di mana rumus sudah meluap dari ingatan, dan untuk mengingat cukup melihat
buku petunjuk. Untuk menghitung di saat mendesak cukup gunakan kalkulator.
Dengan kata lain, tak selamanya nyontek berarti buruk. Di kehidupan sehari-hari
ia nyaris niscaya.
Adalah konyol jika saya butuh informasi dan berusaha mengingat tanpa membuka catatan atau buku. Kecuali jika saya memiliki memori eidetik seperti Scoot Hagwood. Congkak jika saya, dalam ikhtiar menginput pengetahuan, tak bertanya pada yang lebih tahu.
Pada titik itu, sungguh
menakjubkan sebenarnya bagaimana sekolah berusaha melarang contek-mencontek.
Dan betapa banyak latihan di sekolah tak memiliki relevansi saat dewasa.
Barangkali, contek-mencontek melahirkan mental negatif. Tapi yang sukar dari
pengetahuan yang di dapat dari menyontek adalah, mengubahnya menjadi kearifan
tersendiri. Tak mudah, memang, karena kearifan itu bertaut langsung dengan
penghayatan pribadi.
Ah, nampaknya saya terlalu
mengada-ada, tentu saja itu apologi karena tak mampu mengajar dengan baik. Dan
dan pada momen apologis ini, ada rasa bergidik muncul, seorang guru bukan hanya
ia yang mendapat ladang pahala karena mengajar, ia juga orang yang kemungkinan
mendapat banyak dosa karena cara mengajarnya buruk, hingga menghambat banyak
potensi anak yang sebenarnya cerdas.
Jadi, yang saya dapat dari
mengajar adalah menyadari betapa sangat jauh diri ini dari kata pintar.