Minggu, 19 Juni 2022

Kuliah Perlu Persiapan, Berhenti Menjerumuskan Orang

Menyuruh orang lain segera menikah tanpa peduli apakah ia siap atau tidak termasuk tindakan kurang bijak, begitu pula menyuruh orang lain sekolah S2 dan S3 tanpa persiapan—yang penting kuliah dulu, soal tugas-tugas dipikir belakangan. Kenapa tidak bijak? Bukankah sekolah tinggi itu baik?


Saya setuju sekolah tinggi itu baik sebab berdampak bagi lingkungan, bahkan bagi negara. Pertanyaannya: apakah mereka siap? Kesiapan kadang tidak berbanding lurus dengan keinginan. Anda akan melihat banyak orang yang ingin kuliah setinggi mungkin, tanpa kesadaran akan apa yang akan ia hadapi, dan komitmen serta usaha belajar seperti apa yang dibutuhkan. Pokoknya lanjut kuliah. Titik. Anda mungkin juga sering diminta pendapat oleh kawan Anda apakah ia perlu lanjut kuliah atau... menikah, mungkin.


Ada banyak cara menyikapi soal lanjut kuliah, sebanyak jumlah kepala manusia. Dan saya tidak tahu pendapat mana yang paling baik.  


Kita bisa menganggap kuliah setinggi mungkin sebagai langkah kebaikan; langkah mengembangkan diri dalam ruang akademik. Kita bisa memiliki kerangka pikir saintifik dan dapat diandalkan membuat keputusan remeh maupun penting pada kehidupan sehari-hari. Bahkan, dengan memilih jurusan yang tepat, kita bisa dengan mudah memiliki pekerjaan layak dengan gelar berjejer di belakang nama, berikut kemampuan yang melekat pada gelar tersebut. Dengan kata lain, kesempatan berkarir menjadi lebih besar.


Poin di atas setidaknya adalah hasil perjalanan kuliah. Yang tidak dilihat adalah proses kuliahnya itu sendiri. Dan inilah poin pentingnya: kuliah adalah proses pemenuhan tanggungjawab akademik. Artinya, kita harus bertarung sesuai aturan main di kampus bersangkutan. Mari saya ceritakan gambaran besar pertarungan kuliah S2 di kampus saya. Anda mungkin perlu mendapat cerita dari mahasiswa lain, supaya menjadi perbandingan fair sebab kebijakan masing-masing kampus mungkin berbeda.


Pertama, kualitas tugas kuliah. Jenis tugas kuliah pada tiap program sudi mungkin berbeda. Di kampus saya tugasnya adalah menyusun makalah seusai tema yang telah ditentukan. Tentu makalah ini jauh berbeda dengan makalah S1. Profesor biasanya akan marah jika tugas makalah hanya ditulis asal-asalan. Apalagi copy-paste. Tema yang ditentukan saja biasanya sudah sulit, hingga data yang dicari benar-benar perlu perjuangan. Belum lagi soal pendekatan yang harus mahasiswa kuasai.


Penguasaan meriset dan meneliti diperlukan. Sangat diperlukan. Anggapan para profesor, para mahasiswa sudah mampu melakukan riset setelah menjalani kuliah S1. Dengan kata lain, mahasiswa S2 sudah dianggap memiliki kemampuan dasar meneliti dan menulis. Faktanya, banyak mahasiswa tidak memiliki kemampuan ini, saya mendapati beberapa mahasiswa kena semprot di kelas karena tugas yang ia tangani jauh dari kata layak.


Berdasar pengalaman pribadi, saya tidak ditempa untuk mampu menulis. Hanya ada satu biji mata kuliah menulis. Pihak kampus tinggal mewajibkan mahasiswa menulis tanpa pendampingan memadai, seolah kemampuan menulis adalah bawaan lahir. Dengan kata lain, mahasiswa juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas problem ini. Yang ingin saya katakan, akan sangat membantu jika kita menempa diri pada aspek kemampuan riset dan menulis untuk menunjang perkuliahan S2.


Apakah itu berarti mahasiswa tanpa kemampuan riset-nulis tidak boleh kuliah S2? Kita simpan jawaban ini diakhir. Izinkan saya lanjut pada poin berikutnya tentang tugas kuliah.


Kedua, dosen di kampus saya mewajibkan menulis di jurnal. Well, sepuluh tahun lalu mahasiswa S2 tidak akan, atau setidaknya jarang, mendapat kewajiban submit tulisan di jurnal. Hari ini, menulis di jurnal sudah menjadi ketentuan lumrah. Di beberapa kampus, untuk tingkat S1 sudah menerapkan tugas jurnaling. Sebenarnya, tugas menulis di jurnal memiliki pra-syarat kemampuan meneliti dan menulis, sama seperti poin pertama. Namun submit di jurnal adalah tantangan tersendiri sebab naskah kita harus berkualitas.


Jika tulisan tugas perkuliahan kita jelek, kita akan mendapat masukan profesor/dosen. Atau pada tingkat ekstrem, masukan itu bercampur sindiran pedas. Jika tulisan kita dibawah standar saat submit di jurnal, ia jelas kalah dengan ribuan naskah lain. Tugas-tugas ini tidak bisa dikatakan mudah.


Bagaimana sebaiknya memberi saran pada mahasiswa yang ingin lanjut kuliah?


Katakan dengan sopan: ia harus memiliki persiapan, setidaknya ia harus tahu di mana ia berdiri, dan kemana ia akan menuju. Supaya lebih jelas, mari gunakan ilustrasi konkret. Dari pada mendorong orang lain lalu lepas tangan kemudian, lebih baik kita sarankan padanya, akan lebih baik jika ia mencari informasi mata kuliah apa yang akan ditempuh, siapa saja dosennya, seperti apa bentuk tugasnya, setinggi apa syarat kualitas tugasnya. Ia bisa mencari testimoni dari angkatan senior.


Lalu dari berbagai informasi itu, ia harus menentukan jangkauan kemampuannya. Sumber daya seperti apa yang sudah ia kumpulkan untuk mengatasi semua tanggung jawab. Ingat bahwa tugas kuliah S2 harus dikerjakan individu. Jika ternyata ia belum mampu, apakah ada orang lain yang akan membantu. Pasangan, misalnya, sebab mengandalkan teman tidak baik, mereka sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Minta bantuan joki juga tidak disarankan. Buat apa kuliah jika ujungnya tugas diserahkan ke joki, kecuali memang kuliah hanya formalitas.


Ibarat perang, sebelum memasuki arena, ia harus tahu kemampuan musuh, dan mengukur kemampuan serta perangkat senjata apa yang ia miliki. Konyol jika ia berangkat ke medan perang tanpa cukup informasi. Ia bisa mati sia-sia.


Bagaimana jika persiapan kurang tetapi berbagai faktor mengharuskan ia lanjut kuliah? Katakan padanya: Ia harus rajin belajar! Tidak peduli ia mahasiswa terbaik pada masanya, ia tetap harus rajin belajar! Kuliah tidak hanya mengisi presensi perkuliahan, ia adalah tanggung jawab. Hanya dengan rajin belajar ia akan memiliki refleksi personal atas apa yang ia dapat selama masa perkuliahan. Ia harus meluangkan waktu duduk berjam-jam fokus belajar. Oh, jika ia malas belajar dan entah karena apa tetap harus kuliah, ya sudah... yang penting lulus, sekacau apapun caranya.


Barangkali ia akan menemukan sesuatu yang menarik di kampus. Tetapi jauh sebelum ia masuk dalam ritme baru, sebaiknya kita berhenti menyuruh orang lain kuliah tanpa memberi tahu segala konsekuensinya. Tidak semua orang siap. Kuliah lanjutan butuh persiapan. Tidak baik menjerumuskan orang lain dalam kondisi yang ia tidak siap.


Bagi yang ingin kuliah, siapkan segala hal yang dibutuhkan, dan rajinlah belajar! Meski tidak rajin juga tak masalah, jika memang kau sudah sedemikian terpepet entah apa untuk segera kuliah. Barangkali, kau akan menemukan sesuatu di kampus. Apapun itu.

Aneh

 Kau berada dalam tempat atau kondisi yang kaubenci. Lalu seiring waktu, entah bagaimana, kaumulai terbiasa dengan tempat dan kondisi itu. Pada akhirnya, kau merasa heran, tiba-tiba kau bergantung pada tempat atau kondisi yang kaubenci.

Minggu, 05 Juni 2022

Emosi Pak Sopir yang Naik Turun

Sopir bis itu menginjak gas dalam-dalam, membuat bis melaju kencang dan mengumpati mobil-mobil kecil yang melakukan manufer mendadak. “Tekos!” kata Pak Sopir. Setelah mengumpat ia kembali melempar senyum bersahaja pada segala apa yang dilihatnya. Emosi Pak Sopir ini, kata saya dalam hati, antara stabil dan naik-turun bak roller coaster.


Emosi saat mengemudi, sulit di atur. Setidaknya demikian yang saya alami. Misalnya, saat ada orang mendahului sambil mepet-mepet, saya bisa merasa terganggu; saat kendaraan lain tak mau memberi sedikit jalan, saya jengkel. Dugaan pendek saya banyak sopir jenis ini. Jika dugaan ini benar, jalanan kita menjadi arena tumpukan emosi-emosi negatif. Semua orang bergegas entah kemana dan menganggap jalanan harus berpihak pada mereka. Praktis klakson berfungsi sebagai perpanjangan ekspresi kemarahan, alih-alih menjadi fitur keselamatan.


Di lampu merah perkotaan, nyaris selalu ada bunyi klakson. Seolah memberi peringatan pada kendaraan di depan untuk segera melaju. Bayangan saya, jika klakson itu berupa toa, maka suara yang keluar adalah, “Hei kau yang di depan sana, cepat jalan, sialan!” Sekali kita bad mood di jalan, susah untuk kembali nyaman. Pada titik ini, sopir bis tadi adalah anomali. Saya tidak tahu nama Pak Sopir, tetapi bis itu disebut Laskar Ababil. Kita bisa menyebut si pengemudi Pak Laskar.


Sepanjang perjalanan 167 KM itu, emosi Pak Laskar sulit ditebak—meski emosi dominan, saya kira, adalah positif. Misalnya setelah mengumpat tekos, ia bisa bercakap-cakap santai sambil sesekali melempar tawa. Lalu saya menyadari satu hal setelah saya memandangi wajah Pak Laskar cukup lama: Kerutan di wajahnya itu adalah kerutan karena ekspresi senyum atau tertawa. Garis-garis wajah dengan sendirinya membentuk pose senyum.


Bahkan ketika fokus dan tidak menunjukkan ekspresi apapun, wajah itu bersahaja, berkat kerutan di wajahnya. Kerutan itu benar-benar estetik, pikir saya. kerutan kebijaksanaan—well, saya menyukai istilah ini. Ada perjalanan panjang dari hari ke hari, ada ujian dari hari ke hari, tetapi perjalanan atau ujian itu, dalam pikiran saya, dihadapi Pak Laskar dengan senyuman. Senyuman tersebut seolah stempel terhadap apapun yang sedang terjadi. Sejak melihat Pak Laskar hari itu, ia menjadi sosok ideal, aneh, anomali.


Pak Laskar mungkin sering tertawa dan, ketika mengemudi, memiliki pembawaan tenang. Tetapi ia mudah juga mengumpat, lalu secara mendadak kembali stabil. Dalam hitungan detik, emosi itu bisa berpindah-pindah dari satu ekspresi ke ekspresi lain. Benar-benar anomali. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang tejadi pada Pak Laskar. Sambil menikmati perjalanan, saya memikirkan hal itu.


Urusan mengemudi, bagaimanapun, dapat menunjukkan karakter seseorang. Untuk memahami ini kita perlu meminjam tilikan Daniel Kahneman, yang memiliki dua kluster terhadap sistem berpikir manusia: Sistem pertama nyaris intuitif-spontan tanpa proses menguras energi, dan, kebalikannya, sistem kedua membutuhkan waktu untuk menganalisa—ia membutuhkan banyak sumber daya. Termasuk salah satu hal yang membutuhkan kinerja otak sistem kedua adalah mengemudi.


Kita bisa maklum ia menggunakan sistem kedua sebab mengemudi tidak lain adalah proses menghindari kecelakaan. Ia adalah upaya untuk tetap hidup dan mencapai tempat tujuan se-efisien mungkin. Dengan kata lain, mengemudi adalah urusan nyawa. Jika kita menjadi penumpang, dan mendapati mobil akan mendahului kendaraan lain pada kecepatan tinggi sedangkan kondisi jalanan padat, kita memilih untuk tidak mengganggu sopir, bukan? Kita membiarkan ia konsentrasi penuh. Ia membutuhkan sistem berpikir analitik.


Masalahnya adalah, sistem kedua di atas membutuhkan sumber energi banyak. Jika digunakan terus menerus, ia akan membuat fisik manusia lelah, tentu psikisnya juga. Hal ini berkelindan dengan proses menjaga sikap: Bagaimana tindak-tanduk kita di ruang publik, sialnya, membutuhkan sistem kedua. Anda pernah melihat orang yang sangat cerdas? Anda menilai ia memiliki sikap buruk? Itu karena orang cerdas tadi sudah banyak menggunakan sumber daya otaknya untuk tugas-tugas kognitif, sehingga tidak ada sisa energi untuk digunakan sebagai kompas tindakan.


Nah, mengemudi juga demikian. Karena ia menghabiskan banyak sumber daya energi, sebagian besar sopir kehilangan kendali diri ketika lelah. Mereka mudah mengumpat atau bersusah hati saat kondisi energi menipis. Tindakan menggunakan sistem berpikir kedua, begitu pula mengemudi. Ada hal yang harus dikorbankan saat sumber daya menipis. Dan demi keselamatan nyawa, mengemudi jelas mengambil banyak energi.


Sambil melihat Pak Laskar, saya menebak-nebak, jika ia sudah kehabisan energi, ia pasti akan terus mengumpat ketika sudah lelah. Tetapi, emosi sopir ini berbeda sebab dari awal ia sudah mengumpat sambil tetap tenang. Apa yang terjadi, tanya saya sepanjang sisa perjalanan. Saya tahu, memikirkan Pak Laskar tidak memiliki keuntungan khusus bagi saya, tetapi kepala saya gemar berpikir saat di perjalanan. Dari pada ia berpikir hal-hal aneh, ia lebih baik memikirkan Pak Laskar.


Baru ketika hendak turun, emosi Pak Laskar benar-benar menunjukkan kelelahan. Ia lebih sering diam dan memandang serius pada jalanan di depannya. Jika ada kesalahan sedikit, ia cukup emosional. Aha! Ia sama dengan sopir lain. Rupanya pembawaan tenang itu, simpul saya, berakar dari pengalaman mengemudinya. Mungkin selama bertahun-tahun. Di tambah kepribadian Pak Laskar yang jelas bersahaja, pantas ia memiliki pembawaan sedemikian rupa anomali.


Kesimpulan saya tentu saja hanya otak-atik gatuk. Poin saya adalah ini: Sebagai pengemudi, saya kagum pada Pak Laskar, ia memiliki karakter. Pembawaan tenang, skil mengemudi yang di atas rata-rata, sesekali mengumpat, lalu kembali cekikikan dalam hitungan detik... benar-benar perpaduan anomali. Saat turun dari bis, saya kadang menginginkan kerutan senyum—kerutan Pak Laskar.

Sadar

Pak Churchil bilang yang intinya: Di usia 20 tahun kau akan peduli apa yang dikatakan dan dipikirkan orang lain, di usia 40 kau akan berhenti peduli, dan di usia 60 kau baru akan menyadari bahwa tidak ada yang pernah memikirkanmu sejak awal.