Kamis, 01 Desember 2022

Ziarah Kelas ke Sumenep

Kami sudah sepakat untuk kumpul di kampus pukul lima pagi, sebelum mendapat kabar mendadak bahwa jam sewa mobil ELF itu start pukul 00.00—tengah malam pas tanpa kurang. Tidak ada pilihan, kabar itu saya lempar ke grup kelas pukul 20.40, 29 November 2019. Tersisa waktu 3 jam 20 menit. Setelah saling tawar menawar dengan kondisi masing-masing, setelah drama dengan kesibukan masing-masing, pukul 21.46 kami ketok palu: Berangkat tengah malam.

30 November 2019, anggota kelas membuka mata tengah malam dan praktis memulai hari dengan perjalanan cukup panjang. Kami menuju Sumenep. Ziarah.

Untuk menghemat energi sebagai sopir, saya mencoba segera istirahat beberapa jam sebelum berangkat. Tetapi pikiran saya sibuk: Apa saya bisa bawa ELF tipe long itu, ya? Apa energi saya cukup tanpa istirahat? Akhirnya tengah malam saya memecah dingin menuju rumah Niswa, mengambil ELF. Baru keluar dari gang, saya dan Fahmi berpapasan. “Tunggu di kampus saja,” kata saya.

Sampai di lokasi saya disambut pertanyaan dari Abah Niswa, “Mau kemana?” itu pertanyaan yang beliau sudah tahu jawabannya, tetapi saya mencoba menjawab sesopan mungkin bahwa tujuan kami adalah ziarah ke Sumenep, sowan ke beberapa tokoh penting di masa lalu. Beliau berpesan untuk hati-hati dan mengisi penuh solarnya saat mengembalikan. “Nitip rombongan, ya.” Tutup beliau. Saya mengangguk dan menggumam: Wah... berat ini.

ELF bergerak menuju kampus dan menunggu 18 anggota berkumpul. Kaum cowok hanya Ari, Alif, Fahmi, Heru, dan saya. Sedangkan kaum cewek, hampir semua ikut: Aya, Atus, Asfiyah [dalam kondisi hamil], Ami, Arina, Bintan, Bella, Chum, Faiq, Husnul, Harir, Kiki, Lutfia, Niswa, Wardah. Sekitar pukul satu lebih kami berangkat. Kiki kami jemput di dekat rumahnya, dan Atus di daerah Bangkalan. Komplit. Rombongan bergerak menuju Sumenep.

Sebenarnya, saya sudah familiar dengan jalur selatan pulau Madura, beberapa titik lubang dan gelombang sudah saya hafal [terutama setelah Lumair]. Hal yang membuat kagok tentu karena kebongsoran mini bus ELF ini. Juga sisa ketegangan karena jadwal tiba-tiba berubah. Nah, saya sudah beradaptasi dengan kendaraan setelah Atus masuk rombongan. Faiq dan Lae duduk di samping saya, berjaga-memastikan mata sopir terus melek.

Kami terburu waktu, tetapi jalanan bergelombang tidak mungkin saya libas dengan kecepatan tinggi. Jadi saya selalu menunggu momen jalan bagus untuk menginjak-dalam pedal gas. Akhirnya, azan subuh masuk ke telinga ketika kami berada di Sampang kota. Jadwal molor. Lampu-lampu jalanan dekat pelabuhan Camplong bersinar agak redup tapi anggun, seolah menyuruh kaki saya untuk tetap tenang.

Saya membelokkan ELF di masjid Nur Inka untuk salat subuh dan bebersih walau hanya muka. Sebagian besar rombongan belum mandi karena tidak sempat, jadi kami sepakat untuk ikut instruksi mandi di rumah Faiq. Matahari mulai mengintip, menerangi pantai yang ada di seberang masjid. Memang titik ini adalah bagian paling memanjakan mata. Ari mencoba memperbaiki posisi parkir dan berkomentar setirnya berat. “Kalau jalan lebih enteng,” kata saya.


Selepas masjid, semua mata tampak melek, semua mulut terdengar bertukar suara, melempar joke dan tawa. Suasana kabin sudah benar-benar hidup. Kami seperti merangkai kembali tali persaudaraan setelah bertahun-tahun kenal serta terlibat banyak intrik drama. Dan berada di dalam kabin, satu tujuan perjalanan, menegaskan bahwa ada aset batin yang mewah dan mahal. Kelak, bertahun-tahun kemudian, kami sama-sama menyadari kedaifan membeli kemewahan itu. Tak akan mampu.

Sekitar pukul 6 atau 7, saya tak ingat pastinya, kami sampai di Prenduan, mampir membeli beberapa lauk. Lalu tibalah kami di rumah Faiq. Saya menunaikan hasrat memejamkan mata setelah mandi. Kawan-kawan juga begitu. Kecuali tuan rumah yang sibuk menyiapkan makanan. Sayangnya saya tak terlelap. Kami bergegas dan mengabadikan momen.

Masalah sopir baru muncul: badan Elf sepanjang 5,5 M itu sulit keluar dari rumah Faiq. Semua manuver sudah saya coba. Kawan-kawan berusaha mengawal, tetapi masing-masing memiliki pendapat berbeda sehingga memberi komando yang berbeda-beda. Satu bilang kanan, satu bilang kiri, satu bilang terus, dan saya bingung. Akhirnya celah sedikit di bagian kanan bisa dimanfaatkan. ELF saya majukan, Bella berteriak sisi kiri masih aman, lantas setir saya banting kanan, dan berhasil.

Kami meluncur ke Asta Tinggi. Ada ratusan atau mungkin ribuan makam. Kami memilih kawasan Asta Induk, Sultan Abdurrahman. Momen spiritual itu tidak terlalu kondusif karena terlalu panas, dan entah kenapa ada efek terburu waktu. Ini memang gejala sopir, ingin cepat beres dan istirahat. Tetapi bagaimanapun saya berterimakasih kepada para sultan, mungkin perasaan berterimakasih itu membuat para rombongan memiliki nasib baik di depan. Siapa tahu?  

Kami bergeser ke rumah Bella—tuan rumah yang sedang berulang-tahun. Itulah pertama kali saya jatuh cinta pada buah siwalan. Teksturnya lembut, manis dan asamnya pas, dan perpaduan susu sudah cukup memperkaya rasa. Kelak Bella menghadiahi saya siwalan, di tahun 2020. Ia bawa dari Sumenep langsung. Rombongan istirahat sejenak, salat dzuhur, lalu bersiap ke Sayyid Yusuf.

Makam selanjutnya harus melalui penyebrangan selat kecil. Para cewek-cewek berbahasa Madura langsung terlibat tawar-menawar dengan pemilik perahu. Kami sepakat dan langsung naik—dengan perasaan getir, karena setelah kami naiki, badan perahu seperti akan tenggelam. Badan perahu hanya tampak beberapa centi meter. Lalu di tengah selat, ombak cukup kencang. Teriakan kecil muncul. Kami tegang, tetapi masih selamat. Yah... jika tenggelam, kami mati syahid.

Setelah sampai di pulau kecil itu, kami harus berjalan kaki menuju makam. Tentu akan lebih praktis jika menyewa becak, namun momen jalan kaki melewati gang-gang kecil rumah warga membuat nuansa petualangan muncul. Setelah sampai kami menikmati suasana rindang, dengan napas yang ngos-ngosan. Saya tidak tahu siapa pemimpin tahlil sebab mengambil posisi di belakang, menikmati pemandangan pohon besar.

Sebenarnya saya penasaran apa kira-kira doa yang dipanjatkan kawan-kawan? Tugas akhir lancar? Jodoh baik nan rupawan? Karir gemilang? mampu menguasai dunia? Atau harapan bisa segera tidur nyenyak? Kami kembali ke pelabuhan, menerjang panas, dan mengambil beberapa foto bersama sembari menunggu pemilik perahu yang masih bepergian entah kemana. Bahwa kami sama-sama capek itu benar, hanya kebersamaan yang membuat kami memilih tampak biasa.


Anda tahu, kami seperti orang yang sepakat untuk bohong bersama bahwa badan masih baik-baik saja. Akhirnya kebohongan itu menjadi energi yang menular. Kebohongan yang dilakukan bersama, pada akhirnya, dapat berbelok menjadi kebenaran itu sendiri. Kebenaran sementara, tepatnya.

Destinasi terakhir adalah pantai Lombang: tempat yang kami harap bisa menjadi pelepas penat; menjadi penutup dari rangkaian ritual religi. Jadi perjalanan ini jelas batas ukhrawi dan duniawinya. Malah jangan-jangan tujuan pentingnya adalah pantai ini. Kami masuk pantai gratis, berkat kenalan Faiq. Di sana kami makan, foto, dan berbasah-basah bagi yang minat. Sebagian hanya menikmati suasana.

Jika anda berdiri di bibir pantai Lombang sembari melihat sekeliling, mungkin ini yang akan anda rasakan: Laut lepas di depan itu tampak menyenangkan sebab anda melihatnya dari daratan, mungkin anda ngeri jika melihat lautan dari tengah lautan. Langit luas di depan itu seperti melambai lembut pada pikiran-pikiran buruk anda. Perpaduan antara laut dan langit mungkin membuat anda makin rileks. Jika anda melihat ke sekitar Lombang, pepohonan cemara itu mungkin bisa mengistirahatkan rasa gelisah anda.

Setidaknya itulah yang saya rasakan. Jadi setelah kami mengirim doa kepada para tokoh, sembari berharap baik pada diri kami masing-masing, pantai ini menjadi ruang imajinasi bahwa semua akan berjalan sebagaimana seharusnya. Dan semua harus berakhir karena kami harus segera pulang. Sewa ELF berakhir tengah malam, dan Maghrib kami baru lepas dari Lombang. Tidak ada cara lain kecuali menekan gas dalam-dalam dan melakukan manuver tikus.


Pukul 22-an kami baru akan masuk Tanah Merah. Pukul 23-an kami lepas Suramadu. Mepet. Setelah kawan-kawan turun di kampus, saya beristirahat sejenak. Melegakan kaki-kaki. Ari bersalaman dan mengucap terima kasih. Saya membalas dalam cara yang patut sebab ia selalu menjadi motor acara-acara seperti ini. Ari adalah perekat. Segera saya menginjak pedal gas untuk cari SPBU. Tanki harus terisi penuh. Abah Niswa sudah nelpon untuk segera pulang karena pemilik mobil sudah menunggu.

Saya berkejaran dengan waktu dan setelah berkeliling, kami menemukan solar. Dan saya menyisakan satu botol air mineral berisi solar. Sebab tanki harus benar-benar penuh saat tiba di garasi. “Jika jarimu masuk ke tanki, harus basah menyentuh solar,” demikian pesan pemilik. Perkara solar sudah beres dan saya harus membayar denda sebab ada goresan kecil di tubuh mobil. Tidak masalah. Saya membayar dan semua selesai. 

Kawan-kawan pulang dengan selamat. Saya juga masih punya sisa energi. Dan momen bersama selesai dibuat. Kami pulang pada menit-menit awal 1 Desember—ulang tahun Faiq. Jadi Bella dan Faiq lahir berdekatan tanggal dan perjalanan ini membuat saya mengingatnya. Well, memiliki kawan baik selama kuliah adalah aset. Memiliki momen baik dan seru bersama mereka adalah aset. Dan itulah yang kami lakukan, yang akhirnya tak bisa kami lakukan lagi.