Selasa, 27 April 2021

Mencari Cara PDKT

 Dengan harapan setipis lembar deluwang, saya mengetik kata kunci di Google Book, lalu mesin pencari ini, sial, sesuai harapan tipis itu, tidak menampilkan sesuatu yang saya cari, ialah teknik PDKT bagi pria intover (sengaja ditulis tanpa ‘t’. Sebenarnya saya sudah enggan berdekatan atau menyebut kata introver, tetapi saya tidak bisa menghindarinya sekarang.)

 

Tidak pernah terbayang saya akan mencari buku semacam itu. Masalah mendekati lawan jenis ternyata sangat pelik dan seharusnya beberapa orang, yang telah berpengalaman menjadi buaya—salah satu makhluk paling setia, sebenarnya—berbagi teknik jitu. Saya pernah berhasil mendekati wanita, tentu saja, tetapi dengan cara yang sangat kuno: Tiap hari memborbardir ponselnya dengan pesan, “lagi ngapain”, dan, pelengkap wajib, “sudah makan apa belum”.

 

Demi tuhan, saya dan anda mungkin geli sendiri jika mengirim atau bahkan menerima pesan semacam itu sekarang. Hafid adalah pemberi teknik itu. Ia dulu memiliki banyak pacar, itulah alasan mengapa saya seperti dipaksa alam untuk percaya bahwa teknik itu benar-benar jitu. Sekarang saya tidak pernah bertemu Hafid lagi, seorang yang saya panggil Apet. Mungkin ia punya teknik baru, dan saya masih ingin tahu apakah ia masih memiliki banyak pacar sekarang. 

 

Sebenarnya sejak kecil saya banyak bergaul dengan wanita remaja-dewasa, 15-19 tahun-an. Mereka salah satu sumber pengetahuan saya tentang lawan jenis, termasuk bagian hubungan personal. Tiap hari saya datang ke asrama mereka, dan mereka memberi dongeng romans dari film Bolyywood. Kelas dua SD saya mulai malu berkunjung ke asrama, hingga ketika ayah meninggal—saya kelas empat SD ketika itu, beberapa kawan wanita senior itu ditugasi tidur di rumah menemani saya dan Ibu. Masa itulah mereka meyakinkan saya untuk santai masuk asrama lagi, dan saya mengikuti saran itu. 

 

Mbak Roil adalah orang yang histeris gembira ketika melihat saya, dengan sigap tangannya langsung meraih pipi. Sebelum saya kebingungan harus berbuat apa di sana, para wanita lain juga ikut menyapa saya dengan ramah. Di mata saya, mereka semua adalah Mbakyu, sosok wanita yang selalu sabar menghadapi bocah. Yeah, mungkin kesabaran mereka adalah kesabaran karena saya bocah yang baru ditinggal ayah. 

 

“Sudah besar kok masih masuk asrama,” kata Mbah. Saya enggan merespon dan memilih mendengarkan Mbah Putri yang memberi banyak kebebasan. 

 

Di masa-masa itulah, saya dekat dengan Mbak Rum, Mbak Sumila, Mbak Siti, Mbak Halimah.... dan Mbakyu-mbakyu lain. Mereka turut membesarkan saya. Karena bergaul dengan remaja putri yang akrab dengan kisah asmara—anda tahu para remaja, bukan?—saya mulai dekat juga dengan hal-hal yang berbau asmara. Padahal saya masih kelas 4 SD! Astaga.

 

Sialnya, satu tahun kemudian, kawan-kawan saya di sekolah mulai bermain-main dengan asmara. Didik dan Slamet adalah dua sohib yang sedang jatuh cinta. “Biar aku yang tulis suratnya,” suara saya menyambar lantang, lebih PD dari kemampuan saya. Tentu saja, ketika menulis, saya konsultasikan surat itu pada para Mbakyu andalan saya. Mereka memberi masukan disana-sini sambil cekikian. Lalu saya memutuskan bentuk final surat itu. Dan akhirnya... surat saya berhasil. Didik diterima secara resmi!

 

Well, saat itu kami masih kelas lima SD. Tahu apa anak kelas lima SD tentang cinta? Tidak ada. Kami hanya senang-senang saja, mencoba meniru apa yang kami lihat dari televisi. Lalu saya menulis surat cinta Slamet untuk pujaan hatinya. Kali ini surat saya tidak terlalu berhasil, meski tidak terlalu gagal. Slamet tidak ditolak tetapi juga tidak diterima. Entah apa namanya, yang jelas mereka cukup sering terlihat ngobrol bersama. 

 

Mengetahui saya sering menulis surat cinta, para Mbakyu mulai menyerang saya dengan pertanyaan siapa gerangan gadis yang saya suka. “Tidak ada,” kata saya. Karena memang tidak ada. Tetapi mereka terus menjejali dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Hingga suatu hari, kawan-kawan saya datang ke rumah untuk mengerjakan PR. Kebetulan para Mbakyu juga ada di rumah untuk bantu Ibu bersih-bersih. Para Mbakyu itu mulai menebak-nebak siapa gerangan di antara kawan itu yang mereka pikir cocok dengan saya.

 

Dan mereka mendapat satu nama, dan mereka kian sering menyebut nama itu di depan saya dengan tambahan kalimat, “cie...ciee....” dan penyebutan nama, sekaligus tekanan lain, tiba-tiba membuat pikiran saya tertuju juga pada kawan saya itu, pikiran di kepala lama-lama membuat asosiasi ngawur bahwa mungkin gadis itu benar-benar cocok untuk saya.

 

Sialan! Maka saya tersengat cinta!

 

Tetapi, tentu saja, ketika itu saya tidak paham sama sekali tentang apa itu cinta. Jika dilihat dari masa sekarang, itu hanya hasrat untuk... ya suka-suka saja. Dan hasrat-hasrat “suka-suka saja ini”, juga mendesak saya untuk menulis surat cinta! Maka dengan segala kenaifan, saya berusaha membuat surat cinta terbaik di seluruh dunia. Saat itu, banyak para Mbakyu yang menjalin hubungan asmara diam-diam dengan para Kangmas. Saya sering mereka titipi surat, karena saya termasuk orang yang bebas keluar masuk asrama para Mbakyu. “Jangan bilang-bilang ke Umi, atau Mbah,” kata mereka.

 

Kadang-kadang sebelum surat itu mendarat pada sang tuan, beberapa kali saya buka terlebih dahulu. Saya melihat bagaimana kalimat-kalimat asmara ditulis. Saya selalu menghirup aroma wangi dari lembaran itu. Surat-surat itu dilumuri parfum rupaya. Jika anda belum tahu, inilah gaya pacaran ketika belum ada teknologi ponsel. Saya menjadikan semua itu sebagai bahan tulisan surat milik saya. Surat terbaik di seluruh dunia.

 

Saya menulis surat cinta dengan bahagia. Berbekal beberapa kali menulis surat cinta yang sukses untuk orang, berbekal ilmu dari surat para Kangmas dan Mbayu yang saya intip, saya tentu percaya diri akan sukses. Sesekali saya menggumam bahwa inilah surat cinta terbaik di dunia. Surat itu saya lumuri juga dengan parfum. 

 

Dan surat cinta terbaik di dunia, versi saya kelas lima SD itu, berbalas dengan surat cinta paling menyedihkan di seluruh dunia, juga versi saya ketika kelas lima SD. Ialah surat balasan berisi penolakan. Sedih saya. Itulah pertama kali saya merasakan penolalakan. Cukup menggalaukan. Jika anda geli membayangkan anak kelas lima SD galau karena penolakan cinta, maka saya lebih geli lagi. 

 

Saya kapok, dan tidak berani lagi mendekati lawan jenis. Pada masa berikutnya, satu hubungan yang saya jalani adalah hubungan di mana saya mendapat respon positif dari si dia, jauh sebelum saya mengungkapkan cinta. Dan pola itu tetap bertahan hingga saya menginjak umur sekarang. Dengan demikian, saya tidak pernah tahu bagaimana cara mendekati wanita. 

 

Sekarang saya sadar tidak memiliki ilmu yang elegan tentang hal tersebut dan itulah mengapa saya mencari-cari referensi yang bagus. Saya juga bisa menjadikan ilmu PDKT ini referensi jika sewaktu-waktu saya menulis cerpen tentang peliknya kisah asmara. Sayangnya Google Book tidak memberi jawaban, video di YouTube juga banyak yang tidak cocok karena kurang elegan, dan Hafid tidak mudah ditemui maupun dihubungi.

 

Sementara saya harus mempertahankan pikiran bahwa menulis surat mungkin adalah cara terbaik bagi seorang yang selalu kikuk masalah cinta.

Jika

 Jika kau share pernyataan tentang tidak perlu galau tentang masa depan, bisa jadi kau yang paling khawatir tentang masa depan dan berusaha menutupi dengan pernyataan citraan.

 

Jika kau share pernyataan bahwa garis finish tiap orang berbeda-beda, bisa jadi justru dirimu diam-diam merasa jauh tertinggal atas pencapaian orang-orang.

 

Jika kau share pernyataan bahwa jomblo itu asik dan memiliki banyak kesempatan bersenang-senang, bisa jadi kau malah orang yang tak tahu cara mengatasi kesepian dan mendamba pasangan.

 

Apa yang kau bagikan seringkali cerminan masalahmu sendiri. Jika kau membagian pernyataan-pernyataan tanpa cara yang elegan, semua hanya tampak sebagai topeng, terutama bagi orang-orang yang paham tentang citraan. 

Sabtu, 17 April 2021

Tahlilan dan Beban Senyap Kelas Bawah

 Saya memasang telinga dengan serius dan memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman ketika mendengar kalimat ironis yang keluar dari mulutnya: Bahkan kematian pun, di sini, butuh biaya banyak.

 

Kami duduk di bawah pohon mangga di depan rumah sambil menikmati rengginang. Sinar matahari sangat terik tetapi itu bagus untuk padi yang sedang kami jemur. “Di rumah saya,” katanya dalam bahasa Jawa, “acara tahlil hanya disuguhi camilan. Sudah cukup dan praktis bagi tuan rumah.”

 

Ia datang dari Kudus, Jawa Tengah, dan menetap di daerah saya setelah menikah dengan sepupu saya. Hampir setahun lebih bibi, atau ibu mertuanya, meninggal. Itulah perkara yang memukul kesadarannya, bahwa jatuh ketiban tangga benar-benar bisa terjadi ketika kita ditinggal meninggal orang dekat, terutama bagi orang-orang dengan ekonomi kurang baik.

 

Kita tahu, kebanyakan dari warga Indonesia adalah muslim, dan di daerah saya, tradisi yang kami terima adalah ajaran NU, di mana salah satu warisannya adalah mengadakan tahlil: Doa bersama untuk seseorang yang baru meninggal. Di desa saya, dan di banyak daerah lain di seluruh pulau Jawa, tahlil diadakan selama tujuh hari kematian dan dihadiri cukup banyak tetangga. Sebagai tuan rumah, untuk merawat nilai kewajaran dalam menerima tamu, mereka perlu menyediakan suguhan, biasanya berupa makanan.

 

Anda tahu, jika tahlil dihadiri setidaknya 100 orang, tuan rumah butuh 10 kg. beras, dan butuh biaya dua kali lipat untuk mencukupi lauk. Katakanlah, untuk beras dan lauk, tuan rumah butuh 300 ribu tiap malam. Padahal di kampung, jumlah tetangga yang hadir biasanya lebih dari seratus. Belum di tambah tamu yang terus berdatangan di sepanjang hari. Belum ditambah kebutuhan untuk membuat suguhan-suguhan ringan. Belum tetek bengek lain.

 

Kakak sepupu saya menghabiskan biaya sekitar 15 juta selama seminggu. “Untung saya masih punya sejumlah tabungan, pun ada beberapa saudara yang membantu,” katanya, “tetapi tetap saja...”

 

Tetapi tetap saja itu tergolong cukup mahal bagi orang kecil, lanjutnya. Ia harus berhutang sejumlah uang untuk menutupi kekurangan. Sambil meneguk minuman di bawah pohon mangga itu, saya melihat matanya berkilat-kilat cukup sedih. Ia ingin pulang ke kampung halaman tetapi tidak pernah memiliki cukup biaya untuk memboyong seluruh anak istri barang beberapa hari saja. Tabungan itu ia maksudkan utuk pulang kampung. Tetapi sesuatu terjadi.

 

Sebagai orang yang mengenalnya, dan melihat langsung bagaimana ia sedih ditinggal bibi, saya tahu, sebenarnya ia tidak menyesali mengeluarkan “banyak” uang karena meninggalnya bibi. Ia kecewa dengan keadaan. Ia kecewa dengan orang-orang yang menggunjing di belakang jika sekiranya ia tidak memberikan suguhan yang patut. Ia kecewa pada mereka yang tidak berempati padahal ia sedang berduka. 

 

Berduka adalah satu hal, dan menatap realitas ketika berduka adalah hal lain. Yang kedua seringkali membuat yang pertama makin pelik. Semacam menumpuk kesedihan di atas kesedihan, atau, dalam bahasa kakak sepupu saya yang ia dengar dari berkali-kali dari orang lain di Indonesia, sudah jatuh malah ketiban tangga. 

 

Saya dan anda barangkali telah lejar mendengar dalil-dalil bahwa tahlil sahih dilakukan secara teologis, bahwa tahlil merupakan tradisi yang baik untuk almarhum, bahwa tahlil adalah tradisi ulama kita. Tahlil menyimpan niat baik, dan struktur sosial kita memungkinkan acara itu menjadi solidaritas penguat bagi rumah duka: Orang datang takziyah untuk menguatkan mental keluarga berduka, sambil—umumnya—membawa beras dan oleh-oleh lain. Tetapi siapa yang pernah melakukan kajian serius dampak tahlil terhadap ekonomi warga NU kelas bawah? 

 

Saya pikir kajian ini perlu dilakukan, untuk membuka mata kita secara menyeluruh, bahwa acara ini, dengan tradisi suguhan sedemikian rupa, telah memberatkan saudara-saudara kita yang tengah berduka. Atau ulama-ulama kita sepertinya perlu menyampaikan pada masyarakat luas, bahwa suguhan ketika tahlilan tidak perlu sedemikian memaksakan.

 

Mungkin kita semua pernah bertanya-tanya, bukankah para tokoh masyarakat bisa memberikan pengertian bahwa suguhan makanan, atau segala hal terkait tradisi meninggalnya seseorang, bisa menggunakan hal-hal sederhana yang minim biaya?

 

Bisa, bahkan terlalu bisa. Tetapi ada beberapa hal yang perlu dilihat. Pertama, tidak mudah mengubah tradisi, sebelum masalah dalam tradisi tersebut mau dipahami dan diterima bersama, sebelum akhirnya menentukan solusi. Beberapa orang mau memahami, tetapi tidak mudah menerima, jika demikan, titik solusi tidak pernah dekat. Kedua, orang-orang kaya yang tidak terbebani dengan biaya, tetap akan melaksanakan tradisi suguhan tahlil sebagaimana biasa. Hal ini akan memberikan beban mental bagi kelas bawah.

 

Karena itu, bagi saya, perlu ada kajikan serius dan gerakan para tokoh yang serentak untuk “masalah” ini. Tanpa itu, tetap akan ada orang-orang yang terbebani sedemikian rupa ketika keluarga meninggal. Dan akan ada cerita-cerita serupa, di waktu lain, di tempat lain—meski tidak di bawah pohon mangga, dengan suara rendah, hati remuk, dan air muka redup-redam, tentang tahlilan.