Jumat, 27 September 2019

Yang Saya Dapat dari Mengajar


Seorang guru pernah berucap, “cara mengingat ilmu adalah dengan mengajar.” Dan suatu ketika saya mengajar kawan-kawan SD--untuk beberapa waktu, tanpa mengingat apapun ilmu tingkat SD. Ingin saya berucap, “cara mengingat ilmu adalah dengan menyontek”.

Well, jadi saya menatap penghuni kelas itu dengan wajah bingung. Dingin. Pada momen seperti pecundang itu, saya seperti ingin menyalahkan banyak orang: diri saya sendiri yang tak pandai mengingat pelajaran; hingga sekolah SD dulu yang saya pikir tak mengajarkan hal relevan dalam kehidupan sehari-hari. Yang kedua tentu tak ada hubungannya, tapi begitulah hasrat ketika kalang kabut: mencari-cari kesalahan.

Seketika muncul ide untuk membuat diri tak tampak bingung: memberi soal matematika. Soal yang dulu saya butuh waktu lama mengerjakannya. Dengan kapur seadanya itu, saya tulis sepuluh soal. “adik-adik, silakan kerjakan soal ini.” 

“Boleh nyontek, Kak?” tanya seorang murid dengan nada bercanda.

“Silakan kerjakan bersama.” Jawab saya.

Pertanyaan itu muncul barangkali karena ia merasa matematika bukan pelajaran yang bersahabat. Dan ketika berhadapan dengannya, seorang anak kerap merasa apa yang dikatakan Tagore: sekolah adalah “siksaan tak tertahankan.”

Saat melihat mereka mengerjakan bersama, atau saling contek itu, memicu bayangan betapa pemandangan ini akan membuat guru kebanyakan marah. Marah karena, nyontek melanggar “adab” belajar yang baik. Ia melompati proses "barsakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Namun yang jadi soal—kata Goenawan Mohamad—bagaimana menghubungkan “bersakit-sakit” itu dengan masa depan? Dengan kelak? Bagi orang yang tak berkecimpung dengan rumus seperti saya, latihan tak mencontek itu soal kepatuhan sesaat.

Usia dewasa mungkin adalah saat di mana rumus sudah meluap dari ingatan, dan untuk mengingat cukup melihat buku petunjuk. Untuk menghitung di saat mendesak cukup gunakan kalkulator. Dengan kata lain, tak selamanya nyontek berarti buruk. Di kehidupan sehari-hari ia nyaris niscaya.

Adalah konyol jika saya butuh informasi dan berusaha mengingat tanpa membuka catatan atau buku. Kecuali jika saya memiliki memori eidetik seperti Scoot Hagwood. Congkak jika saya, dalam ikhtiar menginput pengetahuan, tak bertanya pada yang lebih tahu.

Pada titik itu, sungguh menakjubkan sebenarnya bagaimana sekolah berusaha melarang contek-mencontek. Dan betapa banyak latihan di sekolah tak memiliki relevansi saat dewasa. Barangkali, contek-mencontek melahirkan mental negatif. Tapi yang sukar dari pengetahuan yang di dapat dari menyontek adalah, mengubahnya menjadi kearifan tersendiri. Tak mudah, memang, karena kearifan itu bertaut langsung dengan penghayatan pribadi.

Ah, nampaknya saya terlalu mengada-ada, tentu saja itu apologi karena tak mampu mengajar dengan baik. Dan dan pada momen apologis ini, ada rasa bergidik muncul, seorang guru bukan hanya ia yang mendapat ladang pahala karena mengajar, ia juga orang yang kemungkinan mendapat banyak dosa karena cara mengajarnya buruk, hingga menghambat banyak potensi anak yang sebenarnya cerdas.

Jadi, yang saya dapat dari mengajar adalah menyadari betapa sangat jauh diri ini dari kata pintar.

Minggu, 15 September 2019

Ta'lim al-Muta'allim Untuk Guru


Ada yang mengherankan soal “menghormati” di Desa Winong, tempat saya KKN. Fenomena itu nyaris saya saksikan di banyak tempat: seorang dengan umur 20 tahun, akan santai memanggil orang tua dengan nama julukan—yang sebenarnya berkonotasi negatif. “Walah, Mbloh, maculmu kok lemes.” Begitu kata Mas Bino (bukan nama sebenarnya) pada Pak Sukar, pemilik warung yang gemar bercanda ini dipanggil Mbloh.

Di banyak tempat, juga di tempat asal saya, hal itu akan lumrah jika saling dilakukan orang seumuran. Dan adalah tidak sopan memanggil orang tua dengan nama julukan. Karenanya, Winong seolah anomali dari penghormatan yang jamak.

Hormat adalah bahasan yang banyak mengambil porsi dalam hampir semua budaya dan agama. Buku soal kesopanan-menghormati banyak ditulis. Bahkan katanya, seorang Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak. Menyempurnakan tingkah laku.


Tapi apa sebenarnya ahklak itu?


Guru agama di pesantren mungkin akan menjawab: akhlak adalah keharusan kita bersikap santun pada guru; keharusan kita bersikap ta’dzim pada orang tua. Biasanya, kitab yang dikaji soal kesopanan ini bernama ta’lim al-muta’allim, karya al-Zarnuji. Salah satu adab pada guru yang saya ingat tertulis dalam buku itu: saat bertamu pada guru, seorang murid harus melepas kaki beberapa langkah sebelum sampai di kediamannya.


Saya tak tahu cara menghubungkan  nilai etika itu dalam konteks sekarang, serta dari mana agaknya hal semacam itu didasari. Tapi begitulah katanya tabiat manusia: ia membentuk makna di dalam pelbagai tindakan mereka, agar tindakan itu “seolah” memiliki tujuan.


Dan makna, kita tahu, kerap dibangun dari fiksi. Ia tak terbangun dari realitas yang melekat pada manusia. Mudah membuktikan ini: jika tubuh kita dibedah, kata Hamid Basyaib, yang nampak adalah ginjal, jantung, paru-paru. Tak ada martabat. Tak ada hak asasi. Maka, martabat dan sebagainya itu fiksi.


Kita tak bisa mengelak darinya. Fiksi diciptakan untuk mengisi kekosongan dalam kehidupan manusia. Ia juga berfungsi dengan baik pada banyak hal. Uang, misalnya, termasuk fiksi yang membantu manusia bertransaksi. Uang dalam hal ini hanyalah fiksi yang kita yakini bersama memiliki nilai tertentu. Tanpa kesepakatan semacam itu, dari mana logisnya, sebuah rumah megah dapat ditukar hanya dengan setumpuk kertas yang mudah dibakar itu.


Kembali pada “menghormati”, sebagaimana jamaknya, kita diberi tahu bahwa cara A adalah menghormati yang baik. Cara B adalah durhaka. Yang jadi soal adalah, ketimpangan bahwa hanya seorang murid atau anak yang harus “ber-akhlak” pada orang tua atau guru, seorang bawahan yang harus manggut-manggut kepalanya di depan atasan. Padahal kita tahu, semakin posisi kita tinggi, semakin kita bisa mengatur bawahan dengan leluasa. Dengan kata lain, menjaga kontrol diri untuk bersikap baik di depan murid atau bawahan, jauh lebih sulit dari bersikap baiknya seorang murid pada guru atau orang tua.


Bagi saya, puncak akhlak adalah seperti yang dikatakan orang bijak dari abad ke abad, termasuk oleh Nabi Muhammad sendiri: perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan. Melihat dan berinteraksi dengan orang yang mampu melakukan itu, saya menaruh hormat sedalam-dalamnya. Karena ia akan memperlakukan manusia lain sebagaimana mestinya. pendek kata, ia telah memanusiakan manusia. Tak peduli berapa umurnya. Tak peduli apa statusnya. Tak peduli tetek bengek lainnya.


Pada titik ini, pikiran nakal saya menyimpulkan: jangan-jangan, kitab al-Zarnuji itu secara substansial bukan ditujukan untuk murid/anak, tapi pada guru/orang tua. Jangan-jangan, orang Winong sudah memahami maksud substansial ini, dan sedikit melangkah lebih maju dari pada pemahaman di tempat lain, bahkan pesantren sekalipun.

Di Sebuah Gedung

Aku berdiri dengan jumawa, meletakkan kedua tangan di belakang punggung. Dalam hati berkata, "Tuhan... di mana kau sembunyikan Mbakyu?"