“idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya
dimiliki pemuda”
Tan
Malaka
Sejarah
mencatat, pemuda adalah golongan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. pemuda,
yang sebagian dipanggil mahasiswa, tampil sebagai aktor utama revolusioner,
setidaknya itu yang terjadi sejak tahun 1927, Genees-kundige Hoogeschool
memiliki mahasiswa yang bergerak di bidang politik dengan visi mempersatukan pribumi
kepulauan, menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia, menjadi satu bahasa, bahasa
Indonesia.
Bahkan
jauh sebelumnya, tahun 1908 berdiri organisasi pemuda Boedi Oetomo, yang
diprakarsai oleh para mahasiswa STOVIA, Rechtscool, NIAS, Kweekscool, dan
sejumlah tempat pendidikan lain yang senantiasa berpemuda dengan cita-cita
luhur. Dari mahasiswa dan pemuda visioner inilah, lahir—memimjam istilah Sutardji—kata-kata
yang mencipta, yang mucul dari ketiadaan, meloncat dari kekosongan, bangsa ini
menyebutnya sumpah pemuda. “kata-kata” ujar Ignas Kleden, “memiliki daya cipta.”
Dan Indonesia tahu daya cipta sumpah pemuda.
Modal
besar para pemuda itu barangkali adalah kemerdekaan mengambil sikap setelah
hilang sabar hidup di bawah kolonialisme, yang berbuah tak lagi streril dari
desakan untuk tidak mengambil tindakan. Agaknya semangat demikian juga diwarisi
oleh generasi pasca kemerdekaan. Nama yang masyhur: Soe Hok Gie.
Gie
mungkin contoh yang klise, tapi setidaknya ia berdiri di posisi yang bukan
hanya berani mengkritik dengan menyebut langsung nama-nama tingkat atas, namun
juga konsisten akan hal itu. Dengan kata lain, ia nyaris sama sekali berdaulat
atas mengambil sikap, dan memilah kebenaran yang ia perjuangkan, tanpa mau
menjadi kaki-tangan siapapun. Sayangnya, ia keburu mangkat di umur muda, dan
kita tak pernah tahu, akankah ia berkepribadian kritis di usia 20-an dan larut di
usia 40-an? seperti beberapa kawan seangkatannya.
Gie
berupaya bersikap sebagaimana hero bersikap: independen. Dan sebagaimana
hero, jumlahnya sukar banyak. Dari sekian pemuda yang melewati latihan
dalam Kawah Candradimuka dalam lakon wayang itu, hanya beberapa menjadi
pahlawan. Sebagaimana Kawah Candradimuka yang satu melahirkan tokoh berbeda, kampus tunggal melahirkan berbagai
tokoh.
Independen
ala Gie atau hero menjadi penting, ketika orang yang hidup di abad 21,
sulit mengelak dari telaah khas Marx: kepentingan apa yang sedang diperjuangkan?
Pertanyaan itu meniscayakan berdirinya orang pada pijakan tertentu, yang
bertolak dari kebenaran, maupun pembenaran. Karenanya, telisik yang tak kalah
menarik, “berada di posisi manakah kebenaran yang diperjuangkan?” Bagi
mahasiswa atau siapapun, umumnya akan melihat paradigma kebenaran yang diusung oleh banyak
lapisan: dosen, senior, teman dan sebagainya. Kebenaran dengan
berbagai paradigmanya berwajah jamak.
Dalam
rimba kepentingan itu, seorang akan terlihat sisi independensi atau
kritisnya, ketika ia menelusuri sejauh apa ia diam dan tunduk saat sadar hanya
menjadi pion orang lain. Tentu patuh tak menimbulkan masalah, jika yang dipatuhi sekaligus dijalankan adalah
kebenaran. Yang jadi soal adalah, kemana arah kebenaran dengan berbagai
versinya itu? Menuju langgengnya status quo atasan? Menuju dominasi
kelompok tertentu?
Setiap
zaman Tokoh mucul silih berganti, kadang dengan tantangan yang sama sekali
berbeda. Namun, kita berharap, ada yang tetap memilih tak menjadi pion. kata
Marx, “sejarah akan mengulangi dirinya sendiri”, dan jika itu benar, saya
berharap yang terjadi bukan seperti yang dirumuskan George Bernad Shaw,
“sekiranya sejarah berulang, dan yang terjadi berulang adalah hal yang tak
diharapkan, itu berarti manusia tak mampu belajar dari pengalaman.”
Sosok
merdeka akan berulang datang. Semoga.