Senin, 30 Mei 2022

Manusia Baik dan Hal-hal Baik: Surat Untuk Mas Ahmad

Sudah sekitar 20 menit saya dan Hilmi tiba di pesta resepsi Mas Ahmad tetapi orang-orang masih sibuk menata tempat dan hidangan. Kami memilih sudut gelap di parkiran sembari menunggu pengantin keluar. Lalu Mas Ahmad muncul dari sebuah gedung, menggunakan atasan kaos oblong dan bawahan sarung. “Hee, Gus...” teriak saya.


Saya dan Hilmi geleng-geleng kepala melihat kostum Mas Ahmad—yang kami panggil Agus. Ia berjalan menuju kami dan sekitar jarak dua meter ia mengatakan terima kasih beberapa kali, sambil mendekapkan tangan di dada, mirip pose Idulfitri. Ia menepuk-nepuk pipi kami, untuk tidak mengatakan menampar. Suaranya bergetar bahagia. Wajahnya cerah dan semangat, seolah seluruh mendung yang biasa kami lihat menyingkir. “Kamu ini nggak niat nikah, ya?” Kata Hilmi. “Kok masih pakai baju begini, mau kemana?”


“Lagi cari kopi. Istriku ngantuk,” jawab Mas Ahmad. Hilmi protes kenapa tidak menyuruh orang lain saja dan Mas Ahmad menjawab ia sudah mengutus adiknya. Agus mengangguk setuju ketika Hilmi bertanya apakah ia ingin rokok. Lalu mereka menyulut rokok dan saya masih tidak percaya orang di depan saya ini adalah pengantin. Saya dan Hilmi sepakat bahwa Mas Ahmad tampak seperti penjaga parkir. Beberapa saat kemudian, seseorang meminta tolong pada Mas Pengantin. Ibu itu tidak bisa memasukkan kunci motor ke dalam soketnya.


“Lha kan, bener... dikira tukang parkir,” kata Hilmi.


***


29 Agustus 2016 Mas Ahmad meminta sebuah pita biru muda pada saya, sebab panitia ospek yang berlagak seperti tuhan memberi perintah untuk mengenakan pita biru di lengan. Kebetulan saya punya pita lebih. Itulah perkenalan pertama kami, meski kami sama-sama belum terpikir bertukar nama. Kami masih sibuk menghadapi tuhan-tuhan sentimentil itu. Kelak setelah kami menjadi akrab karena satu prodi dan satu kelas, sesekali pertemuan pertama ini kami putar dengan cara dramatis: Seolah cara sopan saat meminta pita itu adalah kesalahan.


Dari 29 Agustus, menjadi 29 September, 29 Oktober, 29 Desember, dan seluruh tanggal 29 selanjutnya. Dari 2016, menjadi 2017, 2018, 2019, 2020... Pertemanan kami bergulir dari waktu ke waktu dan saya kira itu adalah “petaka” bagi Mas Ahmad. Ia terlalu baik pada sahabatnya. Tentang apakah itu benar-benar petaka atau tidak, tergantung sudut pandang yang kita gunakan, tentu.  


Saya sendiri tidak pernah ingin merepotkan kawan-kawan selama hidup di perantauan. Tetapi Mas Ahmad dan Hilmi menjadi pengecualian. Saya sering merepotkan mereka. Dan Mas Ahmad, selalu menyediakan diri untuk menjadi tameng kebutuhan-kebutuhan saya. Ia adalah tempat saya mengadu seluruh kesusahan saya. Setelah saya mengatakan suatu masalah, betapapun saya hanya ingin cerita, ia selalu mengatakan sesuatu opsi yang bisa ia lakukan.

 

Ada momen ketika saya benar-benar jatuh dan saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis di Twitter—tahun 2020 akhir. Mas Ahmad menjadi satu-satunya kawan yang mengirim pesan kepada saya dan menawarkan diri apakah ada sesuatu yang ingin saya ceritakan kepadanya. “Tumpahkan semua di sini,” katanya. Saya menjawab tidak bisa bercerita tetapi saya menaruh rasa sentimen penuh karena kelembutan hatinya.


Malaikat pencatat amal tahu, saya tidak akan melupakan momen itu.


Saya mengenal Mas Ahmad sebagai orang yang tidak pernah mencari perkara. Di organisasi, ia sosok yang aktif, bahkan saya kira ia sering menambal pekerjaan rekan-rekan yang kurang bertanggungjawab. Atas rekam jejaknya, Mas Ahmad menjadi sosok yang berintegritas. Bahwa kemudian ia ceroboh, bisa jadi. Tetapi ia selalu mampu bertanggungjawab atas seluruh yang ia lakukan.


Kadang-kadang, saya pikir, Mas Ahmad tidak terlalu perhitungan terhadap konsekuensi dari tindakan yang ia perbuat. Karenanya, ada satu-dua masalah yang ia hadapi. Sumbernya adalah error, atau ceroboh, bukan berakar pada mencari gara-gara dengan orang lain. Alih-alih mencari masalah, saya pikir lebih banyak orang yang “memanfaatkan” kebaikan hati Mas Ahmad. Orang bisa saja memiliki kesan yang berbeda kepadanya. Tetapi saya tidak pernah melihat Mas Ahmad merepotkan orang lain.


Entah kenapa, banyak orang-orang yang memiliki kesan bahwa Mas Ahmad adalah sosok polos yang mudah dimanfaatkan, yang mudah disakiti, yang mudah dieksploitasi. Harus saya akui, cara Mas Ahmad bersikap seringkali menunjukkan gelagat canggung. Pada titik tertentu, canggung itu berubah menjadi sumber salah paham. Orang bisa berbicara A, dan Mas Ahmad merespon B. Dan sebaliknya. Di sekolah, sosok seperti Mas Ahmad jelas mudah menjadi objek bullying.


Itulah kenapa saya katakan, alih-alih merepotkan orang, Mas Ahmad lebih berpotensi dieksploitasi oleh orang lain. Pada momen itulah saya dan Hilmi menjadi tameng baginya. Kami sering bertanya apa aktivitas Mas Ahmad dan apakah keputusan yang ia ambil untuk bertindak tidak melebihi batas wajar kebaikan. Sebab Mas Ahmad kadang bertindak seperti malaikat. Siapapun orang yang pernah minta bantuan padanya, akan bersaksi serupa dengan apa yang saya katakan.


Meski demikian, Mas Ahmad bukan sosok yang mudah melupakan tindakan menyakitkan yang dialamatkan kepadanya. Ia mengingat betul orang-orang yang telah bertindak tidak baik kepadanya. Dalam kadar ekstrem, saya kira, itu sikap yang adil. Ia tidak pernah berusaha menyakiti atau merepotkan orang lain. Dan ketika ia disakiti, ia akan mengambil jarak pada sumber penyakit itu. Saya membayangkan itulah sikap alamiah Mas Ahmad untuk bertahan menghadapi ancaman.


Beberapa kawan mengaku kesulitan bergaul dengan Mas Ahmad. Di satu sisi, saya tahu betul mengapa Mas Ahmad bersikap defensif pada beberapa orang, ialah orang-orang yang dalam ukuran Mas Ahmad telah bertindak tidak baik kepadanya, sedangkan si pelaku tidak mengingat telah melakukan tindakan itu. Anda tahu, mudah melupakan tindak-tanduk kita kepada orang yang dianggap remeh. Padahal Mas Ahmad bukan sosok yang harus diremehkan, setidaknya menurut saya.


***


24 Oktober 2019


Saya kebingungan mencari angkutan umum menuju Bangkalan. Tentu saja ada bis, tetapi tidak ada yang langsung menuju Pendopo Kabupaten. Saya melihat tarif ojol dan biayanya terlalu mahal. Kawan saya mengatakan bahwa saya bisa naik bis dan nanti oper naik angkot. Kebetulan, saya harus membawa dua kardus besar berisi buku, satu tas berisi perlengkapan saya selama seminggu, dan satu tas lagi berisi laptop.


Waktu itu saya ikut lomba mewakili Bangkalan.


Saya tidak menemukan opsi terbaik selain naik kendaraan pribadi. Tetapi barang bawaan saya banyak. Tidak mungkin saya naik motor sendirian. Saya tidak melihat pilihan lain kecuali bertanya pada Mas Ahmad apakah ia bisa mengantar. Saya menghubunginya.


“Begini, lho... aku mau minta antar ke Bangkalan, kalau kamu bisa.”


“Siap. Aku masih di rumah Mbah. Setelah urusan selesai aku akan ke tempatmu.”


“Ya, Gus. Kita berangkat besok subuh. Supaya bisa bangun tepat waktu, tidurlah di tempatku.”


Pagi-pagi buta kami berangkat, dengan segepok senjata tempur saya. Mas Ahmad kesulitan menyetir motor karena harus mengapit satu kardus berisi buku-buku, di depan. Di tengah, masih ada satu kardus lagi, dan di atas kardus ada tas barang. Dan punggung saya menanggung berat satu tas lain, selama perjalanan. Sesampainya kami di pendopo, rekan satu rombongan saya sudah berkumpul, di temani berbagai sanak keluarga.


Saya juga diantar satu keluarga. Mas Ahmad.


Ketika tiba upacara keberangkatan, saya ingat betul, Mas Ahmad memindah dua kardus buku-buku saya ke samping bis rombongan. Dan jarak pemindahan itu cukup jauh. Sementara saya tidak bisa membantunya karena harus menghadap Pak Bupati.


Mas Ahmad pamit pulang lewat chat. Ia pulang sendirian. Sambil mendengar sambutan Pak Bupati, saya berharap Mas Ahmad baik-baik saja dan air mata saya mengalir. Salah satu peserta memberi tisu pada saya. (Saya menulis bagian ini dengan sentimen dan kecengengan yang sama.)


***


29 Mei 2022


Mas Ahmad keluar dari sebuah gedung, menggandeng istrinya. Mereka berdua mengenakan baju pengantin dan semua mata tertuju pada mereka. Akhirnya, ia mengenakan kostum yang benar. Tenggorokan saya macet untuk mengucapkan selamat menikah di atas panggung dekorasi itu. Hanya sebuah jabatan tangan dan senyum yang saya sematkan.


Semoga kau selalu dihadiahi kehidupan yang bahagia, Mas Ahmad.

Tanya

 

Mungkin aku harus bertanya pada rumput yang bergoyang: Apakah manusia bisa tidak jatuh cinta?

Kamis, 26 Mei 2022

Generasi Baru

Ia punya dua ambisi: Bagaimana jarum jam di timbangan bergeser ke kanan; bagaimana menjadi manusia pintar.


Dua ambisi itu saya kantongi juga. Tetapi nasib kami tidak pernah baik soal ambisi pertama. Tubuh kami masih tetap saja kurus seperti itu dari tahun ke tahun. Mungkin ia sudah tidak lagi menaruh harapan soal panah timbangan. Dan soal pintar, saya berharap ia mengingat ini: Pembelajar yang efektif dapat mengajari dirinya sendiri hampir semua hal dengan sumber online yang tersedia di ujung jari. Kapanpun ia ingin menjadi lebih pintar dari ke hari, ia tidak pernah kehilangan sumber.


Tetapi menjadi pintar butuh kesiapan mental. Kita tahu, tidak semua orang bersedia menyiksa diri dengan belajar tiap hari; tidak semua orang siap keras kepala duduk berjam-jam tiap hari—dengan fokus tajam—untuk belajar. Kadang untuk mencapai target menjadi pintar—apapun definisi pintar itu—agak utopis. Sebab kita seperti lari maraton tanpa garis akhir. Dan kapanpun kita telah memiliki mental pembelajar, barangkali pintar bukan apa-apa, hanya belajar yang nikmat.


Nadia sering mengirim pesan minta doa supaya pintar dan relflek saya berharap ia sepintar yang ia inginkan.


Saya banyak belajar kepada Nadia, sebenarnya. Dari hal-hal yang remeh hingga serius. Misalnya, dari Nadia saya tahu bahwa AC di kereta bisa diatur menggunakan ponsel tertentu. Membuat catatan tugas di layar laptop juga saya warisi dari Nadia. Untuk perkara serius, tidak ada yang lebih epic dari kemandirian Nadia. Di saat kondisi ekonomi rakyat bumi anjlok akibat Covid-19, Nadia adalah salah satu kawan yang masih mampu bertahan, bahkan nabung untuk biaya kuliah S2!


Nadia salah satu orang yang sering saya ceritakan kepada kawan-kawan kecil di rumah. “Ambil sesuatu dari Nadia,” kata saya. “Untuk soal kemandirian saya tidak ada apa-apanya.” Dan para gadis remaja itu menunjukkan gelagat paham. Saya menginginkan kawan-kawan remaja itu kelak tumbuh semaksimal mungkin, dengan berbagai sosok inspiratif yang saya ambil dari kawan kuliah saya sendiri, termasuk Nadia.


Selain mandiri, tentu saja mereka mendapat cerita bahwa Nadia adalah hafizah. Bagi saya, setiap hafiz adalah sosok yang memiliki konsistensi, sebuah kosa kata yang saya beri stabilo dengan pengucapan pelan-pelan kepada kawan-kawan di rumah.


Saya tidak tahu sejak kapan ia menghafal Alquran tetapi saya tahu kapan ia mengadakan syukuran saat khatam: 15 November 2019. Di hari Jumat itu, saya mendapat bagian tumpeng, persis ketika tubuh saya ada di rumah—jauh dari tumpeng yang ia bagikan. Firoh mengirim pesan bahwa saya dapat tumpeng dari Nadia dan saya minta tolong pada Firoh untuk segera dihabiskan sebab saya sedang ada di rumah. “Jangan bilang-bilang ke Nadia,” kata saya. Dan Firoh menjawab iya.


Malam itu, ketika saya sedang berada di tempat seseorang, segera saya mengirim pesan terima kasih kepada Nadia.


Saya kira Nadia punya satu ambisi lain: Segera bertemu jodohnya. Dari capture percakapan Nadia dan Azizah yang sering mereka buat story di WhatsApp, saya tahu harapan itu. “Siapa jodohku ya, Zah?” tulis Nadia. Azizah juga pernah menulis hal serupa pada Nadia.


Sekarang ia sudah bertemu pasangannya. Dan itulah yang membuat saya menulis catatan ini, di blog ini. Selama Google masih hidup, blog ini masih akan ada. Dan catatan-catatan saya masih akan tetap ada, bahkan jauh setelah saya mati. Semoga Google panjang umur sehingga semua catatan, termasuk soal Nadia, masih tersisa.


Bagaimanapun, kelak, saya akan kehilangan Nadia sebagai sahabat saya. Pernikahan akan memisahkan intensitas pertemanan. Pada akhirnya, jika saya memilih untuk menikah juga, pertemanan kami bisa jadi akan lebih berjarak. Saat kami memiliki kesibukan yang lebih padat, kami mungkin akan lupa pada intensitas pertemanan kami. Itu tidak perlu disesali. Apapun yang niscaya terjadi, terjadilah. Sikap filosofis penyederhanaan suatu hal yang mirip sikap pasrah itu menjadi pendewasaan di banyak kondisi.


Jika kelak kondisi telah berubah, ada hal yang mungkin akan tetap menjadi ingatan baik: Nadia adalah kawan yang tahu bahwa saya kikuk di tempat umum dan, dengan karakternya, ia mudah saja membuat saya menjadi pendengar yang baik. Nadia kawan yang suka bercerita. Lambat laun, saya terbiasa. Setelah lambat laun, saya tidak perlu khawatir akan topik bahasan saat bertemu Nadia. Kepala saya bisa lancar mengeluarkan ide. Atau, jika tidak, saya cukup menjadi pendengar dan menganggap apa-apa yang ia katakan bersifat sakral—jadi saya harus khusuk.


Dan kelak ia bukan orang yang mudah diajak ngopi lagi. Ia orang yang saya senangi saat saya duduk satu meja bersamanya dan kawan-kawan lain. Wah... kawan seperti Nadia itu jelas sulit didapat.


Selain itu, kepada Nadia-lah saya tidak perlu menaruh khawatir ketika menghubunginya. Malaikat di langit tahu, jika ia tidak sedang sibuk, ia akan segera merespon pesan saya. Jika pesan saya tidak berbalas, saya tinggal memelihara pikiran baik bahwa ia masih dalam mode aktivitas. Itulah kenapa, jika tidak ada hal yang penting, saya tidak pernah menghubunginya. Saya segan dengan kesigapan itu. Jika saya ingin bercerita sesuatu, misalnya, alih-alih menghubungi Nadia, saya akan bercerita pada batu.


“Ini bentuk pembalasan dari dosen yang suka jarang respon, Cak,” kata Nadia. “Jadi harus memperbaiki generasi. Generasi fast respon.”


Yah, Nad. Memang akan lebih baik jika banyak generasi seperti sampean. Generasi Nadia, ditambah perpaduan gen dari Mas Suami, itu akan sempurna.

Pulang

Jika tidak hari ini, besok. Jika tidak besok, seluruh waktu selain besok. Kematian hanya soal waktu. Namun mati saat minim tanggung-jawab sepertinya cukup mendamaikan.

Tidak Semua Orang Harus Baca Buku

Kita bisa naif terhadap hal-hal tertentu dan kita buta bahwa kita naif. Tidak ada cara mengatasi kebutaan ini kecuali kita belajar lantas mendapat pengetahuan baru yang menyentuh kesadaran kita. Barangkali orang memiliki kenaifan masing-masing. Saya katakan barangkali karena mungkin ada orang-orang yang steril dari sikap naif—karena sangat pintar dan bijak bestari.


Di satu masa saya pernah menganggap membaca sebagai standar penting seorang siswa. Ditopang oleh fakta bahwa ada sekian banyak manfaat dari baca buku. Dan saya gemar membaca buku. Lalu diam-diam pikiran saya membangun keyakinan membaca buku adalah suatu kewajiban pelajar. Sebagaimana layaknya keyakinan, hal itu menjadi ajang penghakiman pribadi saya kepada orang-orang lain.


Lama sekali saya melihat kawan-kawan yang tidak gemar membaca buku, dan tidak membangun kebiasaan membaca buku, sebagai sosok berkasta rendah dalam kampus.


Betapa naifnya!


Sambil menahan rasa prihatin, fakta itu merembet pada kebiasaan baru: Ambisi untuk terus belajar. Entah kenapa, saya merasa bahwa jika saya menyediakan waktu sebanyak mungkin untuk belajar dan baca buku itu setara membuat perubahan signifikan di kampus. Saya membayangkan seperti menjadi sisi terang bagi kampus. Semakin saya belajar, semakin terang cahaya kampus. Menandingi sisi gelap yang disumbang mahasiswa yang tak membaca buku.


Betapa naifnya!


Penghakiman diam-diam itu akhirnya merembet pada saudara dekat, terutama sepupu dari pihak ibu. Ada dua sepupu yang sekarang berada dalam masa pembelajaran. Satu mulai masuk SMA dan satu lagi sudah kuliah. Kepada mereka berdua, beberapa kali saya mulai terang-terangan berkhotbah tentang membaca buku. sekali lagi, saya berkhotbah. Dengan naif, saya merasa berhak untuk mengatur cara mereka belajar. Sebab saya lebih tua, dan sedikit memiliki pengalaman lebih.


Terlepas dari kenaifan di atas, saya pikir semua orang setuju atas manfaat membaca. Jika kita membaca buku bagus di bidang psikologi tindakan, kemungkinan besar kita memiliki cara bersikap elegan. Jika kita membaca buku cara berkomunikasi, kemungkinan besar kita mampu berkomunikasi dengan anggun. Dan seterusnya.


Tetapi, benarkah semua orang harus membaca buku? Bergantung visi dan tujuan hidup masing-masing orang.


Jika mereka ingin menjadi ahli agama, misalnya, mereka harus rajin membaca buku. Jika mereka ingin menjadi professor sejarah, mereka mutlak harus bergelut dengan naskah-naskah sejarah. Jika mereka ingin menjadi ahli menulis, mereka juga harus sering membaca.


Tetapi tidak semua orang ingin menjadi ahli agama, ahli sejarah, ahli menulis, atau ahli-ahli lain yang mutlak mewajibkan membaca buku tanpa bisa ditawar.


Pak Ran, tetangga saya, barangkali tidak butuh menyentuh buku. ia cukup mencari rumput tiap hari untuk sapinya, lalu menikmati makanan yang ia dapat dari sawahnya, lalu bersantai menikmati hari. Jika ada kebutuhan, Pak Ran bisa mengambil uang dari pertanian. Karena usia Pak Ran sekarang sudah senja, ia sering menghabiskan waktu untuk ibadah. Di desa saya, hanya orang-orang tua yang rajin ibadah.


Pak Sali juga demikian. Ia memiliki beberapa sapi dan sawah. Tiap hari bekerja di sawah. Karena memiliki sawah lebar, Pak Sali bisa hidup sejahtera, menurut ukuran saya. Dari sawah itu, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Dan karena tidak punya anak, Pak Sali bisa fokus untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan istri. Pak Sali adalah satu di antara petani yang mampu membeli mobil bagus di desa.


Baik Pak Ran dan Pak Sali menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang pertanian. Kadang mereka menikmati hari dengan santai, dan mereka membunuh waktu di bidang sosial. Entah mengunjungi sanak saudara, tetangga, maupun teman-teman mereka. Apakah mereka perlu membaca buku?


Saya kira tidak. Mereka sudah bahagia dengan kehidupan mereka. Tidak ada teori, tidak ada hipotesa, tidak ada riset. Mereka menjalani hari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan rejeki mereka sudah lebih dari cukup. Apakah mereka bahagia tanpa membaca buku? Ya! Sangat. Pak Sali dan Bu Nah terkenal sebagai pasangan yang tidak pernah bertengkar. Orang-orang pernah bertanya kepada mereka kenapa tidak pernah konflik dan mereka menjawab kebingungan mencari topik untuk konflik.


Saya kira orang desa punya kemampuan pasrah yang menakjubkan, dikombinasikan kehidupan sosial yang harmonis, kebahagiaan bisa tumpah ruah.


Bandingkan dengan saya dan kawan-kawan sejenis. Kami sibuk menelaah buku-buku tiap hari. Mempelajari berbagai teori untuk memahami realitas yang ada. Lalu kami sampai pada titik seluruh bahan yang kami pelajari saling kontradiktif satu sama lain. Beberapa bacaan itu bahkan mengusik inti terdalam dari keyakinan kami.


Alih-alih bahagia, saya, dan mungkin kawan lain, malah makin pusing. Hidup menjadi tidak tenang karena data-data yang saya temukan menunjukkan banyak hal sedang tidak baik-baik saja. Sebelum tidur, saya sering mempertanyakan apakah keyakinan saya sudah sedemikian bisa runtuh? Bagaimana laju peradaban kedepan? Apa yang bisa saya lakukan sebagai bentuk kontribusi positif bagi komunitas?


Tidak setiap orang harus membaca, ternyata.


Hari-hari ini, pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai bentuk. Seharusnya saya menyadari kenaifan ini lebih awal dan memelihara pikiran baik bahwa banyak mahasiswa yang sudah mendedikasikan hari-hari dengan proses belajar yang lain. Sebagian belajar melalui film, sebagian lain menjalani diskusi, sebagian dari media sosial. Sebagian mungkin dari video. Banyak kran untuk menadah pengetahuan.


Saya tidak perlu merasa paling baik. Pada para ponakan, seharusnya saya tidak menjadi membosankan seperti orang-orang tua yang sering berkhotbah. Lebih baik, dengan cara halus, saya menunjukkan dengan baik apa manfaat membaca buku. Dan jika mereka memang ingin mengambil studi yang mengharuskan membaca, maka membaca harus menjadi latihan.


Saya yakin masih banyak daftar kenaifan lain yang masih harus saya sadari. Seiring bertambahnya pengetahuan, akan banyak kenaifan lain yang terungkap. Namun, saya masih meyakini, bahwa untuk diri saya sendiri, membaca dan belajar tetap penting. Dengan itu barangkali saya bisa menyadari berbagai lapisan kenaifan.


Saya kira anda tidak akan salah paham mengambil kesimpulan bahwa saya mengatakan membaca tidak penting. Bukan itu poinnya. Kenaifan, itulah poin pentingnya. Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan dari membaca. Ada banyak hal yang memang akan lebih baik jika kita membaca. Tetapi itu bergantung visi hidup orang masing-masing.


Dan akhirnya... orang bisa naif terhadap hal-hal tertentu dan buta terhadap kenaifannya.

Sesal

Kau bisa menyesali sesuatu yang kaulakukan. Dan kau juga bisa menyesali sesuatu yang tidak kaulakukan. 

Selasa, 10 Mei 2022

Hidup Pengangguran

Sejak tahun 2016 akhir saya punya banyak deadline yang membuat saya tidak pernah kebingungan apa yang akan saya lakukan ketika bangun tidur. Beberapa hari (“beberapa” ini bisa berarti sangat banyak jumlahnya) tentu saya hanya berstatus sebagai pengangguran dan merasa kebingungan apa yang harus saya lakukan untuk mengisi hari-hari. Sekarang sambil duduk di depan laptop, kebingungan itulah yang saya rasakan.


Pekan ini saya cukup longgar. Tugas menulis dan presentasi di depan professor pengampu kuliah sudah rampung—setidaknya setengah.  


Dulu saya membayangkan betapa getirnya hidup sebagai pengangguran kelas berat. Ketika mata terbuka mungkin mereka hanya ingin tidur lagi. Mereka bisa terus begitu sepanjang hari asal ada makanan, atau uang untuk membeli makanan. Meski demikian di dunia ini tetap ada orang yang tidak melakukan apa-apa namun masih dapat hidup dengan santai, dan di sebagian dunia lain ada orang yang terlalu banyak pekerjaan tetapi tidak mendapat makanan dan uang, atau sesuatu yang layak.


Pengangguran atau tidak pengangguran biasanya hanya dilihat dari segi material. Bukankah banyak dari kita bekerja untuk mendapat uang? Dan dengan uang itu kita dapat melangsungkan hajat hidup. Tanpa bekerja kita tidak mendapat uang dan sulit melanjutkan hidup. Bukan mustahil, tapi sulit. Dari sudut pandang itu, kita bekerja dengan uang sebagai tujuan utama. Maka definisi pekerja atau pengangguran ditopang oleh pertanyaan utama: Apakah kita punya uang?


Jadi jika kita tidak melakukan apa-apa tetapi punya banyak, boleh dikatakan kita bukan pengangguran. Dan sebaliknya, jika kita melakukan tumpukan aktivitas, dari pagi hingga pagi lagi, tetapi tidak menghasilkan uang, kita adalah pengangguran. Sekali lagi, pengertian ini jika dilihat dari keberlangsungan hajat hidup yang ditopang oleh uang. Jika anda tidak setuju, kita tidak perlu berperang saling menumpahkan darah. Jika kita bersabar sedikit, kita semua akan mati secara alamiah.


Setelah melalui perenungan yang tidak panjang—mungkin dua menit, saya menyadari sepenuhnya sedang berada di posisi pengangguran. Pada tahun-tahun yang menyenangkan, meski pengangguran, ada sedikit hal yang membuat saya mendapat banyak uang. Kata sedikit ini harus saya tegaskan artinya: Tidak banyak. Lebih banyak hal yang membuat saya tidak mendapat segepok uang. Hidup praktis menjadi tidak terlalu ramah. Susah.


Bagaimanapun masa itu sudah saya lewati. Kita tahu, sesusah apapun sebuah kondisi, jika sudah terlewati, tidak terasa berat, seperti penyakit yang tidak diderita. Jika kita punya kemampuan yang tak dapat dihentikan dalam hal memandang baik semua hal, penderitaan dan keseruan tidak berbeda. Misalnya, jika kasusnya adalah kisah hidup saya, inilah yang bisa dilihat dengan pikiran baik:


Usia saya sudah mendekati 30 tahun—hanya kurang beberapa KM lagi. Di usia ini asam-garam kehidupan masih belum terlalu kecut dan asin. Di suatu masa, saya pernah memiliki sebuah rekening dengan saldo belasan juta, bahkan hingga di atas 20 juta. Untuk pengangguran, tidakkah itu fantastis? Sumber uang itu adalah menulis beberapa riset Lembaga Penelitian. 


Tidak terlalu lama saya memiliki uang sebanyak itu—setidaknya menurut saya itu banyak. Kebutuhan pendidikan dan sedikit foya-foya segera menguras rekening. Orang beragama akan mengatakan bahwa uang yang saya miliki kurang berkah. Namun setidaknya uang itu pernah saya gunakan untuk menimba banyak pengetahuan baru. Dan membayar makan orang-orang terdekat di warung enak.


Saya juga pernah memberi pinjaman uang 10 juta kepada atasan saya. Meski itu uang campuran milik saya dan orang tua. Dan itu membuat ibu saya kebingungan sebenarnya siapa yang bawahan dan siapa yang atasan. Sekarang saya masih meminjamkan uang segelintir juta kepada saudara—dan sudah hampir satu tahun masih belum ada tanda-tanda uang itu akan kembali. Saya berdoa semoga lembar-lembar itu tetap sehat di luar sana.


Saran saya: Jangan mudah meminjamkan uang. Hati-hati. Uang dan saudara, atau uang dan teman, menurut Michael Corleone, seperti minyak dan air.


Nah, cerita di atas membuat saya merasa kaya. Bagian sedihnya, beberapa kali saya pernah berhemat sedemikian rupa hingga harus makan nasi putih dengan lauk Masako rasa ayam. Beberapa hari. Motor pernah mangkrak karena tidak ada bensin. Apakah ini penderitaan atau keseruan kembali lagi dari sudut mana saya ingin melihat. Karena sekarang pikiran saya sedang baik maka ia saya anggap seru saja.


Di masa remaja juga tidak kalah asik. Saya punya motor tua—vespa—yang hobi mogok. Karena itu, dorong-mendorong sudah menjadi kebiasaan. Firdaus, kawan saya, memberi petuah penyejuk jiwa, bahwa dengan mendorong vespa kita menanggung asumsi publik dalam variasi tak terbatas: Mungkin mesinnya bermasalah; satu dari bagian di dalam mesinnya lepas; motornya lelah sehingga memutuskan mati; busi sudah waktunya ganti. Jika kita mendorong motor baru, kesimpulan orang hanya satu: kita kehabisan bensin dan itu membuat kita tampak tidak punya uang.


Siraman rohani Firdaus tidak hanya membuat jiwa saya basah, juga membuat tanggul jebol hingga banjir.


Dengan vespa tua itu, saya pernah menyusuri jalanan Bondowoso yang menanjak, malam hari, persis ketika lampu motor mati. Firdaus mengeluarkan senter dari hp jadul. Ia tidak berfungsi menerangi jalan di depan, tetapi untuk memberi penanda kepada pengguna jalan lain bahwa ada saya dan Firdaus di sana. Atau dalam bahasa singkat: Jangan tabrak kami! Usaha kami cukup berhasil meski beberapa kali hampir di tabrak mobil dan motor. Memang, dari kejauhan, cahaya hp hanya tampak seperti kunang-kunang.


Jika saya teruskan, saya khawatir tulisan ini tidak memiliki ujung. Lagi pula 800-an kata di atas tidak memiliki kepaduan yang solid. Saya akhiri saja di sini. Jika anda mencari kesimpulan tulisan, anda bisa membuatnya sesuka hati. Selamat hari Selasa!

Mulut

Otak bisa tidur pulas persis saat mulut kita mengeluarkan bunyi-bunyian yang dapat menyakiti orang lain. Saya sering sekali mengalami itu dan berjanji akan lebih hati-hati, lalu janji tinggal janji.