Sabtu, 13 Februari 2021

Mencintai Bahasa

 Saya mencintai Bahasa Indonesia dan memperlakukannya sebaik yang saya bisa. Cara orang mencintai bahasa mereka tentu berbeda-beda, sementara saya mencintainya dengan cara menulis kata atau kalimat dengan benar. Baik tulisan-percakapan di pesan, ocehan di Twitter, status Facebook, dan lain-lain. 

 

Karena terbiasa menulis seperti itu, saya juga terbiasa mengeja kata atau kalimat sesuai dengan huruf, cara mengeja yang akan menimbulkan suara-suara konyol jika saya membaca tulisan dari remaja alay. Beberapa dari mereka mengganti kata “karena” dengan “coz”. Cara saya mengeja kadang menggema pada huruf z: cozzzzz.

 

Pernah saya menerima pesan yang mengganti “nya” dengan “x”, seperti: Berwarna putih maksudx. Mengeja huruf x yang didahului huruf d, kadang membuat saya frustasi karena sulit, selain suaranya juga terdengar aneh. Mungkin anda berminat mencobanya. Kenapa tidak ditulis saja “maksudnya”? Di pesan yang lain saya sering membaca tulisan yang menganti kata “ya” dengan “ea”. 

 

Tinggal membaca secara dramais, kata itu akan membuat kita mengeluarkan suara seperti pendukung pemain badminton yang sedang melakukan smash: Ea!!! Ea!!! Ea!!! Ea!!!

 

Tentu saja saya tidak sedang mencitrakan diri sebagai polisi bahasa, golongan yang disebut oleh Ariel Haryanto dengan “Miskin toleransi pada variasi kebahasaan” dan selalu bertindak bahwa bahasa dapat dicari “rumus ilmiah seperti dalam matematika atau kimia”.

 

Ariel menunjukkan dengan bagus betapa obsesi berbahasa dengan “baik dan benar” kembali bangkit, sebagaimana dulu pernah terjadi ketika Bahasa Indonesia masih merupakan bibit-bibit dari Bahasa Melayu. Timbul istilah Melayu pasar, pinggiran, marginal, dan tidak layak digunakan sebagai standar bahasa karya. 

 

Pada dasarnya bahasa memang selalu bersentuhan dengan realitas penggunanya dengan dinamis, dan tidak dapat dengan mudah bahwa bahasa golongan A tidak baik, dibanding golongan B yang ketat berbaku-baku. Tetapi, sekali lagi, ini hanya soal pribadi tentang bagaimana cara mencintai bahasa. 

 

Bahasa Indonesia, terutama bagian yang tertulis, selalu akan menampakkan kecanggihan yang unggul ketika digunakan oleh orang yang cakap, dengan cara yang baik. Seperti bahasa lain, ia juga mampu menimbulkan irama yang patut didengar otak; ia mampu menimbulkan efek tertentu—yang positif dan mengejutkan—selama tidak digunakan dengan sia-sia. 

 

Apa yang saya katakan tentu berlaku sepenuhnya pada tulisan-tulisan karya, dan tidak berlaku sepenuhnya pada tulisan percakapan. Itulah barangkali penyebab mengapa banyak orang rendah disiplin menulis bahasa dengan baik—jika anda setuju pada konsep berbahasa dengan baik. Sebagai bahasa yang baru berumur kurang lebih seabad, kita melihat bagaimana bahasa ini sering disia-siakan oleh penggunanya. 

 

Di status FB, tidak banyak orang mau mengupayakan menulis dengan benar, yang menimbulkan citra bahwa Bahasa Indonesia tidak kurang canggih dengan bahasa yang lahir sekian belasan abad lebih tua. Apakah ini pengaruh pendidikan? Mungkin.

 

Ketika masih remaja, generasi saya gemar mengirim SMS yang kadang hanya menyediakan beberapa karakter, dan setiap pesan itu dikirim, ada sekian rupiah yang harus dibayar. Kondisi ini mungkin salah satu kultur yang menyebabkan tulisan disingkat sedemikian rupa. Bahkan belakangan ketika SMS sudah murah, bahkan gratis, kebiasaan itu tetap bertahan. Saya mengira hal ini hanya terjadi pada generasi saya, dan tidak akan diteruskan.

 

Saya keliru. 

 

Anda bisa melihat berbagai istilah yang ditulis berdasarkan entah apa. Jika lidah anda terbiasa mengeja abjad dengan benar, anda mungkin akan geli begitu melihat banyak kata sayang yang ditulis dengan “zheyeeeeng”.

 

Demi Tuhan, zheyeeng!!!!