Minggu, 23 Februari 2025

Salah Rasa, Salah Persepsi, Tetapi Menyenangkan

Saya pikir kita semua pernah mengalami kejadian aneh yang membuat kita mempertanyakan “apakah saya tidak kompeten atau dunia yang terlalu rumit”. Sebuah dilema sederhana yang biasanya muncul saat kita kehilangan kunci tetapi ternyata ada di tangan sendiri. Dalam kasus saya, ini terkait dengan eror lidah.


26 November 2024 Bu Nyai Ibad menanyakan apakah saya ada di kantor setelah coblosan pilkada dan saya menjawab ada di kantor. Ia mengetik pesan instruksi yang tampak sederhana namun mengandung potensi kehebohan: pergi ke pos satpam ketika sudah senggang. “Aku ngirim makan siang, tapi masih di jalan,” katanya. Saya menjawab istighfar sebab ia benar-benar mengirim makanan setelah beberapa kali saya mencegahnya. Dan di luar sedang turun hujan dengan kadar mengerikan yang membuat saya berpikir apakah sebaiknya membuat bahtera Nuh?


Saya mencegah ia mengirim makanan dengan alasan logis-sederhana: di kantor banyak orang. Apa jadinya jika makanan dari seorang perempuan datang di tengah bapak-bapak yang sudah berpengalaman dalam ngecengin bocah jomblo? Saya juga berpikir bagaimana bisa menjelaskan pengiriman ini dengan kalimat yang tidak berakhir seperti bab pembuka novel konflik rumah tangga yang serba dramatis.


Namun, saat pesan dari Bu Nyai muncul bahwa Pak kurir online sudah dekat kampus, satu hal menjadi jelas: takdir telah diputuskan. Makan siang ini tak lagi bisa dicegah, seperti hujan, seperti borang, seperti kehidupan itu sendiri.


Untungnya hujan agak sedikit reda untuk manusia bisa keluar tanpa merasa seperti pemeran utama dalam adegan film bencana. Saya melangkah keluar dari kantor dan menuju pos satpam. Ini perjalanan pendek sekitar 50–70 meter, tetapi terasa seperti ekspedisi ketika Anda diliputi rasa keraguan tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya.


Sesampainya di pos satpam, seorang kurir berjas hujan putih sedang berteduh. Saya menghampirinya dengan sopan, memperkenalkan diri dengan singkat untuk mengetahui bahwa sayalah tujuannya ia tiba di sana. Setelah mendengar nama saya, ia hanya mengangguk dan dengan tenang menuntun saya ke motornya. Saya—seperti penerima paket pada umumnya—menunggu dengan wajar, mengantisipasi satu bungkus nasi bakar yang akan segera muncul dari dalam bagasi atau kantong plastik yang menggantung.


Namun tidak ada satu bungkus nasi bakar. Bahkan tidak ada satu bungkus apapun. Sebaliknya, kurir itu menunjuk ke sebuah kresek putih jumbo yang berdiam tenang di bagian tempat kaki motor maticnya. Saya memandangnya dengan skeptisisme seorang dosen penguji dalam persidangan tugas akhir.


“Semuanya, Pak?” tanya saya, berharap ini adalah kesalahpahaman belaka. Barangkali ia salah alamat, atau lebih baik lagi, ini hanya lelucon kosmik yang sebentar lagi akan berakhir. Tapi tidak. Kurir itu, dengan ekspresi profesional yang nyaris filosofis, hanya menjawab, “Saya hanya menerima tugas ini, Mas.” Sebuah jawaban yang, jika direnungkan hari ini, juga bisa digunakan untuk membela diri dalam hampir semua situasi kehidupan. Terutama dalam kehidupan para politisi.


Anda tahu, dalam akrobatik politisi kita belakangan, ada gelagat yang membuat kita heran sepenuh hati dan berpikir bahwa politik adalah seni untuk membuat orang percaya bahwa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.


Kembali soal nasi bakar. Karena naluri bertahan hidup saya menuntut jawaban lebih konkret, saya menelpon Bu Nyai Ibad. Di ujung telepon, hanya terdengar tawa terkekeh dan menyadarkan saya bahwa manusia memang sering kali lebih menikmati kejutan yang mereka buat untuk orang lain daripada yang mereka alami sendiri.


“Nggak banyak itu,” begitu kira-kira respons Bu Nyai, dengan nada terlalu santai untuk seseorang yang baru saja mengirim cukup banyak nasi bakar untuk dapat dibagi kepada sekelompok demonstran.


Saya mengambil kresek putih yang berisi 15 nasi bakar dan masih diliputi perasaan kagok, sehingga lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Kurir. Saya harap beliau tidak menilai saya sebagai manusia tanpa tata krama. Hanya saja ada momen-momen dalam hidup ketika otak terlalu sibuk memproses absurditas keadaan sehingga urusan etika dasar menjadi korban pertama.


Sambil menenteng kresek jumbo, saya melangkah menuju fakultas dan menembus grimis dan merasa seperti seorang pedagang kaki lima yang salah lokasi. Beberapa mahasiswa menawarkan bantuan, mungkin karena mereka melihat ketidakseimbangan gravitatif antara tubuh saya dan kresek jumbo. Mereka mendapat jawaban tidak perlu membantu.


Saya langsung membagikan nasi kepada para dosen di kantor. “Njenengan berkenan varian apa, Pak?” tanya saya pada salah satu dosen dan berusaha memberikan pilihan se-elegan mungkin, seolah ini makanan surgawi. Beliau menjawab apa saja varian yang tersedia dan saya memperhatikan bungkus nasi dengan penuh percaya diri: D pasti daging, A pasti ayam, dan T, tentu saja, telur. Sebuah kode yang tampak begitu logis sehingga tidak ada ruang untuk meragukannya.  “Saya mau telur saja,” katanya, dan saya memberi sebuah nasi bakar denga lauk telur.


Setelah semua nasi telah terbagi seadil mungkin, masih tersisa satu nasi varian telur. Saya mengirim pesan ke Ibad bahwa semua dosen sepakat nasi bakarnya enak. “Aku siang tadi makan daging, beberapa jam kemudian nyoba yang telur karena sisa satu,” tulis saya.


Ibad menjawab dengan nuansa memastikan, “Kok telur? Aku pesan ayam, daging, dan ikan.” Ia mengakhiri pesannya dengan emot menangis. Lalu ia mengirim tangkapan layar pesanan nasi bekar: Dading, ayam, tongkol. Oh, ternyata T itu bukan telur, tetapi tongkol. Sepertinya ia menertawai saya sebab bahkan setelah memakan nasi bakar tongkol saya tetap menganggap bahwa itu adalah nasi bakar telur.


Saya terdiam. Ini bukan hanya kesalahan kecil dalam membaca kode. Lebih dari itu, ini adalah inkompetensi lidah. Anda tahu, saya sudah memakan tongkol dan masih meyakininya sebagai telur. “Sepertinya aku sudah sampai pada level buta kode huruf kuliner,” pikir saya. Oh, well, tentu saja saya juga buta membaca kode perasaan wanita. Apa yang Anda harapkan dari seorang yang tidak mampu membedakan telur dan tongkol? Menebak-nebak apa kesalahan saya sambil Anda tetap ngambek? Bisa ngebul kepala ini.


“Maaf, tapi PARAH,” tulis Bu Nyai Ibad. Dan, yang mengkhawatirkan, ini bukan kejadian tunggal.


Jumat kemarin Pak Faiz (bukan nama sebenarnya) membawa dua bungkus susu sapi segar. Saya dan Pak Nuril (bukan nama sebenarnya) menyambut dua bungkus ini dengan antusias. “Coba kopinya ditambah susu ini, Pak,” saran saya kepada Pak Nuril yang sedang menikmati kopi Dampit andalannya. Di kantor, setidaknya ada tiga jenis varian kopi yang tidak pernah saya cicipi satupun. Bukan karena sombong, tetapi karena perut saya memiliki hubungan yang lebih buruk dengan kopi dibandingkan hubungan diplomatik negara yang sedang bersengketa.


Pak Faiz mulai meracik, ialah satu sendok kopi, lalu susu segar dituang perlahan dan menghasilkan warna yang menarik seperti video iklan kopi premium. Karena tertarik, saya segera mengikuti jejaknya. Saya ingin menikmati apa yang tampaknya menjadi minuman kelas dunia, ialah kombinasi dari pahitnya kopi dan lembutnya susu.


Tak lama kemudian Mbak Dini datang dan melihat cangkir kecil yang baginya tak biasa menjadi minuman saya dan ia bertanya minuman apa itu. “Kopi susu,” jawab saya mantap dan bangga.


“Kamu bisa minum kopi?” tanyanya, dengan nada yang hampir terdengar seperti, “Kamu bisa naik sepeda roda dua sekarang?”


“Bisa. Ini kopinya. Niru Pak Faiz,” jawab saya penuh kebanggaan sambil menunjuk toples berisi bubuk kopi yang baru saya gunakan. Ini momen langka di mana saya merasa memiliki wewenang dalam perbincangan tentang kopi.


Pak Nuril menoleh dan menjawab dengan nada iba bahwa isi toples itu bukan kopi, tapi gula aren. “Berarti itu bukan kopi susu, Mas. Tapi susu aren,” kata beliau.


Lima orang di kantor itu tertawa kencang menyadari kecupuan lidah saya. Jika beliau-beliau tahu soal telur-tongkol, mungkin saya akan dijuluki si lidah mati. Anda tahu, ini adalah jenis kebodohan lidah pada level puncak.


Tetapi, kalau boleh jujur, tanpa tendensi apa pun—dan saya bersumpah ini bukan upaya membenarkan kebodohan lidah saya—saya cukup menyukai lidah seperti ini. Maksud saya, ia begitu polos, begitu gampang ditipu oleh makanan biasa yang tiba-tiba terasa luar biasa. Ini semacam bakat neriman.


Bahkan, kalau dipikir-pikir, cerita sehari-hari saya kadang seperti nasi bakar ini: salah label, tetapi tetap bisa dinikmati. Tidak peduli apakah itu ayam, daging, atau tongkol yang menyamar menjadi telur, yang penting perut kenyang dan pengalaman bertambah. Kalau lidah ini menipu saya, maka ini satu-satunya bentuk penipuan yang saya relakan dengan senang hati. Hal ini mungkin mirip seperti membaca label harga diskon yang sebenarnya si penjual menaikkan harga aslinya, tetapi kita tetap merasa menang.


Dan saya pikir, kesalahan-kesalahan semacam ini selalu punya benang merah dengan banyak orang lain. Dalam skala kecil, mungkin hanya soal salah membedakan tongkol dan telur, atau mengira kopi adalah gula aren. Dalam skala besar, bisa lebih dramatis: orang memilih pasangan yang ternyata bukan soulmate-nya, atau dengan penuh percaya diri mengambil jalur cepat sukses yang ternyata jalur satu arah menuju kebuntuan. Dua hal ini jelas akan membuat hidup menyiksa.


Namun, jika kita tarik ke makna yang lebih luas, ya, kesalahan itu terlalu biasa. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Jangan-jangan karena itulah dunia tetap berjalan. Saya senang ketika Bu Nyai Ibad mengisahkan kecupuan lidah ini kepada teman-teman dan mereka tertawa. Karena itu saya menuliskan cerita ini. Dan jika Anda tidak bisa tertawa, setidaknya Anda masih bisa makan nasi bakar, apa pun lauknya.

 

Bohong

Apakah itu kebohongan, atau nada berbicara yang berbeda? Keduanya, kau tahu, kadang tampak sama.