Dengan harapan setipis lembar deluwang, saya mengetik kata kunci di Google Book, lalu mesin pencari ini, sial, sesuai harapan tipis itu, tidak menampilkan sesuatu yang saya cari, ialah teknik PDKT bagi pria intover (sengaja ditulis tanpa ‘t’. Sebenarnya saya sudah enggan berdekatan atau menyebut kata introver, tetapi saya tidak bisa menghindarinya sekarang.)
Tidak pernah terbayang saya akan mencari buku semacam itu. Masalah mendekati lawan jenis ternyata sangat pelik dan seharusnya beberapa orang, yang telah berpengalaman menjadi buaya—salah satu makhluk paling setia, sebenarnya—berbagi teknik jitu. Saya pernah berhasil mendekati wanita, tentu saja, tetapi dengan cara yang sangat kuno: Tiap hari memborbardir ponselnya dengan pesan, “lagi ngapain”, dan, pelengkap wajib, “sudah makan apa belum”.
Demi tuhan, saya dan anda mungkin geli sendiri jika mengirim atau bahkan menerima pesan semacam itu sekarang. Hafid adalah pemberi teknik itu. Ia dulu memiliki banyak pacar, itulah alasan mengapa saya seperti dipaksa alam untuk percaya bahwa teknik itu benar-benar jitu. Sekarang saya tidak pernah bertemu Hafid lagi, seorang yang saya panggil Apet. Mungkin ia punya teknik baru, dan saya masih ingin tahu apakah ia masih memiliki banyak pacar sekarang.
Sebenarnya sejak kecil saya banyak bergaul dengan wanita remaja-dewasa, 15-19 tahun-an. Mereka salah satu sumber pengetahuan saya tentang lawan jenis, termasuk bagian hubungan personal. Tiap hari saya datang ke asrama mereka, dan mereka memberi dongeng romans dari film Bolyywood. Kelas dua SD saya mulai malu berkunjung ke asrama, hingga ketika ayah meninggal—saya kelas empat SD ketika itu, beberapa kawan wanita senior itu ditugasi tidur di rumah menemani saya dan Ibu. Masa itulah mereka meyakinkan saya untuk santai masuk asrama lagi, dan saya mengikuti saran itu.
Mbak Roil adalah orang yang histeris gembira ketika melihat saya, dengan sigap tangannya langsung meraih pipi. Sebelum saya kebingungan harus berbuat apa di sana, para wanita lain juga ikut menyapa saya dengan ramah. Di mata saya, mereka semua adalah Mbakyu, sosok wanita yang selalu sabar menghadapi bocah. Yeah, mungkin kesabaran mereka adalah kesabaran karena saya bocah yang baru ditinggal ayah.
“Sudah besar kok masih masuk asrama,” kata Mbah. Saya enggan merespon dan memilih mendengarkan Mbah Putri yang memberi banyak kebebasan.
Di masa-masa itulah, saya dekat dengan Mbak Rum, Mbak Sumila, Mbak Siti, Mbak Halimah.... dan Mbakyu-mbakyu lain. Mereka turut membesarkan saya. Karena bergaul dengan remaja putri yang akrab dengan kisah asmara—anda tahu para remaja, bukan?—saya mulai dekat juga dengan hal-hal yang berbau asmara. Padahal saya masih kelas 4 SD! Astaga.
Sialnya, satu tahun kemudian, kawan-kawan saya di sekolah mulai bermain-main dengan asmara. Didik dan Slamet adalah dua sohib yang sedang jatuh cinta. “Biar aku yang tulis suratnya,” suara saya menyambar lantang, lebih PD dari kemampuan saya. Tentu saja, ketika menulis, saya konsultasikan surat itu pada para Mbakyu andalan saya. Mereka memberi masukan disana-sini sambil cekikian. Lalu saya memutuskan bentuk final surat itu. Dan akhirnya... surat saya berhasil. Didik diterima secara resmi!
Well, saat itu kami masih kelas lima SD. Tahu apa anak kelas lima SD tentang cinta? Tidak ada. Kami hanya senang-senang saja, mencoba meniru apa yang kami lihat dari televisi. Lalu saya menulis surat cinta Slamet untuk pujaan hatinya. Kali ini surat saya tidak terlalu berhasil, meski tidak terlalu gagal. Slamet tidak ditolak tetapi juga tidak diterima. Entah apa namanya, yang jelas mereka cukup sering terlihat ngobrol bersama.
Mengetahui saya sering menulis surat cinta, para Mbakyu mulai menyerang saya dengan pertanyaan siapa gerangan gadis yang saya suka. “Tidak ada,” kata saya. Karena memang tidak ada. Tetapi mereka terus menjejali dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Hingga suatu hari, kawan-kawan saya datang ke rumah untuk mengerjakan PR. Kebetulan para Mbakyu juga ada di rumah untuk bantu Ibu bersih-bersih. Para Mbakyu itu mulai menebak-nebak siapa gerangan di antara kawan itu yang mereka pikir cocok dengan saya.
Dan mereka mendapat satu nama, dan mereka kian sering menyebut nama itu di depan saya dengan tambahan kalimat, “cie...ciee....” dan penyebutan nama, sekaligus tekanan lain, tiba-tiba membuat pikiran saya tertuju juga pada kawan saya itu, pikiran di kepala lama-lama membuat asosiasi ngawur bahwa mungkin gadis itu benar-benar cocok untuk saya.
Sialan! Maka saya tersengat cinta!
Tetapi, tentu saja, ketika itu saya tidak paham sama sekali tentang apa itu cinta. Jika dilihat dari masa sekarang, itu hanya hasrat untuk... ya suka-suka saja. Dan hasrat-hasrat “suka-suka saja ini”, juga mendesak saya untuk menulis surat cinta! Maka dengan segala kenaifan, saya berusaha membuat surat cinta terbaik di seluruh dunia. Saat itu, banyak para Mbakyu yang menjalin hubungan asmara diam-diam dengan para Kangmas. Saya sering mereka titipi surat, karena saya termasuk orang yang bebas keluar masuk asrama para Mbakyu. “Jangan bilang-bilang ke Umi, atau Mbah,” kata mereka.
Kadang-kadang sebelum surat itu mendarat pada sang tuan, beberapa kali saya buka terlebih dahulu. Saya melihat bagaimana kalimat-kalimat asmara ditulis. Saya selalu menghirup aroma wangi dari lembaran itu. Surat-surat itu dilumuri parfum rupaya. Jika anda belum tahu, inilah gaya pacaran ketika belum ada teknologi ponsel. Saya menjadikan semua itu sebagai bahan tulisan surat milik saya. Surat terbaik di seluruh dunia.
Saya menulis surat cinta dengan bahagia. Berbekal beberapa kali menulis surat cinta yang sukses untuk orang, berbekal ilmu dari surat para Kangmas dan Mbayu yang saya intip, saya tentu percaya diri akan sukses. Sesekali saya menggumam bahwa inilah surat cinta terbaik di dunia. Surat itu saya lumuri juga dengan parfum.
Dan surat cinta terbaik di dunia, versi saya kelas lima SD itu, berbalas dengan surat cinta paling menyedihkan di seluruh dunia, juga versi saya ketika kelas lima SD. Ialah surat balasan berisi penolakan. Sedih saya. Itulah pertama kali saya merasakan penolalakan. Cukup menggalaukan. Jika anda geli membayangkan anak kelas lima SD galau karena penolakan cinta, maka saya lebih geli lagi.
Saya kapok, dan tidak berani lagi mendekati lawan jenis. Pada masa berikutnya, satu hubungan yang saya jalani adalah hubungan di mana saya mendapat respon positif dari si dia, jauh sebelum saya mengungkapkan cinta. Dan pola itu tetap bertahan hingga saya menginjak umur sekarang. Dengan demikian, saya tidak pernah tahu bagaimana cara mendekati wanita.
Sekarang saya sadar tidak memiliki ilmu yang elegan tentang hal tersebut dan itulah mengapa saya mencari-cari referensi yang bagus. Saya juga bisa menjadikan ilmu PDKT ini referensi jika sewaktu-waktu saya menulis cerpen tentang peliknya kisah asmara. Sayangnya Google Book tidak memberi jawaban, video di YouTube juga banyak yang tidak cocok karena kurang elegan, dan Hafid tidak mudah ditemui maupun dihubungi.
Sementara saya harus mempertahankan pikiran bahwa menulis surat mungkin adalah cara terbaik bagi seorang yang selalu kikuk masalah cinta.