Senin, 06 Oktober 2025

Kognetariat di Bawah Langit Kampus

Kamis, 10 Oktober 2024, saya bangun seperti biasa, meski “biasa” itu sebenarnya lebih mirip gelitikan semesta seumur hidup daripada rutinitas. Setelah berduel singkat dengan pekerjaan rumah tangga, piring kotor yang menatap saya dengan tatapan penuh dendam, misalnya, saya bergegas ke kampus. Kelas pertama dimulai pukul 07.40 dan tidak boleh ada yang terlambat di kelas ini.


Kelas pertama hari itu adalah Literasi Digital, proyek massal dengan 90 mahasiswa—yang terbagi menjadi tiga kelas—dan tiga pengajar yang ditugaskan melahirkan artikel penelitian. Proyek ini cukup ambisius dengan bayangan tiga kelas ini beroperasi seperti lab-parbik tulisan.


Kami memulai dari “roadmap” riset, istilah mewah untuk peta yang segera dipenuhi berbagai jalan buntu. Dari roadmap, mereka harus menurunkannya menjadi topik, judul, metode, lalu artikel penuh. Rangkaian ini memang mirip sebuah maraton yang bahkan pelari profesional mungkin akan ngos-ngosan.


Belum sempat bernapas lega, kelas Academic Writing sudah menanti: 2 SKS yang berlangsung dari 09.20 hingga pukul 11.00.


Hari itu saya masuk kelas Academic Writing tanpa PPT dan membuka website kampus dan kementerian sebagai contoh kasus paragraf-paragaf. Ternyata membaca tulisan mereka lebih berbahaya daripada minum kopi basi: kalimat pendek tak lengkap yang membuat frustasi, kalimat panjang penuh keruwetan—mungkin begitu hidup penulisnya, makna hilang yang pergi entah kemana, dan logika yang tampaknya ikut cuti liburan.


Kami kemudian membedah mengapa tulisan ini jelek dan membuat kami ingin memanggil tukang pijat refleksi bagi otak atau mengapa tulisan ini cukup bagus dan membuat kita punya harapan terang tentang masa depan Endonesa meski ada pula yang terpaksa saya edit langsung di depan kelas—dengan memancing partisipasi mahasiswa.


Academic Writing berlalu dan kelas berikutnya yang berlangsung selama 11.00-13.30 tentang Sejarah Islam di Spanyol sudah menunggu. Tetapi, saya harus keluar lebih cepat demi acara fakultas, dengan alasan suci: salat sekaligus menghadiri acara pengelolaan jurnal. Pukul 12.50 saya titipkan diskusi via grup, lalu bersyukur karena mahasiswa tetap bertahan sampai 13.30—suatu keajaiban kecil di tengah abad digital, ketika konsentrasi kita mudah bubar sejak menit ketiga.


Pukul 15.09 atasan mengirim pesan: “Bisa antar dan menemani Prof. G setelah beliau menguji disertasi?” [huruf G bukan inisial asli. Jika saya menulis inisial lengkap, apalagi nama terang, kemungkinan besar Anda akan langsung mengenalinya.]


Tentu saja bisa—jawaban default untuk atasan—meski saya masih terkurung acara dan meminta waktu tambahan. “Santai saja,” katanya, kalimat yang bisa saja berarti tidak santai sama sekali. Setelah mencatat komentar reviewer dan membalas pesan mahasiswa yang mampir seperti iklan, akhirnya pukul 15.50 kami meluncur menjamu Prof. G. Di situ saya baru sempat makan, karena rupanya manusia memang tidak bisa hidup hanya dengan laptop.


Pukul 16.24, Mas Ahmad Muhammad—teman karib sekaligus misteri berjalan—menelepon: “Aku sudah di kampus, menuju fakultas.” Sebelumnya, saya sudah memberi kabar bahwa harus antar Prof. G ke stasiun. Entah dorongan apa yang membuatnya tetap datang; mungkin naluri intuitif yang tidak terlalu bisa saya percaya sebab ia belum sepenuhnya sufi. Setelah urusan selesai, saya memecah jalanan menuju kampus dan tiba pukul 18.19. Kami menuntaskan pekerjaan yang entah apa, lalu ia pulang dan saya menuju kantor yang sepi seperti kota Pripyat. Merebahkan pinggang sebentar jadi hadiah lotre hari itu, sebelum kembali ke lembur administrasi, pekerjaan yang lebih setia daripada kawan sekalipun.


Saya kira itu sudah cukup untuk satu Kamis, tetapi Kamis-Kamis lain kadang datang lebih dramatis—seolah hari itu punya dendam pribadi.


***

Rabu sore, 24 September 2025, sebuah telepon masuk untuk meminta saya menjadi moderator acara seminar prodi. “Besok saya full mengajar dari pagi hingga sore,” kata saya. Tetapi sepuluh menit kemudian flayer dan lokasi sudah dikirim seolah saya sudah tanda tangan kontrak. MC belum ada, moderator belum ada, penyambut tamu juga nihil, dan mungkin meja-kursi pun masih bingung harus ke mana.


Lalu Kamis pagi tiba dan pagi-pagi buta saya sudah menunggu mahasiswa di ruang baca. Dalam konteks ini, saya terlibat sebagai duet tim mengajar bersama Pak Mir (bukan nama asli) dan beliau datang belakangan, itupun untuk memberi instruksi pengalihan perkuliahan ke acara seminar prodi. Akhirnya, saya menjadi moderator—padahal saya baru menemukan seorang kawan yang menyanggupi pada detik-detik akhir. “Sampean saja, Mas. Kawal mahasiswa kelas ini untuk bertanya tentang jurnal.”


Kelas petama pagi itu akhirnya beralih ke ruang seminar. Sementara kelas 09.20 masih diampu Pak Mir—sendirian.


Perlu diketahui, menjadi moderator adalah persoalan “kecil”: kita mengenalkan narasumber, menjelaskan konteks dan arah diskusi, mengawal tanya-jawab, serta mengatur waktu. Masalahnya, hari itu saya belum sempat sarapan dan jantung saya berdetak tanpa ritme normal. Yang terakhir akan menjadi cerita tersendiri nanti. Intinya, saya sedang tidak baik-baik saja.


Ketidakbaik-baik-sajaan tersebut harus tetap menjadi baik-baik saja karena satu dan dua hal.


Narasumber pertama yang saya moderatori selesai kisaran pukul 11.00 dan saya mengabari Pak Mir karena beliau perlu mengawal narsum tersebut sebelum pulang: beliau bedua adalah kawan karib. “Ayo kita kembali ke kelas,” kata saya pada mahasiswa yang tadi saya ajak ke forum ini. Sedangkan kelas kedua yang diampu Pak Mir, ternyata, masih belum beres. “Masih ada dua naskah mahasiswa yang belum saya review, apa bisa sampean lanjutkan, ya?” tanya Pak Mir. 


Saya langsung menuju kelas, menyelesaikan bimbingan kepada naskah dua mahasiswa, lalu memasang wajah diplomatis meminta kerelaan mereka untuk segera keluar karena jatah jadwal untuk kelas pertama harus saya bereskan juga. Kelas baru selesai pukul 12.57 dan kelas ketiga sudah menanti pada pukul 13.00.


Kelas pertama dan kedua bernama Publikasi Ilmiah, kelas ketiga bernama Literasi Digital dan semuanya punya misi sama: memeras otak sampai tinggal ampas. Dosen pusing memberikan review, mahasiswa pusing menerima hasil review. Di kelas Literasi Digital, saya menjadi penjaga “gawang” objek riset mahasiswa dan menentukan apakah mahasiswa bisa lolos untuk masuk tahap berikutnya di kelas Pak Mir. Pukul 15.47 tubuh saya hampir tumbang dan sarapan adalah keputusan paling bijak di bawah langit saat itu. Setelah makan, saya bergabung di kelas Pak Mir yang berisi mahasisa "alumni" kelas saya. Dan kami memutuskan membubarkan kelas pukul 16.15. Karena sudah sore? Bukan: mahasiswa lain sudah antre di sekitar kantor.


Saya izin salat Ashar lantas menyadari lupa salat Zuhur! Astaga. Saya menepuk jidat dan menarik nafas dalam-dalam sedangkan ritme jantung masih tampak tak bersahabat.


***

Hari-hari saya, dan jutaan hari-hari orang lain di bawah langit, kira-kira berjalan seperti itu—dan pelan-pelan menjadi aktivitas “normal”. Mereka mungkin tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi, atas apa yang dijalani, atas apa yang diingini, atau, dalam bahasa Marx: teralienasi.


Sekarang kita tahu bahwa alienasi, ternyata, bukan monopoli proletariat. Marx membayangkan kelas pekerja menjual ototnya demi upah, tetapi di zaman ini yang dikuras justru pikiran. Toffler menyebut mereka “kognetariat”, Piliang menambah bumbu postmodernnya: kelas pekerja intelektual yang nasibnya sama saja: menjual daya pikir sampai kepala mendidih.


Well, jika proletar letih mengangkat besi, kognetariat letih mengangkat deadline.


Dan kita tahu, sosok seperti Bard dan Sȍderqvist menyebut kognetariat memiliki berjibun keuntungan sebab mereka—atau kita—selalu bisa “memperbarui” diri melalui jaringan informasi. Tetapi, Pak Bard dan Pak Sȍderqvist juga perlu tahu bahwa kelebihan ini menyimpan paradox: subjek kognetariat bisa tenggelam dalam arus informasi, mengikuti logika informasi, dan hilang dalam arus jaringan… tanpa mampu melakukan proses refleksi, mengajukan kritik, dan mengolah kesadaran.


Lalu, kesadaran semu menjangkit dan potensi kesadaran yang lebih dalam tereduksi menjadi sekadar respons instan terhadap aliran data. Dengan kata lain, alih-alih menjadi aktor yang memaknai informasi, kognetariat justru rentan tereduksi menjadi perpanjangan dari algoritma yang mereka ikuti. Dengan kata lain lagi, kita semua berpotensi menjadi mesin-mesin modern.


Alienasi di satu sisi, dan beban kognetariat pada sisi lain, menciptakan lingkaran setan: kerja kognitif dijalankan secara repetitif dan mekanis, bukan reflektif dan kreatif. Aktivitas berpikir justru berisiko mengalami stagnasi dan penumpul­an, terutama ketika kesadaran kritis terhadap proses kerja itu sendiri absen.


Dan semua bisa dimulai dari orang-orang senasib dengan saya, yang sama-sama mengalami Kamis 10 Oktober 2024, atau Kamis 25 September 2025, serta hari Senin, Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu, Minggu, yang juga sama saja dengan kedua Kamis itu. Lantas, sudah kita bertanya diam-diam: apakah kita masih manusia yang berpikir, atau sekadar mesin yang menandai tanggal di kalender?