Firdaus, tokoh dalam Perempuan di Titik Nol, bukan tipe
wanita yang gemar mengatakan: “aku ingin dimengerti”, tapi ia menjelaskan
sesuatu untuk kita mengerti. Prinsip yang mungkin tepat disandingkan dengan
Hannah Arent, filsuf wanita sekaligus “bunga” Heidegger itu. Firdaus juga
mungkin bukan seorang yang tunggal dalam kasus marginalisasi wanita, namun ia
akan tetap menawan, karena menuju kematian adalah kebanggaan yang ia
cari—kebanggaan yang membuatnya merasa lebih tinggi dari raja.
Apa arti kebanggaan bagi Firdaus? Saya tak tahu pasti, tapi mungkin
seorang Lacan akan mengatakan: sesuatu yang ia harapkan ada di setiap tarikan
nafasnya. Dengan kata lain, sesuatu yang sangat ia rindukan, harapkan, dan tak
pernah tercapai. Tokoh dengan bibir tipis mirip ibunya itu, adalah seorang yang
hidup dalam budaya di mana laki-laki adalah manusia, dan perempuan adalah
sub-manusia. dari tokoh ini kita tahu, Mesir menyajikan pesona, juga ironi.
Kita bisa bayangkan di tempat itu, tidak akan ada wanita yang menjawab,
sebagaimana wanita yang ditemui Jose Ortegaa y Gasset menjawab: “saya tegaskan,
hendaknya perlakukan saya sebagai manusia.”
Jawaban estetis itu didapat Jose muda dalam perjalanannya ke
Spanyol, ia bertemu sekumpulan wanita cantik dan memuji feminimitasnya itu.
Syahdan, jawaban tak terduga itu muncul dari salah seorang wanita. Tentu Jose,
filsuf muda itu menjawab, “Ma’am, saya tak mengenal manusia, saya hanya tahu
laki-laki dan perempuan, karena Anda perempuan, dan perempuan yang menawan,
saya bersikap demikian.”
Cerita jose itu menggambarkan kerumitan gender dan kemanusiaan:
manusia memiliki identitas syarat untuk disebut manusia, tapi karena identitas
itu manusia hanya dikenal sebagai identitas. Ucapan jose, “saya tak mengenal
manusia, saya hanya mengenal laki-laki dan perempuan” adalah kalimat yang pas
untuk mewajahkan bagaimana kategori laki-laki dan perempuan—identitas manusia
yang paling fundamental—menutup manusia yang berada di balik identitas itu.
Kelekatan gender/jenis kelamin menjadikan keduanya definisi
sekaligus pembatas bagi kemanusiaan, yang menjadi sumber bagi penderitaan
beberapa golongan, tak terhitung jumlah kekerasan terjadi akibat persoalan
jenis kelamin, dan terdapat dua madzhab besar jenis manusia—pria-wanita,
membuat sial mereka yang berkelainan: gay, lesbi, dan banci.
Perempuan di Titik Nol adalah cerita
bagaimana jenis kelamin wanita—yang tak bisa dipilih saat dalam kandungan
ibu—menjadi sumber masalah. Firdaus lahir, tumbuh, pergi ke ladang, kelaparan,
kedinginan, kemudian bersekolah, pintar, menyublim dengan kesadaran, dipaksa
menikah, meninggalkan suami biadabnya, hidup di jalanan, melacurkan diri,
mencari pekerjaan, membunuh mucikari, dan menunggu digantung. Dari titik
terakhir itu, kita bisa melihatnya sebagai tokoh yang pokok, tokoh yang kokoh.
Perempuan di Titik Nol adalah cerita,
sebagaimana cerita lain yang membutuhkan tokoh, dan tokoh itu—Firdaus, hadir
dengan tidak mengharap iba untuk kita mengerti, namun siapapun yang membaca
kisahnya akan sadar, ada masalah dari perbedaan jenis kelamin.
Judith P. Butler mengatakan, “gender dan sex adalah hasil diskursus
penguasa, matrealisasi kekuasaan.” Dengan kata lain, budaya penguasa yang
membuat kita menjadi laki-laki atau perempuan, sisi kodrati dari ilahi
dirumuskan ulang. Dan rumusan menghasilkan kesadaran, kesadaran melahirkan
perbedaan, dari tanah perbedaan, lahir masalah.
Firdaus mati
digantung, dengan itu, semoga ia menghidupkan kemanusiaan.