Pagi itu saya bangun, bukan karena alarm, tetapi karena bermimpi sedang menghadapi ketua LPM dan dicecar sana-sini karena borang akreditasi saya hancur lebur.
Saya meminum air putih, menatap langit-langit kamar, dan berkata, “Semesta,
bolehkah hari ini aku melanjutkan
tidur?”
Semesta menjawab lewat
bunyi notifikasi: Reminder: seminar
pukul
10, revisi artikel pukul
12, dan kelas diskusi pukul
3.
Saya menghela napas.
“Tuhan,” bisikku. “Apakah ini hidup yang Engkau janjikan bagi pencari ilmu?”
Dan Tuhan, dalam
kebijaksanaan-Nya yang agung, menjawab lewat suara dosen senior dalam igauan saya: “Itu bukan hidup, Nak. Itu
tridharma.”
Sebagian orang
terjebak dalam rutinitas kantor. Saya? Saya terjebak dalam labirin PowerPoint,
daftar pustaka, dan mahasiswa yang membaca abstrak sebagai pengganti
keseluruhan jurnal.
Diskusi kelas memang
menyenangkan—semacam gladiator arena intelektual, hanya saja dengan lebih
banyak kutipan Foucault dan lebih sedikit darah.
Tapi jujur saja,
kadang saya bertanya: apakah saya mengajar, atau saya sedang mengisi ulang
baterai semangat akademik yang bocor perlahan tiap semester?
Semesta tertawa, “Kau buruh-akademisi. Kau hidup di antara
ilham dan Google Scholar.”
Dan saya mengangguk,
karena tak bisa membantah. Saya mencintai pekerjaan ini. Tapi kadang cinta juga
butuh tidur siang dan beasiswa penelitian yang benar-benar cair.
Lalu saya berdiri,
ambil tas, dan berkata pada diri sendiri, “Mari kita pergi. Ilmu tidak akan
menyebar sendiri.”
Semesta menimpali,
“Dan jangan lupa: hari ini kau jadi moderator juga.”
Saya tertawa—tertawa
seperti orang waras yang tahu persis ia sedang kelelahan.