Rabu, 23 Mei 2018

Abu Jahal dan Bocah


Seorang bocah menemui Abu Jahal karena penasaran alasan ia menguping lantunan suara Nabi membaca kitab suci. Ia bertemu dan bercakap-cakap yang berakhir dengan kebingungan:

“Jadi, Abu Jahal, kau orang kafir yang gemar mendengar Alquran, eh, hingga rela menghabiskan waktu petang hingga fajar tiba. Saya harap Anda punya asalan bagus.”

“Apa kau muslim, Nak?”

“Ya, saya Muslim, bahkan sejak kecil.”

“Oh, Nak. Sepertinya perjalanan belajarmu masih sangat panjang, kau muslim yang malang, tampaknya kau melewatkan keistimewaan wahyu agamamu itu begitu saja!”

“Maaf, maksud Anda?” katanya bingung.

“Tidakkah kau iri padaku? Yang terkenal karena koleksi kejahatanku terhadap Nabimu begitu lengkap—oh sebut apapun, tapi aku tak perlu bantuan profesor untuk merasakan keindahan wahyu agamamu itu!”

Si bocah tersentak dan mencoba segera berkilah, “Tentu saja karena Anda orang Arab, dan berbahasa Arab, Hisyam.”

“Ya, tapi bukankah gurumu menjelaskan semua orang bisa mempelajari kitabmu itu, apapun latar belakangnya, karenanya aku yakin perjalanan belajarmu masih belum apa-apa!” 

Si bocah tertunduk dan menjawab, “Ya, Anda mungkin benar, saya belum belajar sama sekali.”

Abu Jahal kini tertawa, menggelengkan kepada, mendekatkan wajahnya pada wajah bocah hingga mimik wajah yang simpatik dan memandang si bocah yang kini tampak penuh ironi, “Mungkin benar, Nak? Oh, buang kata mungkin itu, karena memang demikian kenyatannya. Lebih dari itu, kau hanya menganggap kitabmu turun untuk kemudian kau bisa menyewa seorang membacanya pada pesta pernikahanmu, kau juga berpikir wahyu itu turun untuk kau tulis kemudian kau menaruhnya di dinding rumahmu, kau membacanya, bahkan sebagian kau hafal, tapi sama sekali kau lewatkan pesannya, keindahannya, dan segala hal yang seharusnya kau ketahui, apa bedanya dirimu dengan ahl al-Kitab sebelummu?”

Kata-kata itu terdengar seperti petir bagi telinga si bocah, ia makin kebingungan dan tak menemukan senjata berkilah untuk kali kedua, “Anda benar Abu Jahal, kan? Maksudku, Anda tampak mengerti tentang Alquran, atau tepatnya bagaimana Alquran diperlakukan.”

Abu Jahal terdiam, hening meliputi sejenak.

“Bukalah matamu, Nak," Suaranya melanjutkan. "Kau tak mengenalku, kau tak tahu isi hatiku yang sebenarnya, sama seperti kau tak tahu isi hati para orang pintar di sekelilingmu.”

“Maaf, maksud Anda apa?” kata bocah dengan dahi nampak sedikit terlipat kernyit.

“Maksudku, belajarlah, Nak. Belajarlah serakus mungkin.”

Si bocah pergi, dengan perasaan mbuh...

Domba itu Bernama Publik

Orang patut bersyukur hidup di Indonesia karena negeri ini memiliki berjibun stok filsuf, hampir semua orang, berpendidikan atau tidak, pandai memberi nasihat dan petuah.  Pitutur dan kelakar para bapak atau ibu filsuf ini biasanya ditaruh di berbagai tempat sehingga mudah dipelajari khalayak: papan bak truk, kaca angkot, kaos, dan mungkin kamar mandi. Dan tak jarang pikiran itu terpaut dengan bumbu propaganda, misalnya, kita cukup familiar dengan kalimat, “Enak zamanku, tho!”.

Seakan mengajak pada romantisme sejarah orde baru. Dengan penjelasan bahwa semua harga barang pokok pada era orba murah, kita pun percaya bahwa zaman orba, memang zaman enak. Tapi benarkah seenak itu? Saya menemukan ulasan menarik dari Bonnie Triyana yang mungkin perlu kita simak. 

"Orang Indonesia mudah terharu dan melakonlis," tulis Bonnie di majalah Historia (2014), saat revolusi kemerdekaan, banyak penduduk desa yang bertanya, “kapan gerangan zaman kemerdekaan” akan usai. Zaman kemerdekaan itu mengacu pada situasi revolusi terhadap Belanda yang penuh ketegangan. Ketegangan berupa Pertempuran, pengungsian dan penderitaan. Banyak penduduk yang terkena imbas dari perubahan politik yang drastis itu. kerinduan kembali ke masa nyaman dan tenang pun muncul. Mereka ingin kembali ke situasi normal yang sialnya mengacu pada zaman di mana Belanda berkuasa.

Tentu saja, situasi normal itu mengenai kesadaran kosong yang dibentuk penguasa. Bonnie mengutip sejarawan Belanda Marieke Bloembergen, menurutnya negera kolonial berhasil membangun negara dengan pembungkaman gerakan politik orang pribumi. Nampaknya itu upaya yang sukses besar. Orang pribumi mutlak ter-hegemoni, daya kritis rakyat mati. Dan Indonesia dieksploitasi habis-habisan. Benar adanya masyarakat mengalami fase tenang dan nyaman, tapi semu belaka.

Saat pemerintahan Soekarno-Hatta berlangsung, Belanda berkampanye mengatakan “enak zamanku” dalam bentuk lain. Pada 1947, Dubes Belanda untuk PBB, Elco Van Kleffens mengumbar propaganda bahwa, sepeninggal pemerintah kolonial, situasi Indonesia kacau dan tak menentu dan hanya Belanda yang bisa mengembalikan situasi kondusif. Demi meyakinkan publik yang kala itu baru merdeka, Belanda menggunakan kalimat “Het Uitzicth”.

Beberapa tahun lalu atau bahkan sekarang, kita masih sering mendengar jargon, “Enak zamanku, tho!”. Pangkal soalnya adalah, orde baru berkuasa dengan cara tak jauh beda dengan Belanda. Bahkan mungkin lebih sistematis. Dengan meminjam konsep Antonio Gramsci, kita tahu bahwa orba tak hanya mendominasi rakyat lewat tata negara yang identik dengan kekerasan, tapi juga mengelola kekuasaan atas rakyat lewat perangkat hegemoni yang terwujud dalam intelektual dan moral.

Opini publik digiring dengan sangat sistematis dan samar. Semua pengetahuan yang ada di sekolah, harus sesuai dengan visi orba, buku sejarah mengenai PKI ditulis dengan deskripsi bahwa orang-orang di dalamnya sangat kejam, dan membunuh sesama layaknya membunuh ayam. PKI (mungkin) memang kejam, tapi apakah orba tidak? Beberapa buku yang perlu dibaca untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah dinamka Orba-PKI, misal buku Ita F. Nadia: Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Buku yang lain, Pledoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku.

Zaman orba, semua pengkritik pemerintah akan menemui konsekuensi serius, penjara atau mati. Jurnalis yang kritis dibungkam, kita tahu majalah Tempo yang sering mengkritik pemeritah itu dibrendel, sampai akhirnya bisa terbit lagi setelah orba lengser. Nasib sama mungkin juga menimpa media lain.

Ingatan kolektif kita atas sejarah tentu masih banyak berat sebelah, dengan melihat orba yang begitu gagah berkuasa, seakan orba adalah pemerintahan paling sukses dan membuat mbah kita hidup nyaman dulu.

Di tengah jargon “enak zamanku” yang terletak di banyak tempat itu, mungkinkah ada ajakan mengkampanyekan pemerintahan layaknya orba? Ajakan ke masa depan dengan rasa masa lalu? Masa lalu yang bukan memperbaiki keadaan, tapi untuk mengikat kita di bawah pemerintah yang mutlak ingin transenden. Ingin hegemoni berdiri tegak.

Entah, kecurigaan yang mungkin terlalu paranoid. Tapi curiga, sebagian dari waspada, menandakan kita bukan domba.

Sabtu, 05 Mei 2018

Cemas dan Lain-lain

Tubuh pria baya itu tergeletak setelah terserempet kereta, sore kemarin lusa. sontak kejadian itu menarik perhatian penduduk sekitar dan para pemakai lalu lintas, mereka turun dari kendaraan, berlari menuju korban, untuk melihat dari dekat kemudian mengabil gambar dengan ponsel yang katanya “smart”.

Saya tak mengerti persis apa motivasi mereka melakukan itu. Tapi mungkin kita bisa bertolak dari telaah ala Freud: nafsu apa kiranya yang bergolak di bawah sadarnya?

Ya, sebagian mungkin berniat mewartakan di media sosial, beberapa kecelakaan serupa pernah saya baca di media sosial dengan redaksi, “Innalillah, telah terjadi bla bla bla...” kadang diakhiri dengan kepentingan like, komen “aamiin” sebagai tiket masuk surga, plus share.

Mereka rela turun dari kendaraan, beberapa sampai berdesakan untuk mengambil gambar, mungkin untuk memudahkan pencarian keluarga korban, tapi jika kemudian merasa puas dengan berjibun jumlah “like” dan ramainya komentar warganet setelah hasil gambar itu dipost, barangkali, makin kabur batas antara merayakan kematian dengan berduka atas kematian.

Saya sendiri merasa nurani tak begitu berfungsi menyadari banyaknya orang meninggal di daerah konflik sana. Nurani saya itu, tentu berbeda reaksi jika menyangkut orang yang saya kenal. Saya mulai membedakan berempati untuk seorang yang telah berpulang. Padahal, sebagian setuju, kematian di Palestina, Syiria tetaplah “kematian”, dan berduka untuknya adalah manusiawi, terlepas siapapun yang mati, karena kematian sekaligus duka, kehilangan, sedih yang ada di baliknya, bukan sesuatu yang terlalu layak diperbandingkan.

Setiap hari, entah berapa banyak nyawa hilang, dengan atau tanpa bersalah. Korban Holocaust yang berjuta-juta itu, mungkin tak tahu kenapa mereka harus dibasmi. Penyiksaan dan kematian, bisa bertolak dari warna kulit, bentuk hidung, jenis ras yang sama sekali seorang tak bisa memilih saat dalam kandungan ibu. Andai kita bisa bertanya pada Hitler, kenapa membantai Yahudi? Mungkin jawabnya: mereka tak diingikan.  

Kematian bisa lahir dari kekuasaan yang... mungkin cemas.

Cemas, itulah yang sedikit saya rasa ketika melintas di jalan yang banyak kerumunan melihat jasad tergolek di pinggir rel kereta. Cemas atas keengganan ikut dalam kerumunan yang tak menolong, cemas karena bingung bagaimana harus berempati, cemas terbesit bagaimana perasaan keluarga korban melihat saudaranya hanya diambil gambarnya, cemas memikirkan seberapa banyak kerumunan itu melangitkan doa.

Cemas yang barangkali berbeda dengan cemas Hitler.