Ketika seorang tiba-tiba mendapat
sesuatu yang baik, ia akan menyebutnya sebagai keberuntungan. Sebaliknya, ia
akan menyebut kesialan jika mendapat sesuatu yang buruk. Dan saya mendapat
sesuatu, tapi tak pernah yakin apakah itu keberuntungan atau kesialan.
So, apa yang saya dapat? Saya mulai
dari awal.
Saya suka menulis, umumnya tentang
lalu-lalang pikiran setelah melihat kejadian sehari-hari. Karenanya, cukup
banyak catatan harian di laptop, yang menjadi konsumsi privat saya. Meski
kebanyakan bukan mengenai hal penting, saya suka ketika kembali membaca catatan
demi catatan, kau tahu, rasanya seperti melihat perkembangan pikiran diri
sendiri. Dari yang naif, culun, konyol, egois, apatis, sok bijak.
Sebenarnya, menulis bagi saya
berfungsi sebagai curhat. Entah curhat pada siapa. Karena, di dunia yang penuh
tetek-bengek ini, saya tak banyak memiliki teman, terlebih yang mau mendengar
dengan tulus masalah yang saya alami. Oh, well, lagi pula, kawan saya memiliki
sekian lusin masalah pribadi, tak elegan jika saya malah menimpali dengan
ocehan masalah saya. Karenanya, alih-alih mencari kawan untuk mendengar isi
kemelut hati, lebih baik saya ngoceh di atas keyboard.
Jadi, secuil latar belakang itu,
mendorong saya untuk sering nulis. Kebiasaan itu mulai saya tekuni tiga tahun
lalu. Tepatnya ketika awal masuk kuliah. Dunia kampus memaksa saya untuk
terbiasa menulis, terutama yang berkaitan dengan tugas makalah. Sebelumnya,
saya tak pernah tahu bagaimana merangkai kata menjadi kalimat, dari kalimat
menjadi paragraf. Bahkan, saya kebingungan kapan memakai tanda baca. Yeah,
mungkin hingga sekarang kemampuan itu masih payah.
Dari dorongan itu, diam-diam saya
menekuninya semampu yang saya bisa. Apapun yang berkaitan dengan tulis-menulis
di kampus, saya akan kerjakan secara maksimal. Sementara beberapa kawan dengan
enteng membuat tugas kuliah dengan jalan pintas, saya terus merasa pusing dengan
usaha membuat tugas yang bagus. Tugas demi tugas membuat saya sedikit banyak
tahu proses menulis ilmiah. Selangkah demi selangkah, mata seolah terbuka
tentang susah payah menyusun karya ilmiah dari hasil penelitian.
Tempo hari, di temani suara bising
masjid, Pak Amin (bukan nama asli), guru saya, berkata—dengan nada enteng,
“Ka’, makalah yang kamu tulis bagus, minggu depan, kamu presentasikan di forum
X, ya.”
Belum saya sempat mencerna ucapan
itu dengan baik, guru saya yang lain, sebut saja Johan, menimpali, “waaah,
cocok, biar saya yang atur jadwalnya, udah siap, kan?”
Setelah pikiran saya sadar, dengan
cepat saya menjawab berikut ekpresi seolah besok kiamat tiba, “hah? Presentasi
di forum itu? Yang benar saja! Apa ada yang lebih buruk lagi?” saya meminum teh
hangat, dan melanjutkan, “melihat orang-orang yang sering tampil di forum X,
saya nggak ada apa-apanya.”
“sudah, lah. Kamu pasti bisa.” Ujar Pak
Amin. Seperti biasa, terdengar menggampangkan.
Sebelumnya, saya pernah diundang untuk ngoceh perihal satu isu. Pendengarnya sekita 30-an bocah sebaya. Hal itu tak terlalu sulit, berbeda jauh dengan kali ini. Keheningan menggantung sejenak, dalam
hati, sayup-sayup ada semangat yang terdengar,“Ya, mari kita lakukan. Kau sudah
pernah melakukan ini sebelumnya.”
Hari H tiba,
saya dijadwalkan ngoceh jam delapan malam. Di kepala sudah ada konsep yang akan
dimuntahkan. Tapi hal itu terganggu dengan banyak hal. Pagi hari itu, bahkan
saya masih ada di luar kota, bukan untuk menikmati udara sejuk dan menusuk
tulang, tapi untuk sebuah keperluan seseorang. Saya berusaha mencari tepat
hening. Sesekali, suara klakson kereta seolah tak rela ada keheningan di
sekitar. Apa aku terlalu santai di sini?beberapa orang penting akan datang. Kau
tak boleh tampak konyol.
Begitu urusan selesai, saya segera
tancap gas menuju lokasi. Well, semua yang hadir adalah guru saya—yang tak
perlu diragukan keilmuannya. Oh, sepertinya aku salah masuk ruangan. Dimoderatori
oleh guru saya, diskusi segera di mulai. dengan mantap, saya membuka dengan kalimat: “sebelum Anda mendengar ocehan panjang lebar,
mari kita berdoa untuk tokoh besar ini, yang membuka mata kita, bahwa kenaifan agama
masih membayangi. Mari kita berdoa, kekhawatiran Karl Marx terhadap agama, tak
akan pernah terjadi.”
Diskusi berjalan dengan lumayan. Satu persatu
pertanyaan saya jawab. Kecuali dari moderator sendiri. Yeah, tak terlalu buruk
bagi bocah seperti saya.
“tulisanmu bagus, terbitkan di
jurnal, ya.” Komentar salah seorang sesepuh, yang penelitiannya pernah membawa
kakinya menjajaki berbagai kota, diundang sana-sini. Dan mengalahkan peneiti
terbaik. “Njih, Pak.” Jawab saya.
“Minggu depan, kita ketemu di tempat
ini, ya.” Sambil menunjukkan sebuah alamat. “jika kamu mau mentoring tulisan,
bersama saya.”
Oh, terdengar seperti
keberungtungan? Ya, jika keberuntungan adalah definisi dari menulis dengan stres
sepanjang hari, dan dibayangi dead line tak manusiawi. Mungkin, memang
tak ada cerita gampang bagi seorang yang berada di puncak kepuasan.
Tapi apa gerangan kepuasan itu?
adakah ia sebuah rasa lega seorang pendaki yang mencapai puncak gunung, sembari
melihat kebawah—jalan terjal yang telah ia lalui—mungkin dengan berdarah-darah,
sambil merasa jumawa? Atau kepuasan adalah rasa bangga seorang Godse yang
menarik pelatuk pistol untuk mencabut nyawa Mahatma Gandi?
Entahlah.
“tentu saja itu keberuntungan, Pal.”
Komentar seorang kawan. "Iya, semoga."