Senin, 22 April 2019

Penuh Masalah

Saya melihat tubuh ringkih dengan wajah murung di salah satu sudut Twin Tower yang paling sepi. Siang hari. Di tangannya terbuka buku tebal. Dari covernya yang elegan, saya tahu itu buku karya Yuval Noah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Matanya tampak menyapu halaman 30 atau 50-an, mungkin ia membaca tentang revolusi kognitif, atau otaknya sedang melamun di tempat amat jauh. Mungkin.

Itu pemandangan yang melegakan. Pada hiruk-pikuk mainan gawai, ada yang menyisihkan waktu menyepi untuk membaca buku. Di tengah derasnya ajakan ngopi—yang konon syarat diskusi namun ternyata isi omong kosong—masih ada yang memilih khusuk belajar.

Semua maklum akan setumpuk manfaat belajar, sembari tetap membuang banyak waktu pada gawai—untuk berstory ria atau lainnya. Tak jauh beda dengan tahu bahwa ada tetangga lapar, sembari tetap menyantap banyak nasi kebuli, roti, soto, atau mie ayam dengan cakar. Tugas pemilik banyak makanan mungkin berbagi, karena mampu. Tugas pelajar mungkin memprioritaskan belajar atas kenikmatan bermain yang lain. Barangkali.

Siapa pun orang hebat pasti telah melalui proses belajar. Dan kemungkinan proses itu akan begitu membekas hingga menyarankan pada orang lain agar bermanfaat. Saya pernah mengikuti pelatihan menulis, workshop penelitian ilmiah, penelitian kualitatif, dan semacamnya. Hampir semua tutor menginstruksikan pola dasar yang sama: banyak membaca, banyak diskusi, banyak melatih skil menulis, yang sederhananya bisa disingkat menjadi dua kata: rajin belajar.

Rajin belajar. Itu kata kuncinya. Klise sekali. Tapi begitulah kenyataannya. Pengalaman saya yang mblegedes sepertinya menyetujui hal itu. mengikuti kajian metodologi penelitian tak menyulap saya menjadi peneliti sehandal Prof. Azyumardi Azra. Mengikuti pelatihan menulis tak menyulap saya menyusun karya secemerlang Sidney Sheldon.

Bahwa pelatihan semacam itu menyajikan langkah praktis dan benar, saya setuju. Dan saya juga mengangguk, pelatihan  itu menuntut keterlibatan aktif kita dalam mengasah ketekunan belajar. Dengan kata lain, kita bisa membaca buku dengan judul semacam how to, tapi kita perlu menyelami pengalaman, meresapi, berkaca, dan pelan-pelan membentuk hasil. demikian tulis Goenawan Mohamad.

Pada titik itu, barangkali kampus bukan cuma gedung pencetak manusia berotak pandai, ia akan lebih bermakna jika membangun pendidikan edukatif yang membuat peserta didik cinta belajar. Tapi mungkin itu mimpi yang minta diwujudkan dari waktu ke waktu. Tak pernah nyata.

Masalahnya, banyak tutor yang menjelaskan pentingnya sinau  dengan sedikit nada olok-olok. “Pelajar tanpa membaca,” kata seorang dosen suatu hari, “susah merumuskan masalah penelitian, karena hidupnya sendiri sudah masalah.” Saya terdiam mendengar itu sembari berpikir bahwa semua orang sudah paham hal itu: betapa membaca sebenarnya penting menunjang proses belajar--untuk tidak mengatakan itu adalah keniscayaan. Tapi, tak pernah ada upaya serius dari kampus untuk membuat iklim cinta belajar itu sendiri. Jadi tugas kampus itu apa? Menarik biaya yang mahal? Dan mengolok mahasiswa yang tak rajin belajar? Tanpa membimbing dengan edukatif?

Jangan-jangan, kampus itu jaya karena mahasiswa yang tekun belajar mandiri. Jangan-jangan, kampus tak cakap menempa anak-anaknya untuk gemar menatap bacaan.

Ada yang salah dengan pendidikan Indonesia, sejak SD hingga SMA siswa mendapat pelajaran Bahasa Inggris, namun ketika masuk kampus tak mampu bercakap dengan bahasa itu. siapa yang salah? Jokowi? Donal Trump? Oh, mungkin jangkrik di sawah bisa jadi kambing hitam. Alasannya dipikir belakang.

Kita kebingungan mengurai problem pendidikan itu, karena hampir semua ceruk-ceruk mengandung persoalan. ceruk lingkungan menyumbang hal itu: pelajar yang membaca buku di depan kelas akan segera diolok-olok temannya sebagai bocah yang sok rajin, sok pintar, dan segenap sok saudaranya. Kalau di sekolah atau kampus sudah umum hal demikian, kita tak bisa berharap tukang becak yang sepi pelanggan rajin belajar.

Akibatnya tak ada yang menjadikan rutinitas belajar sebagai prioritas. Tapi tak perlu khawatir, pertanyaan menohok dari dosen banyak efektif membuat mahasiswa segera membuka buku: apa judul penelitian skripsimu?

Sistem pembelajaran di kampus mungkin salah, lingkungan mahasiswa mungkin salah. Yang jelas salah adalah saya yang mengolok-olok semuanya hingga tampak sok suci.

Satu-satunya yang mungkin benar adalah bocah pembaca buku Yuval Noah Harari di pojok gedung sepi tanpa ribut-ribut.