Senin, 21 Januari 2019

Keberuntungan?


Ketika seorang tiba-tiba mendapat sesuatu yang baik, ia akan menyebutnya sebagai keberuntungan. Sebaliknya, ia akan menyebut kesialan jika mendapat sesuatu yang buruk. Dan saya mendapat sesuatu, tapi tak pernah yakin apakah itu keberuntungan atau kesialan.

So, apa yang saya dapat? Saya mulai dari awal.

Saya suka menulis, umumnya tentang lalu-lalang pikiran setelah melihat kejadian sehari-hari. Karenanya, cukup banyak catatan harian di laptop, yang menjadi konsumsi privat saya. Meski kebanyakan bukan mengenai hal penting, saya suka ketika kembali membaca catatan demi catatan, kau tahu, rasanya seperti melihat perkembangan pikiran diri sendiri. Dari yang naif, culun, konyol, egois, apatis, sok bijak.

Sebenarnya, menulis bagi saya berfungsi sebagai curhat. Entah curhat pada siapa. Karena, di dunia yang penuh tetek-bengek ini, saya tak banyak memiliki teman, terlebih yang mau mendengar dengan tulus masalah yang saya alami. Oh, well, lagi pula, kawan saya memiliki sekian lusin masalah pribadi, tak elegan jika saya malah menimpali dengan ocehan masalah saya. Karenanya, alih-alih mencari kawan untuk mendengar isi kemelut hati, lebih baik saya ngoceh di atas keyboard.

Jadi, secuil latar belakang itu, mendorong saya untuk sering nulis. Kebiasaan itu mulai saya tekuni tiga tahun lalu. Tepatnya ketika awal masuk kuliah. Dunia kampus memaksa saya untuk terbiasa menulis, terutama yang berkaitan dengan tugas makalah. Sebelumnya, saya tak pernah tahu bagaimana merangkai kata menjadi kalimat, dari kalimat menjadi paragraf. Bahkan, saya kebingungan kapan memakai tanda baca. Yeah, mungkin hingga sekarang kemampuan itu masih payah.

Dari dorongan itu, diam-diam saya menekuninya semampu yang saya bisa. Apapun yang berkaitan dengan tulis-menulis di kampus, saya akan kerjakan secara maksimal. Sementara beberapa kawan dengan enteng membuat tugas kuliah dengan jalan pintas, saya terus merasa pusing dengan usaha membuat tugas yang bagus. Tugas demi tugas membuat saya sedikit banyak tahu proses menulis ilmiah. Selangkah demi selangkah, mata seolah terbuka tentang susah payah menyusun karya ilmiah dari hasil penelitian.

Tempo hari, di temani suara bising masjid, Pak Amin (bukan nama asli), guru saya, berkata—dengan nada enteng, “Ka’, makalah yang kamu tulis bagus, minggu depan, kamu presentasikan di forum X, ya.”

Belum saya sempat mencerna ucapan itu dengan baik, guru saya yang lain, sebut saja Johan, menimpali, “waaah, cocok, biar saya yang atur jadwalnya, udah siap, kan?”

Setelah pikiran saya sadar, dengan cepat saya menjawab berikut ekpresi seolah besok kiamat tiba, “hah? Presentasi di forum itu? Yang benar saja! Apa ada yang lebih buruk lagi?” saya meminum teh hangat, dan melanjutkan, “melihat orang-orang yang sering tampil di forum X, saya nggak ada apa-apanya.”

“sudah, lah. Kamu pasti bisa.” Ujar Pak Amin. Seperti biasa, terdengar menggampangkan.

Sebelumnya, saya pernah diundang untuk ngoceh perihal satu isu. Pendengarnya sekita 30-an bocah sebaya. Hal itu tak terlalu sulit, berbeda jauh dengan kali ini. Keheningan menggantung sejenak, dalam hati, sayup-sayup ada semangat yang terdengar,“Ya, mari kita lakukan. Kau sudah pernah melakukan ini sebelumnya.”

 Hari H tiba, saya dijadwalkan ngoceh jam delapan malam. Di kepala sudah ada konsep yang akan dimuntahkan. Tapi hal itu terganggu dengan banyak hal. Pagi hari itu, bahkan saya masih ada di luar kota, bukan untuk menikmati udara sejuk dan menusuk tulang, tapi untuk sebuah keperluan seseorang. Saya berusaha mencari tepat hening. Sesekali, suara klakson kereta seolah tak rela ada keheningan di sekitar. Apa aku terlalu santai di sini?beberapa orang penting akan datang. Kau tak boleh tampak konyol.

Begitu urusan selesai, saya segera tancap gas menuju lokasi. Well, semua yang hadir adalah guru saya—yang tak perlu diragukan keilmuannya. Oh, sepertinya aku salah masuk ruangan. Dimoderatori oleh guru saya, diskusi segera di mulai. dengan mantap, saya membuka dengan kalimat: “sebelum Anda mendengar ocehan panjang lebar, mari kita berdoa untuk tokoh besar ini, yang membuka mata kita, bahwa kenaifan agama masih membayangi. Mari kita berdoa, kekhawatiran Karl Marx terhadap agama, tak akan pernah terjadi.”

 Diskusi berjalan dengan lumayan. Satu persatu pertanyaan saya jawab. Kecuali dari moderator sendiri. Yeah, tak terlalu buruk bagi bocah seperti saya.

“tulisanmu bagus, terbitkan di jurnal, ya.” Komentar salah seorang sesepuh, yang penelitiannya pernah membawa kakinya menjajaki berbagai kota, diundang sana-sini. Dan mengalahkan peneiti terbaik. “Njih, Pak.” Jawab saya.

“Minggu depan, kita ketemu di tempat ini, ya.” Sambil menunjukkan sebuah alamat. “jika kamu mau mentoring tulisan, bersama saya.”

Oh, terdengar seperti keberungtungan? Ya, jika keberuntungan adalah definisi dari menulis dengan stres sepanjang hari, dan dibayangi dead line tak manusiawi. Mungkin, memang tak ada cerita gampang bagi seorang yang berada di puncak kepuasan.

Tapi apa gerangan kepuasan itu? adakah ia sebuah rasa lega seorang pendaki yang mencapai puncak gunung, sembari melihat kebawah—jalan terjal yang telah ia lalui—mungkin dengan berdarah-darah, sambil merasa jumawa? Atau kepuasan adalah rasa bangga seorang Godse yang menarik pelatuk pistol untuk mencabut nyawa Mahatma Gandi?

Entahlah.

“tentu saja itu keberuntungan, Pal.” Komentar seorang kawan. "Iya, semoga."