Sabtu, 22 Desember 2018

Nyeri Kepatuhan


 “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda”
Tan Malaka

Sejarah mencatat, pemuda adalah golongan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. pemuda, yang sebagian dipanggil mahasiswa, tampil sebagai aktor utama revolusioner, setidaknya itu yang terjadi sejak tahun 1927, Genees-kundige Hoogeschool memiliki mahasiswa yang bergerak di bidang politik dengan visi mempersatukan pribumi kepulauan, menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia, menjadi satu bahasa, bahasa Indonesia.

Bahkan jauh sebelumnya, tahun 1908 berdiri organisasi pemuda Boedi Oetomo, yang diprakarsai oleh para mahasiswa STOVIA, Rechtscool, NIAS, Kweekscool, dan sejumlah tempat pendidikan lain yang senantiasa berpemuda dengan cita-cita luhur. Dari mahasiswa dan pemuda visioner inilah, lahir—memimjam istilah Sutardji—kata-kata yang mencipta, yang mucul dari ketiadaan, meloncat dari kekosongan, bangsa ini menyebutnya sumpah pemuda. “kata-kata” ujar Ignas Kleden, “memiliki daya cipta.” Dan Indonesia tahu daya cipta sumpah pemuda.

Modal besar para pemuda itu barangkali adalah kemerdekaan mengambil sikap setelah hilang sabar hidup di bawah kolonialisme, yang berbuah tak lagi streril dari desakan untuk tidak mengambil tindakan. Agaknya semangat demikian juga diwarisi oleh generasi pasca kemerdekaan. Nama yang masyhur: Soe Hok Gie.

Gie mungkin contoh yang klise, tapi setidaknya ia berdiri di posisi yang bukan hanya berani mengkritik dengan menyebut langsung nama-nama tingkat atas, namun juga konsisten akan hal itu. Dengan kata lain, ia nyaris sama sekali berdaulat atas mengambil sikap, dan memilah kebenaran yang ia perjuangkan, tanpa mau menjadi kaki-tangan siapapun. Sayangnya, ia keburu mangkat di umur muda, dan kita tak pernah tahu, akankah ia berkepribadian kritis di usia 20-an dan larut di usia 40-an? seperti beberapa kawan seangkatannya.

Gie berupaya bersikap sebagaimana hero bersikap: independen. Dan sebagaimana hero, jumlahnya sukar banyak. Dari sekian pemuda yang melewati latihan dalam Kawah Candradimuka dalam lakon wayang itu, hanya beberapa menjadi pahlawan. Sebagaimana Kawah Candradimuka yang satu melahirkan tokoh  berbeda, kampus tunggal melahirkan berbagai tokoh.

Independen ala Gie atau hero menjadi penting, ketika orang yang hidup di abad 21, sulit mengelak dari telaah khas Marx: kepentingan apa yang sedang diperjuangkan? Pertanyaan itu meniscayakan berdirinya orang pada pijakan tertentu, yang bertolak dari kebenaran, maupun pembenaran. Karenanya, telisik yang tak kalah menarik, “berada di posisi manakah kebenaran yang diperjuangkan?” Bagi mahasiswa atau siapapun, umumnya akan melihat paradigma kebenaran yang diusung oleh banyak lapisan: dosen, senior, teman dan sebagainya. Kebenaran dengan berbagai paradigmanya berwajah jamak.

Dalam rimba kepentingan itu, seorang akan terlihat sisi independensi atau kritisnya, ketika ia menelusuri sejauh apa ia diam dan tunduk saat sadar hanya menjadi pion orang lain. Tentu patuh tak menimbulkan masalah, jika yang  dipatuhi sekaligus dijalankan adalah kebenaran. Yang jadi soal adalah, kemana arah kebenaran dengan berbagai versinya itu? Menuju langgengnya status quo atasan? Menuju dominasi kelompok tertentu?

Setiap zaman Tokoh mucul silih berganti, kadang dengan tantangan yang sama sekali berbeda. Namun, kita berharap, ada yang tetap memilih tak menjadi pion. kata Marx, “sejarah akan mengulangi dirinya sendiri”, dan jika itu benar, saya berharap yang terjadi bukan seperti yang dirumuskan George Bernad Shaw, “sekiranya sejarah berulang, dan yang terjadi berulang adalah hal yang tak diharapkan, itu berarti manusia tak mampu belajar dari pengalaman.”

Sosok merdeka akan berulang datang. Semoga.