Saya pikir kita semua pernah mengalami kejadian aneh yang membuat kita mempertanyakan “apakah saya tidak kompeten atau dunia yang terlalu rumit”. Sebuah dilema sederhana yang biasanya muncul saat kita kehilangan kunci tetapi ternyata ada di tangan sendiri. Dalam kasus saya, ini terkait dengan eror lidah.
26 November
2024 Bu Nyai Ibad menanyakan apakah saya ada di kantor setelah coblosan pilkada
dan saya menjawab ada di kantor. Ia mengetik pesan instruksi yang tampak
sederhana namun mengandung potensi kehebohan: pergi ke pos satpam ketika
sudah senggang. “Aku ngirim makan siang, tapi masih di jalan,” katanya. Saya
menjawab istighfar sebab ia benar-benar mengirim makanan setelah beberapa kali
saya mencegahnya. Dan di luar sedang turun hujan dengan kadar mengerikan yang
membuat saya berpikir apakah sebaiknya membuat bahtera Nuh?
Saya mencegah ia mengirim makanan dengan alasan logis-sederhana: di kantor
banyak orang. Apa jadinya jika makanan dari seorang perempuan datang di tengah
bapak-bapak yang sudah berpengalaman dalam ngecengin bocah jomblo? Saya juga
berpikir bagaimana bisa menjelaskan pengiriman ini dengan kalimat yang tidak berakhir
seperti bab pembuka novel konflik rumah tangga yang serba dramatis.
Namun, saat
pesan dari Bu Nyai muncul bahwa Pak kurir online sudah dekat kampus, satu hal
menjadi jelas: takdir telah diputuskan. Makan siang ini tak lagi bisa dicegah, seperti
hujan, seperti borang, seperti kehidupan itu sendiri.
Untungnya hujan
agak sedikit reda untuk manusia bisa keluar tanpa merasa seperti pemeran utama dalam adegan
film bencana. Saya melangkah keluar dari kantor dan menuju pos satpam. Ini
perjalanan pendek sekitar 50–70 meter, tetapi terasa seperti ekspedisi ketika
Anda diliputi rasa keraguan tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Sesampainya di
pos satpam, seorang kurir berjas hujan putih sedang berteduh.
Saya menghampirinya dengan sopan, memperkenalkan diri dengan singkat untuk
mengetahui bahwa sayalah tujuannya ia tiba di sana. Setelah mendengar nama
saya, ia hanya mengangguk dan dengan tenang menuntun saya ke motornya. Saya—seperti
penerima paket pada umumnya—menunggu dengan wajar, mengantisipasi satu bungkus
nasi bakar yang akan segera muncul dari dalam bagasi atau kantong plastik yang
menggantung.
Namun tidak ada
satu bungkus nasi bakar. Bahkan tidak ada satu bungkus apapun. Sebaliknya,
kurir itu menunjuk ke sebuah kresek putih jumbo yang berdiam tenang di bagian
tempat kaki motor maticnya. Saya memandangnya dengan skeptisisme seorang dosen
penguji dalam persidangan tugas akhir.
“Semuanya,
Pak?” tanya saya, berharap ini adalah kesalahpahaman belaka. Barangkali ia
salah alamat, atau lebih baik lagi, ini hanya lelucon kosmik yang sebentar lagi
akan berakhir. Tapi tidak. Kurir itu, dengan ekspresi profesional yang nyaris
filosofis, hanya menjawab, “Saya hanya menerima tugas ini, Mas.” Sebuah jawaban
yang, jika direnungkan hari ini, juga bisa digunakan untuk membela diri dalam
hampir semua situasi kehidupan. Terutama dalam kehidupan para politisi.
Anda tahu,
dalam akrobatik politisi kita belakangan, ada gelagat yang membuat kita heran
sepenuh hati dan berpikir bahwa politik adalah seni untuk membuat orang percaya
bahwa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Kembali soal
nasi bakar. Karena naluri bertahan hidup saya menuntut jawaban lebih konkret,
saya menelpon Bu Nyai Ibad. Di ujung telepon, hanya terdengar tawa
terkekeh dan menyadarkan saya bahwa manusia memang sering kali lebih
menikmati kejutan yang mereka buat untuk orang lain daripada yang mereka alami
sendiri.
“Nggak banyak
itu,” begitu kira-kira respons Bu Nyai, dengan nada terlalu santai
untuk seseorang yang baru saja mengirim cukup banyak nasi bakar untuk dapat dibagi kepada sekelompok demonstran.
Saya mengambil
kresek putih yang berisi 15 nasi bakar dan masih diliputi perasaan kagok,
sehingga lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Kurir. Saya harap beliau
tidak menilai saya sebagai manusia tanpa tata krama. Hanya saja ada momen-momen
dalam hidup ketika otak terlalu sibuk memproses absurditas keadaan sehingga
urusan etika dasar menjadi korban pertama.
Sambil menenteng kresek jumbo, saya melangkah menuju fakultas dan menembus grimis dan merasa
seperti seorang pedagang kaki lima yang salah lokasi. Beberapa mahasiswa menawarkan
bantuan, mungkin karena mereka melihat ketidakseimbangan gravitatif antara
tubuh saya dan kresek jumbo. Mereka mendapat jawaban tidak perlu membantu.
Saya langsung
membagikan nasi kepada para dosen di kantor. “Njenengan berkenan varian apa,
Pak?” tanya saya pada salah satu dosen dan berusaha memberikan pilihan
se-elegan mungkin, seolah ini makanan surgawi. Beliau menjawab apa saja varian
yang tersedia dan saya memperhatikan bungkus nasi dengan penuh percaya diri: D
pasti daging, A pasti ayam, dan T, tentu saja, telur. Sebuah kode yang tampak
begitu logis sehingga tidak ada ruang untuk meragukannya. “Saya mau telur saja,” katanya, dan saya
memberi sebuah nasi bakar denga lauk telur.
Setelah semua
nasi telah terbagi seadil mungkin, masih tersisa satu nasi varian telur. Saya mengirim
pesan ke Ibad bahwa semua dosen sepakat nasi bakarnya enak. “Aku siang
tadi makan daging, beberapa jam kemudian nyoba yang telur karena sisa satu,”
tulis saya.
Ibad menjawab
dengan nuansa memastikan, “Kok telur? Aku pesan ayam, daging, dan ikan.” Ia
mengakhiri pesannya dengan emot menangis. Lalu ia mengirim tangkapan layar
pesanan nasi bekar: Dading, ayam, tongkol. Oh, ternyata T itu bukan telur,
tetapi tongkol. Sepertinya ia menertawai saya sebab bahkan setelah memakan nasi
bakar tongkol saya tetap menganggap bahwa itu adalah nasi bakar telur.
Saya terdiam.
Ini bukan hanya kesalahan kecil dalam membaca kode. Lebih dari itu, ini adalah inkompetensi
lidah. Anda tahu, saya sudah memakan tongkol dan masih meyakininya sebagai telur.
“Sepertinya aku sudah sampai pada level buta kode huruf kuliner,” pikir saya. Oh,
well, tentu saja saya juga buta membaca kode perasaan wanita. Apa yang Anda
harapkan dari seorang yang tidak mampu membedakan telur dan tongkol? Menebak-nebak
apa kesalahan saya sambil Anda tetap ngambek? Bisa ngebul kepala ini.
“Maaf, tapi PARAH,”
tulis Bu Nyai Ibad. Dan, yang mengkhawatirkan, ini bukan kejadian tunggal.
Jumat kemarin Pak
Faiz (bukan nama sebenarnya) membawa dua bungkus susu sapi segar. Saya dan Pak
Nuril (bukan nama sebenarnya) menyambut dua bungkus ini dengan antusias. “Coba
kopinya ditambah susu ini, Pak,” saran saya kepada Pak Nuril yang sedang
menikmati kopi Dampit andalannya. Di kantor, setidaknya ada tiga jenis varian
kopi yang tidak pernah saya cicipi satupun. Bukan karena sombong, tetapi karena
perut saya memiliki hubungan yang lebih buruk dengan kopi dibandingkan hubungan
diplomatik negara yang sedang bersengketa.
Pak Faiz mulai
meracik, ialah satu sendok kopi, lalu susu segar dituang perlahan dan menghasilkan
warna yang menarik seperti video iklan kopi premium. Karena tertarik, saya segera
mengikuti jejaknya. Saya ingin menikmati apa yang tampaknya menjadi minuman
kelas dunia, ialah kombinasi dari pahitnya kopi dan lembutnya susu.
Tak lama
kemudian Mbak Dini datang dan melihat cangkir kecil yang baginya tak biasa menjadi
minuman saya dan ia bertanya minuman apa itu. “Kopi susu,” jawab saya mantap
dan bangga.
“Kamu bisa minum
kopi?” tanyanya, dengan nada yang hampir terdengar seperti, “Kamu bisa naik
sepeda roda dua sekarang?”
“Bisa. Ini kopinya.
Niru Pak Faiz,” jawab saya penuh kebanggaan sambil menunjuk toples berisi bubuk
kopi yang baru saya gunakan. Ini momen langka di mana saya merasa memiliki
wewenang dalam perbincangan tentang kopi.
Pak Nuril
menoleh dan menjawab dengan nada iba bahwa isi toples itu bukan kopi, tapi gula
aren. “Berarti itu bukan kopi susu, Mas. Tapi susu aren,” kata beliau.
Lima orang di
kantor itu tertawa kencang menyadari kecupuan lidah saya. Jika beliau-beliau
tahu soal telur-tongkol, mungkin saya akan dijuluki si lidah mati. Anda tahu,
ini adalah jenis kebodohan lidah pada level puncak.
Tetapi, kalau
boleh jujur, tanpa tendensi apa pun—dan saya bersumpah ini bukan upaya membenarkan
kebodohan lidah saya—saya cukup menyukai lidah seperti ini. Maksud saya, ia
begitu polos, begitu gampang ditipu oleh makanan biasa yang tiba-tiba terasa
luar biasa. Ini semacam bakat neriman.
Bahkan, kalau
dipikir-pikir, cerita sehari-hari saya kadang seperti nasi bakar ini: salah
label, tetapi tetap bisa dinikmati. Tidak peduli apakah itu ayam, daging, atau
tongkol yang menyamar menjadi telur, yang penting perut kenyang dan pengalaman
bertambah. Kalau lidah ini menipu saya, maka ini satu-satunya bentuk penipuan
yang saya relakan dengan senang hati. Hal ini mungkin mirip seperti membaca
label harga diskon yang sebenarnya si penjual menaikkan harga aslinya, tetapi
kita tetap merasa menang.
Dan saya pikir, kesalahan-kesalahan semacam ini selalu punya benang merah dengan banyak orang lain. Dalam skala kecil, mungkin hanya soal salah membedakan tongkol dan telur, atau mengira kopi adalah gula aren. Dalam skala besar, bisa lebih dramatis: orang memilih pasangan yang ternyata bukan soulmate-nya, atau dengan penuh percaya diri mengambil jalur cepat sukses yang ternyata jalur satu arah menuju kebuntuan. Dua hal ini jelas akan membuat hidup menyiksa.
Namun, jika
kita tarik ke makna yang lebih luas, ya, kesalahan itu terlalu biasa. Semua
orang pasti pernah mengalaminya. Jangan-jangan karena itulah dunia tetap
berjalan. Saya senang ketika Bu Nyai Ibad mengisahkan kecupuan lidah ini kepada
teman-teman dan mereka tertawa. Karena itu saya menuliskan cerita ini. Dan jika
Anda tidak bisa tertawa, setidaknya Anda masih bisa makan nasi bakar, apa pun
lauknya.