Sabtu, 03 November 2018

Identitas Kemanusiaan


Firdaus, tokoh dalam Perempuan di Titik Nol, bukan tipe wanita yang gemar mengatakan: “aku ingin dimengerti”, tapi ia menjelaskan sesuatu untuk kita mengerti. Prinsip yang mungkin tepat disandingkan dengan Hannah Arent, filsuf wanita sekaligus “bunga” Heidegger itu. Firdaus juga mungkin bukan seorang yang tunggal dalam kasus marginalisasi wanita, namun ia akan tetap menawan, karena menuju kematian adalah kebanggaan yang ia cari—kebanggaan yang membuatnya merasa lebih tinggi dari raja.

Apa arti kebanggaan bagi Firdaus? Saya tak tahu pasti, tapi mungkin seorang Lacan akan mengatakan: sesuatu yang ia harapkan ada di setiap tarikan nafasnya. Dengan kata lain, sesuatu yang sangat ia rindukan, harapkan, dan tak pernah tercapai. Tokoh dengan bibir tipis mirip ibunya itu, adalah seorang yang hidup dalam budaya di mana laki-laki adalah manusia, dan perempuan adalah sub-manusia. dari tokoh ini kita tahu, Mesir menyajikan pesona, juga ironi. Kita bisa bayangkan di tempat itu, tidak akan ada wanita yang menjawab, sebagaimana wanita yang ditemui Jose Ortegaa y Gasset menjawab: “saya tegaskan, hendaknya perlakukan saya sebagai manusia.”

Jawaban estetis itu didapat Jose muda dalam perjalanannya ke Spanyol, ia bertemu sekumpulan wanita cantik dan memuji feminimitasnya itu. Syahdan, jawaban tak terduga itu muncul dari salah seorang wanita. Tentu Jose, filsuf muda itu menjawab, “Ma’am, saya tak mengenal manusia, saya hanya tahu laki-laki dan perempuan, karena Anda perempuan, dan perempuan yang menawan, saya bersikap demikian.”

Cerita jose itu menggambarkan kerumitan gender dan kemanusiaan: manusia memiliki identitas syarat untuk disebut manusia, tapi karena identitas itu manusia hanya dikenal sebagai identitas. Ucapan jose, “saya tak mengenal manusia, saya hanya mengenal laki-laki dan perempuan” adalah kalimat yang pas untuk mewajahkan bagaimana kategori laki-laki dan perempuan—identitas manusia yang paling fundamental—menutup manusia yang berada di balik identitas itu.

Kelekatan gender/jenis kelamin menjadikan keduanya definisi sekaligus pembatas bagi kemanusiaan, yang menjadi sumber bagi penderitaan beberapa golongan, tak terhitung jumlah kekerasan terjadi akibat persoalan jenis kelamin, dan terdapat dua madzhab besar jenis manusia—pria-wanita, membuat sial mereka yang berkelainan: gay, lesbi, dan banci.

Perempuan di Titik Nol adalah cerita bagaimana jenis kelamin wanita—yang tak bisa dipilih saat dalam kandungan ibu—menjadi sumber masalah. Firdaus lahir, tumbuh, pergi ke ladang, kelaparan, kedinginan, kemudian bersekolah, pintar, menyublim dengan kesadaran, dipaksa menikah, meninggalkan suami biadabnya, hidup di jalanan, melacurkan diri, mencari pekerjaan, membunuh mucikari, dan menunggu digantung. Dari titik terakhir itu, kita bisa melihatnya sebagai tokoh yang pokok, tokoh yang kokoh.

Perempuan di Titik Nol adalah cerita, sebagaimana cerita lain yang membutuhkan tokoh, dan tokoh itu—Firdaus, hadir dengan tidak mengharap iba untuk kita mengerti, namun siapapun yang membaca kisahnya akan sadar, ada masalah dari perbedaan jenis kelamin.

Judith P. Butler mengatakan, “gender dan sex adalah hasil diskursus penguasa, matrealisasi kekuasaan.” Dengan kata lain, budaya penguasa yang membuat kita menjadi laki-laki atau perempuan, sisi kodrati dari ilahi dirumuskan ulang. Dan rumusan menghasilkan kesadaran, kesadaran melahirkan perbedaan, dari tanah perbedaan, lahir masalah.

Firdaus mati digantung, dengan itu, semoga ia menghidupkan kemanusiaan.