Senin, 06 Oktober 2025

Kognetariat di Bawah Langit Kampus

Kamis, 10 Oktober 2024, saya bangun seperti biasa, meski “biasa” itu sebenarnya lebih mirip gelitikan semesta seumur hidup daripada rutinitas. Setelah berduel singkat dengan pekerjaan rumah tangga, piring kotor yang menatap saya dengan tatapan penuh dendam, misalnya, saya bergegas ke kampus. Kelas pertama dimulai pukul 07.40 dan tidak boleh ada yang terlambat di kelas ini.


Kelas pertama hari itu adalah Literasi Digital, proyek massal dengan 90 mahasiswa—yang terbagi menjadi tiga kelas—dan tiga pengajar yang ditugaskan melahirkan artikel penelitian. Proyek ini cukup ambisius dengan bayangan tiga kelas ini beroperasi seperti lab-parbik tulisan.


Kami memulai dari “roadmap” riset, istilah mewah untuk peta yang segera dipenuhi berbagai jalan buntu. Dari roadmap, mereka harus menurunkannya menjadi topik, judul, metode, lalu artikel penuh. Rangkaian ini memang mirip sebuah maraton yang bahkan pelari profesional mungkin akan ngos-ngosan.


Belum sempat bernapas lega, kelas Academic Writing sudah menanti: 2 SKS yang berlangsung dari 09.20 hingga pukul 11.00.


Hari itu saya masuk kelas Academic Writing tanpa PPT dan membuka website kampus dan kementerian sebagai contoh kasus paragraf-paragaf. Ternyata membaca tulisan mereka lebih berbahaya daripada minum kopi basi: kalimat pendek tak lengkap yang membuat frustasi, kalimat panjang penuh keruwetan—mungkin begitu hidup penulisnya, makna hilang yang pergi entah kemana, dan logika yang tampaknya ikut cuti liburan.


Kami kemudian membedah mengapa tulisan ini jelek dan membuat kami ingin memanggil tukang pijat refleksi bagi otak atau mengapa tulisan ini cukup bagus dan membuat kita punya harapan terang tentang masa depan Endonesa meski ada pula yang terpaksa saya edit langsung di depan kelas—dengan memancing partisipasi mahasiswa.


Academic Writing berlalu dan kelas berikutnya yang berlangsung selama 11.00-13.30 tentang Sejarah Islam di Spanyol sudah menunggu. Tetapi, saya harus keluar lebih cepat demi acara fakultas, dengan alasan suci: salat sekaligus menghadiri acara pengelolaan jurnal. Pukul 12.50 saya titipkan diskusi via grup, lalu bersyukur karena mahasiswa tetap bertahan sampai 13.30—suatu keajaiban kecil di tengah abad digital, ketika konsentrasi kita mudah bubar sejak menit ketiga.


Pukul 15.09 atasan mengirim pesan: “Bisa antar dan menemani Prof. G setelah beliau menguji disertasi?” [huruf G bukan inisial asli. Jika saya menulis inisial lengkap, apalagi nama terang, kemungkinan besar Anda akan langsung mengenalinya.]


Tentu saja bisa—jawaban default untuk atasan—meski saya masih terkurung acara dan meminta waktu tambahan. “Santai saja,” katanya, kalimat yang bisa saja berarti tidak santai sama sekali. Setelah mencatat komentar reviewer dan membalas pesan mahasiswa yang mampir seperti iklan, akhirnya pukul 15.50 kami meluncur menjamu Prof. G. Di situ saya baru sempat makan, karena rupanya manusia memang tidak bisa hidup hanya dengan laptop.


Pukul 16.24, Mas Ahmad Muhammad—teman karib sekaligus misteri berjalan—menelepon: “Aku sudah di kampus, menuju fakultas.” Sebelumnya, saya sudah memberi kabar bahwa harus antar Prof. G ke stasiun. Entah dorongan apa yang membuatnya tetap datang; mungkin naluri intuitif yang tidak terlalu bisa saya percaya sebab ia belum sepenuhnya sufi. Setelah urusan selesai, saya memecah jalanan menuju kampus dan tiba pukul 18.19. Kami menuntaskan pekerjaan yang entah apa, lalu ia pulang dan saya menuju kantor yang sepi seperti kota Pripyat. Merebahkan pinggang sebentar jadi hadiah lotre hari itu, sebelum kembali ke lembur administrasi, pekerjaan yang lebih setia daripada kawan sekalipun.


Saya kira itu sudah cukup untuk satu Kamis, tetapi Kamis-Kamis lain kadang datang lebih dramatis—seolah hari itu punya dendam pribadi.


***

Rabu sore, 24 September 2025, sebuah telepon masuk untuk meminta saya menjadi moderator acara seminar prodi. “Besok saya full mengajar dari pagi hingga sore,” kata saya. Tetapi sepuluh menit kemudian flayer dan lokasi sudah dikirim seolah saya sudah tanda tangan kontrak. MC belum ada, moderator belum ada, penyambut tamu juga nihil, dan mungkin meja-kursi pun masih bingung harus ke mana.


Lalu Kamis pagi tiba dan pagi-pagi buta saya sudah menunggu mahasiswa di ruang baca. Dalam konteks ini, saya terlibat sebagai duet tim mengajar bersama Pak Mir (bukan nama asli) dan beliau datang belakangan, itupun untuk memberi instruksi pengalihan perkuliahan ke acara seminar prodi. Akhirnya, saya menjadi moderator—padahal saya baru menemukan seorang kawan yang menyanggupi pada detik-detik akhir. “Sampean saja, Mas. Kawal mahasiswa kelas ini untuk bertanya tentang jurnal.”


Kelas petama pagi itu akhirnya beralih ke ruang seminar. Sementara kelas 09.20 masih diampu Pak Mir—sendirian.


Perlu diketahui, menjadi moderator adalah persoalan “kecil”: kita mengenalkan narasumber, menjelaskan konteks dan arah diskusi, mengawal tanya-jawab, serta mengatur waktu. Masalahnya, hari itu saya belum sempat sarapan dan jantung saya berdetak tanpa ritme normal. Yang terakhir akan menjadi cerita tersendiri nanti. Intinya, saya sedang tidak baik-baik saja.


Ketidakbaik-baik-sajaan tersebut harus tetap menjadi baik-baik saja karena satu dan dua hal.


Narasumber pertama yang saya moderatori selesai kisaran pukul 11.00 dan saya mengabari Pak Mir karena beliau perlu mengawal narsum tersebut sebelum pulang: beliau bedua adalah kawan karib. “Ayo kita kembali ke kelas,” kata saya pada mahasiswa yang tadi saya ajak ke forum ini. Sedangkan kelas kedua yang diampu Pak Mir, ternyata, masih belum beres. “Masih ada dua naskah mahasiswa yang belum saya review, apa bisa sampean lanjutkan, ya?” tanya Pak Mir. 


Saya langsung menuju kelas, menyelesaikan bimbingan kepada naskah dua mahasiswa, lalu memasang wajah diplomatis meminta kerelaan mereka untuk segera keluar karena jatah jadwal untuk kelas pertama harus saya bereskan juga. Kelas baru selesai pukul 12.57 dan kelas ketiga sudah menanti pada pukul 13.00.


Kelas pertama dan kedua bernama Publikasi Ilmiah, kelas ketiga bernama Literasi Digital dan semuanya punya misi sama: memeras otak sampai tinggal ampas. Dosen pusing memberikan review, mahasiswa pusing menerima hasil review. Di kelas Literasi Digital, saya menjadi penjaga “gawang” objek riset mahasiswa dan menentukan apakah mahasiswa bisa lolos untuk masuk tahap berikutnya di kelas Pak Mir. Pukul 15.47 tubuh saya hampir tumbang dan sarapan adalah keputusan paling bijak di bawah langit saat itu. Setelah makan, saya bergabung di kelas Pak Mir yang berisi mahasisa "alumni" kelas saya. Dan kami memutuskan membubarkan kelas pukul 16.15. Karena sudah sore? Bukan: mahasiswa lain sudah antre di sekitar kantor.


Saya izin salat Ashar lantas menyadari lupa salat Zuhur! Astaga. Saya menepuk jidat dan menarik nafas dalam-dalam sedangkan ritme jantung masih tampak tak bersahabat.


***

Hari-hari saya, dan jutaan hari-hari orang lain di bawah langit, kira-kira berjalan seperti itu—dan pelan-pelan menjadi aktivitas “normal”. Mereka mungkin tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi, atas apa yang dijalani, atas apa yang diingini, atau, dalam bahasa Marx: teralienasi.


Sekarang kita tahu bahwa alienasi, ternyata, bukan monopoli proletariat. Marx membayangkan kelas pekerja menjual ototnya demi upah, tetapi di zaman ini yang dikuras justru pikiran. Toffler menyebut mereka “kognetariat”, Piliang menambah bumbu postmodernnya: kelas pekerja intelektual yang nasibnya sama saja: menjual daya pikir sampai kepala mendidih.


Well, jika proletar letih mengangkat besi, kognetariat letih mengangkat deadline.


Dan kita tahu, sosok seperti Bard dan Sȍderqvist menyebut kognetariat memiliki berjibun keuntungan sebab mereka—atau kita—selalu bisa “memperbarui” diri melalui jaringan informasi. Tetapi, Pak Bard dan Pak Sȍderqvist juga perlu tahu bahwa kelebihan ini menyimpan paradox: subjek kognetariat bisa tenggelam dalam arus informasi, mengikuti logika informasi, dan hilang dalam arus jaringan… tanpa mampu melakukan proses refleksi, mengajukan kritik, dan mengolah kesadaran.


Lalu, kesadaran semu menjangkit dan potensi kesadaran yang lebih dalam tereduksi menjadi sekadar respons instan terhadap aliran data. Dengan kata lain, alih-alih menjadi aktor yang memaknai informasi, kognetariat justru rentan tereduksi menjadi perpanjangan dari algoritma yang mereka ikuti. Dengan kata lain lagi, kita semua berpotensi menjadi mesin-mesin modern.


Alienasi di satu sisi, dan beban kognetariat pada sisi lain, menciptakan lingkaran setan: kerja kognitif dijalankan secara repetitif dan mekanis, bukan reflektif dan kreatif. Aktivitas berpikir justru berisiko mengalami stagnasi dan penumpul­an, terutama ketika kesadaran kritis terhadap proses kerja itu sendiri absen.


Dan semua bisa dimulai dari orang-orang senasib dengan saya, yang sama-sama mengalami Kamis 10 Oktober 2024, atau Kamis 25 September 2025, serta hari Senin, Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu, Minggu, yang juga sama saja dengan kedua Kamis itu. Lantas, sudah kita bertanya diam-diam: apakah kita masih manusia yang berpikir, atau sekadar mesin yang menandai tanggal di kalender?

Oh

Kata dia:

Jalan yang salah tidak akan menjadi benar hanya karena kamu terus melangkah di atasnya. Berhenti dan berbalik mungkin terasa berat, tapi itu menyelamatkanmu dari perjalanan yang tak pernah kamu inginkan.


Oh.

Senin, 09 Juni 2025

Baru Sadar

Kerja, katanya, untuk mencari makan.

Tetapi pekerjaan justru membuat kita lupa makan, karena rasa lapar, kadang, teralih oleh kesibukan.

 

Kerja, katanya, demi keluarga tercinta.

Tetapi pekerjaan yang perlahan menjauhkan kita dari mereka—hingga hanya foto yang jadi pengingat kehadiran.

 

Kerja, katanya, untuk masa depan anak-anak.

Tetapi anak-anak tumbuh ditemani layar, sementara kita sibuk mengejar hari esok yang tak kunjung sempat hadir.

 

Kerja, katanya, untuk punya rumah sendiri.

Tetapi rumah itu lebih terasa seperti tempat persinggahan tidur, bukan tempat pulang yang penuh jiwa.

 

Kerja, katanya, agar bisa tenang di hari tua.

Tetapi hari tua kadang tak datang, sebab tubuh lebih dulu rubuh oleh lembur.

 

Kerja, katanya, untuk mengembangkan diri.

Tetapi diri yang dikembangkan adalah versi yang disesuaikan dengan ekspektasi pasar, bukan suara hati.

 

Kerja, katanya, agar merdeka secara finansial.

Tetapi yang terjadi: orang justru diperbudak waktu, digerakkan oleh tagihan, dikendalikan oleh gaji bulanan.

 

Kerja, katanya, adalah panggilan.

Tetapi banyak yang tidak berani bertanya: siapa yang sebenarnya memanggil?

 

Namun,

Tak bekerja lebih menakutkan.

Ia mengantarkan

pada

Kenestapaan, dan, mungkin, kematian.

 

Dunia, hari ini, masih ramah?

Layar

 Layar menyala,

wajah tertinggal di rumah—

sunyi di kantor.

Selasa, 01 April 2025

Dialog dengan Semesta yang Kurang Tidur

Pagi itu saya bangun, bukan karena alarm, tetapi karena bermimpi sedang menghadapi ketua LPM dan dicecar sana-sini karena borang akreditasi saya hancur lebur.


Saya meminum air putih, menatap langit-langit kamar, dan berkata, “Semesta, bolehkah hari ini aku melanjutkan tidur?”


Semesta menjawab lewat bunyi notifikasi: Reminder: seminar pukul 10, revisi artikel pukul 12, dan kelas diskusi pukul 3.


Saya menghela napas. “Tuhan,” bisikku. “Apakah ini hidup yang Engkau janjikan bagi pencari ilmu?”


Dan Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya yang agung, menjawab lewat suara dosen senior dalam igauan saya: “Itu bukan hidup, Nak. Itu tridharma.”


Sebagian orang terjebak dalam rutinitas kantor. Saya? Saya terjebak dalam labirin PowerPoint, daftar pustaka, dan mahasiswa yang membaca abstrak sebagai pengganti keseluruhan jurnal.


Diskusi kelas memang menyenangkan—semacam gladiator arena intelektual, hanya saja dengan lebih banyak kutipan Foucault dan lebih sedikit darah.


Tapi jujur saja, kadang saya bertanya: apakah saya mengajar, atau saya sedang mengisi ulang baterai semangat akademik yang bocor perlahan tiap semester?


Semesta tertawa, “Kau buruh-akademisi. Kau hidup di antara ilham dan Google Scholar.”


Dan saya mengangguk, karena tak bisa membantah. Saya mencintai pekerjaan ini. Tapi kadang cinta juga butuh tidur siang dan beasiswa penelitian yang benar-benar cair.


Lalu saya berdiri, ambil tas, dan berkata pada diri sendiri, “Mari kita pergi. Ilmu tidak akan menyebar sendiri.”


Semesta menimpali, “Dan jangan lupa: hari ini kau jadi moderator juga.”


Saya tertawa—tertawa seperti orang waras yang tahu persis ia sedang kelelahan.


Minggu, 23 Februari 2025

Salah Rasa, Salah Persepsi, Tetapi Menyenangkan

Saya pikir kita semua pernah mengalami kejadian aneh yang membuat kita mempertanyakan “apakah saya tidak kompeten atau dunia yang terlalu rumit”. Sebuah dilema sederhana yang biasanya muncul saat kita kehilangan kunci tetapi ternyata ada di tangan sendiri. Dalam kasus saya, ini terkait dengan eror lidah.


26 November 2024 Bu Nyai Ibad menanyakan apakah saya ada di kantor setelah coblosan pilkada dan saya menjawab ada di kantor. Ia mengetik pesan instruksi yang tampak sederhana namun mengandung potensi kehebohan: pergi ke pos satpam ketika sudah senggang. “Aku ngirim makan siang, tapi masih di jalan,” katanya. Saya menjawab istighfar sebab ia benar-benar mengirim makanan setelah beberapa kali saya mencegahnya. Dan di luar sedang turun hujan dengan kadar mengerikan yang membuat saya berpikir apakah sebaiknya membuat bahtera Nuh?


Saya mencegah ia mengirim makanan dengan alasan logis-sederhana: di kantor banyak orang. Apa jadinya jika makanan dari seorang perempuan datang di tengah bapak-bapak yang sudah berpengalaman dalam ngecengin bocah jomblo? Saya juga berpikir bagaimana bisa menjelaskan pengiriman ini dengan kalimat yang tidak berakhir seperti bab pembuka novel konflik rumah tangga yang serba dramatis.


Namun, saat pesan dari Bu Nyai muncul bahwa Pak kurir online sudah dekat kampus, satu hal menjadi jelas: takdir telah diputuskan. Makan siang ini tak lagi bisa dicegah, seperti hujan, seperti borang, seperti kehidupan itu sendiri.


Untungnya hujan agak sedikit reda untuk manusia bisa keluar tanpa merasa seperti pemeran utama dalam adegan film bencana. Saya melangkah keluar dari kantor dan menuju pos satpam. Ini perjalanan pendek sekitar 50–70 meter, tetapi terasa seperti ekspedisi ketika Anda diliputi rasa keraguan tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya.


Sesampainya di pos satpam, seorang kurir berjas hujan putih sedang berteduh. Saya menghampirinya dengan sopan, memperkenalkan diri dengan singkat untuk mengetahui bahwa sayalah tujuannya ia tiba di sana. Setelah mendengar nama saya, ia hanya mengangguk dan dengan tenang menuntun saya ke motornya. Saya—seperti penerima paket pada umumnya—menunggu dengan wajar, mengantisipasi satu bungkus nasi bakar yang akan segera muncul dari dalam bagasi atau kantong plastik yang menggantung.


Namun tidak ada satu bungkus nasi bakar. Bahkan tidak ada satu bungkus apapun. Sebaliknya, kurir itu menunjuk ke sebuah kresek putih jumbo yang berdiam tenang di bagian tempat kaki motor maticnya. Saya memandangnya dengan skeptisisme seorang dosen penguji dalam persidangan tugas akhir.


“Semuanya, Pak?” tanya saya, berharap ini adalah kesalahpahaman belaka. Barangkali ia salah alamat, atau lebih baik lagi, ini hanya lelucon kosmik yang sebentar lagi akan berakhir. Tapi tidak. Kurir itu, dengan ekspresi profesional yang nyaris filosofis, hanya menjawab, “Saya hanya menerima tugas ini, Mas.” Sebuah jawaban yang, jika direnungkan hari ini, juga bisa digunakan untuk membela diri dalam hampir semua situasi kehidupan. Terutama dalam kehidupan para politisi.


Anda tahu, dalam akrobatik politisi kita belakangan, ada gelagat yang membuat kita heran sepenuh hati dan berpikir bahwa politik adalah seni untuk membuat orang percaya bahwa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.


Kembali soal nasi bakar. Karena naluri bertahan hidup saya menuntut jawaban lebih konkret, saya menelpon Bu Nyai Ibad. Di ujung telepon, hanya terdengar tawa terkekeh dan menyadarkan saya bahwa manusia memang sering kali lebih menikmati kejutan yang mereka buat untuk orang lain daripada yang mereka alami sendiri.


“Nggak banyak itu,” begitu kira-kira respons Bu Nyai, dengan nada terlalu santai untuk seseorang yang baru saja mengirim cukup banyak nasi bakar untuk dapat dibagi kepada sekelompok demonstran.


Saya mengambil kresek putih yang berisi 15 nasi bakar dan masih diliputi perasaan kagok, sehingga lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Kurir. Saya harap beliau tidak menilai saya sebagai manusia tanpa tata krama. Hanya saja ada momen-momen dalam hidup ketika otak terlalu sibuk memproses absurditas keadaan sehingga urusan etika dasar menjadi korban pertama.


Sambil menenteng kresek jumbo, saya melangkah menuju fakultas dan menembus grimis dan merasa seperti seorang pedagang kaki lima yang salah lokasi. Beberapa mahasiswa menawarkan bantuan, mungkin karena mereka melihat ketidakseimbangan gravitatif antara tubuh saya dan kresek jumbo. Mereka mendapat jawaban tidak perlu membantu.


Saya langsung membagikan nasi kepada para dosen di kantor. “Njenengan berkenan varian apa, Pak?” tanya saya pada salah satu dosen dan berusaha memberikan pilihan se-elegan mungkin, seolah ini makanan surgawi. Beliau menjawab apa saja varian yang tersedia dan saya memperhatikan bungkus nasi dengan penuh percaya diri: D pasti daging, A pasti ayam, dan T, tentu saja, telur. Sebuah kode yang tampak begitu logis sehingga tidak ada ruang untuk meragukannya.  “Saya mau telur saja,” katanya, dan saya memberi sebuah nasi bakar denga lauk telur.


Setelah semua nasi telah terbagi seadil mungkin, masih tersisa satu nasi varian telur. Saya mengirim pesan ke Ibad bahwa semua dosen sepakat nasi bakarnya enak. “Aku siang tadi makan daging, beberapa jam kemudian nyoba yang telur karena sisa satu,” tulis saya.


Ibad menjawab dengan nuansa memastikan, “Kok telur? Aku pesan ayam, daging, dan ikan.” Ia mengakhiri pesannya dengan emot menangis. Lalu ia mengirim tangkapan layar pesanan nasi bekar: Dading, ayam, tongkol. Oh, ternyata T itu bukan telur, tetapi tongkol. Sepertinya ia menertawai saya sebab bahkan setelah memakan nasi bakar tongkol saya tetap menganggap bahwa itu adalah nasi bakar telur.


Saya terdiam. Ini bukan hanya kesalahan kecil dalam membaca kode. Lebih dari itu, ini adalah inkompetensi lidah. Anda tahu, saya sudah memakan tongkol dan masih meyakininya sebagai telur. “Sepertinya aku sudah sampai pada level buta kode huruf kuliner,” pikir saya. Oh, well, tentu saja saya juga buta membaca kode perasaan wanita. Apa yang Anda harapkan dari seorang yang tidak mampu membedakan telur dan tongkol? Menebak-nebak apa kesalahan saya sambil Anda tetap ngambek? Bisa ngebul kepala ini.


“Maaf, tapi PARAH,” tulis Bu Nyai Ibad. Dan, yang mengkhawatirkan, ini bukan kejadian tunggal.


Jumat kemarin Pak Faiz (bukan nama sebenarnya) membawa dua bungkus susu sapi segar. Saya dan Pak Nuril (bukan nama sebenarnya) menyambut dua bungkus ini dengan antusias. “Coba kopinya ditambah susu ini, Pak,” saran saya kepada Pak Nuril yang sedang menikmati kopi Dampit andalannya. Di kantor, setidaknya ada tiga jenis varian kopi yang tidak pernah saya cicipi satupun. Bukan karena sombong, tetapi karena perut saya memiliki hubungan yang lebih buruk dengan kopi dibandingkan hubungan diplomatik negara yang sedang bersengketa.


Pak Faiz mulai meracik, ialah satu sendok kopi, lalu susu segar dituang perlahan dan menghasilkan warna yang menarik seperti video iklan kopi premium. Karena tertarik, saya segera mengikuti jejaknya. Saya ingin menikmati apa yang tampaknya menjadi minuman kelas dunia, ialah kombinasi dari pahitnya kopi dan lembutnya susu.


Tak lama kemudian Mbak Dini datang dan melihat cangkir kecil yang baginya tak biasa menjadi minuman saya dan ia bertanya minuman apa itu. “Kopi susu,” jawab saya mantap dan bangga.


“Kamu bisa minum kopi?” tanyanya, dengan nada yang hampir terdengar seperti, “Kamu bisa naik sepeda roda dua sekarang?”


“Bisa. Ini kopinya. Niru Pak Faiz,” jawab saya penuh kebanggaan sambil menunjuk toples berisi bubuk kopi yang baru saya gunakan. Ini momen langka di mana saya merasa memiliki wewenang dalam perbincangan tentang kopi.


Pak Nuril menoleh dan menjawab dengan nada iba bahwa isi toples itu bukan kopi, tapi gula aren. “Berarti itu bukan kopi susu, Mas. Tapi susu aren,” kata beliau.


Lima orang di kantor itu tertawa kencang menyadari kecupuan lidah saya. Jika beliau-beliau tahu soal telur-tongkol, mungkin saya akan dijuluki si lidah mati. Anda tahu, ini adalah jenis kebodohan lidah pada level puncak.


Tetapi, kalau boleh jujur, tanpa tendensi apa pun—dan saya bersumpah ini bukan upaya membenarkan kebodohan lidah saya—saya cukup menyukai lidah seperti ini. Maksud saya, ia begitu polos, begitu gampang ditipu oleh makanan biasa yang tiba-tiba terasa luar biasa. Ini semacam bakat neriman.


Bahkan, kalau dipikir-pikir, cerita sehari-hari saya kadang seperti nasi bakar ini: salah label, tetapi tetap bisa dinikmati. Tidak peduli apakah itu ayam, daging, atau tongkol yang menyamar menjadi telur, yang penting perut kenyang dan pengalaman bertambah. Kalau lidah ini menipu saya, maka ini satu-satunya bentuk penipuan yang saya relakan dengan senang hati. Hal ini mungkin mirip seperti membaca label harga diskon yang sebenarnya si penjual menaikkan harga aslinya, tetapi kita tetap merasa menang.


Dan saya pikir, kesalahan-kesalahan semacam ini selalu punya benang merah dengan banyak orang lain. Dalam skala kecil, mungkin hanya soal salah membedakan tongkol dan telur, atau mengira kopi adalah gula aren. Dalam skala besar, bisa lebih dramatis: orang memilih pasangan yang ternyata bukan soulmate-nya, atau dengan penuh percaya diri mengambil jalur cepat sukses yang ternyata jalur satu arah menuju kebuntuan. Dua hal ini jelas akan membuat hidup menyiksa.


Namun, jika kita tarik ke makna yang lebih luas, ya, kesalahan itu terlalu biasa. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Jangan-jangan karena itulah dunia tetap berjalan. Saya senang ketika Bu Nyai Ibad mengisahkan kecupuan lidah ini kepada teman-teman dan mereka tertawa. Karena itu saya menuliskan cerita ini. Dan jika Anda tidak bisa tertawa, setidaknya Anda masih bisa makan nasi bakar, apa pun lauknya.

 

Bohong

Apakah itu kebohongan, atau nada berbicara yang berbeda? Keduanya, kau tahu, kadang tampak sama.