Kamis, 10 Oktober 2024, saya bangun seperti biasa, meski “biasa” itu sebenarnya lebih mirip gelitikan semesta seumur hidup daripada rutinitas. Setelah berduel singkat dengan pekerjaan rumah tangga, piring kotor yang menatap saya dengan tatapan penuh dendam, misalnya, saya bergegas ke kampus. Kelas pertama dimulai pukul 07.40 dan tidak boleh ada yang terlambat di kelas ini.
Kelas pertama
hari itu adalah Literasi Digital, proyek massal dengan 90 mahasiswa—yang
terbagi menjadi tiga kelas—dan tiga pengajar yang ditugaskan melahirkan artikel
penelitian. Proyek ini cukup ambisius dengan bayangan tiga kelas ini beroperasi
seperti lab-parbik tulisan.
Kami memulai
dari “roadmap” riset, istilah mewah untuk peta yang segera dipenuhi berbagai
jalan buntu. Dari roadmap, mereka harus menurunkannya menjadi topik,
judul, metode, lalu artikel penuh. Rangkaian ini memang mirip sebuah maraton
yang bahkan pelari profesional mungkin akan ngos-ngosan.
Belum sempat
bernapas lega, kelas Academic Writing sudah menanti: 2
SKS yang berlangsung dari 09.20 hingga pukul 11.00.
Hari itu saya
masuk kelas Academic Writing tanpa PPT dan membuka website kampus dan
kementerian sebagai contoh kasus paragraf-paragaf. Ternyata membaca tulisan mereka
lebih berbahaya daripada minum kopi basi: kalimat pendek tak lengkap yang
membuat frustasi, kalimat panjang penuh keruwetan—mungkin begitu hidup penulisnya,
makna hilang yang pergi entah kemana, dan logika yang tampaknya ikut cuti
liburan.
Kami kemudian
membedah mengapa tulisan ini jelek dan membuat kami ingin memanggil tukang
pijat refleksi bagi otak atau mengapa tulisan ini cukup bagus dan membuat kita punya
harapan terang tentang masa depan Endonesa meski ada pula yang terpaksa saya edit langsung di
depan kelas—dengan memancing partisipasi mahasiswa.
Academic
Writing berlalu dan kelas berikutnya yang berlangsung selama 11.00-13.30 tentang
Sejarah Islam di Spanyol sudah menunggu. Tetapi, saya harus keluar lebih cepat demi
acara fakultas, dengan alasan suci: salat sekaligus menghadiri acara
pengelolaan jurnal. Pukul 12.50 saya titipkan diskusi via grup, lalu bersyukur
karena mahasiswa tetap bertahan sampai 13.30—suatu keajaiban kecil di tengah
abad digital, ketika konsentrasi kita mudah bubar sejak menit ketiga.
Pukul 15.09
atasan mengirim pesan: “Bisa antar dan menemani Prof. G setelah beliau menguji
disertasi?” [huruf G bukan inisial asli. Jika saya menulis inisial lengkap,
apalagi nama terang, kemungkinan besar Anda akan langsung mengenalinya.]
Tentu saja
bisa—jawaban default untuk atasan—meski saya masih terkurung acara dan meminta
waktu tambahan. “Santai saja,” katanya, kalimat yang bisa saja berarti tidak
santai sama sekali. Setelah mencatat komentar reviewer dan membalas pesan
mahasiswa yang mampir seperti iklan, akhirnya pukul 15.50 kami meluncur
menjamu Prof. G. Di situ saya baru sempat makan, karena rupanya manusia memang
tidak bisa hidup hanya dengan laptop.
Pukul 16.24, Mas Ahmad Muhammad—teman karib sekaligus misteri berjalan—menelepon: “Aku sudah di
kampus, menuju fakultas.” Sebelumnya, saya sudah memberi kabar bahwa harus
antar Prof. G ke stasiun. Entah dorongan apa yang membuatnya tetap datang;
mungkin naluri intuitif yang tidak terlalu bisa saya percaya sebab ia belum
sepenuhnya sufi. Setelah urusan selesai, saya memecah jalanan menuju kampus dan
tiba pukul 18.19. Kami menuntaskan pekerjaan yang entah apa, lalu ia pulang dan
saya menuju kantor yang sepi seperti kota Pripyat. Merebahkan pinggang sebentar
jadi hadiah lotre hari itu, sebelum kembali ke lembur administrasi, pekerjaan
yang lebih setia daripada kawan sekalipun.
Saya kira itu
sudah cukup untuk satu Kamis, tetapi Kamis-Kamis lain kadang datang lebih
dramatis—seolah hari itu punya dendam pribadi.
***
Rabu sore, 24
September 2025, sebuah telepon masuk untuk meminta saya menjadi moderator acara seminar
prodi. “Besok saya full mengajar dari pagi hingga sore,” kata saya. Tetapi sepuluh
menit kemudian flayer dan lokasi sudah dikirim seolah saya sudah tanda tangan
kontrak. MC belum ada, moderator belum ada, penyambut tamu juga nihil, dan mungkin
meja-kursi pun masih bingung harus ke mana.
Lalu Kamis pagi
tiba dan pagi-pagi buta saya sudah menunggu mahasiswa di ruang baca. Dalam konteks ini, saya terlibat sebagai duet tim mengajar bersama Pak Mir (bukan nama asli) dan beliau datang belakangan, itupun untuk memberi
instruksi pengalihan perkuliahan ke acara seminar prodi. Akhirnya, saya menjadi
moderator—padahal saya baru menemukan seorang kawan yang menyanggupi pada
detik-detik akhir. “Sampean saja, Mas. Kawal mahasiswa kelas ini untuk bertanya
tentang jurnal.”
Kelas petama
pagi itu akhirnya beralih ke ruang seminar. Sementara kelas 09.20 masih diampu
Pak Mir—sendirian.
Perlu
diketahui, menjadi moderator adalah persoalan “kecil”: kita mengenalkan narasumber,
menjelaskan konteks dan arah diskusi, mengawal tanya-jawab, serta mengatur
waktu. Masalahnya, hari itu saya belum sempat sarapan dan jantung saya berdetak
tanpa ritme normal. Yang terakhir akan menjadi cerita tersendiri nanti. Intinya,
saya sedang tidak baik-baik saja.
Ketidakbaik-baik-sajaan
tersebut harus tetap menjadi baik-baik saja karena satu dan dua hal.
Narasumber
pertama yang saya moderatori selesai kisaran pukul 11.00 dan saya mengabari Pak
Mir karena beliau perlu mengawal narsum tersebut sebelum pulang: beliau bedua
adalah kawan karib. “Ayo kita kembali ke kelas,” kata saya pada mahasiswa yang
tadi saya ajak ke forum ini. Sedangkan kelas kedua yang diampu Pak Mir,
ternyata, masih belum beres. “Masih ada dua naskah mahasiswa yang belum saya
review, apa bisa sampean lanjutkan, ya?” tanya Pak Mir.
Saya langsung
menuju kelas, menyelesaikan bimbingan kepada naskah dua mahasiswa, lalu memasang
wajah diplomatis meminta kerelaan mereka untuk segera keluar karena jatah
jadwal untuk kelas pertama harus saya bereskan juga. Kelas baru selesai pukul
12.57 dan kelas ketiga sudah menanti pada pukul 13.00.
Kelas pertama
dan kedua bernama Publikasi Ilmiah, kelas ketiga bernama Literasi Digital dan
semuanya punya misi sama: memeras otak sampai tinggal ampas. Dosen pusing
memberikan review, mahasiswa pusing menerima hasil review. Di kelas Literasi
Digital, saya menjadi penjaga “gawang” objek riset mahasiswa dan menentukan
apakah mahasiswa bisa lolos untuk masuk tahap berikutnya di kelas Pak Mir. Pukul 15.47 tubuh saya
hampir tumbang dan sarapan adalah keputusan paling bijak di bawah langit
saat itu. Setelah makan, saya bergabung di kelas Pak Mir yang berisi mahasisa "alumni" kelas saya. Dan kami memutuskan membubarkan kelas pukul 16.15. Karena sudah
sore? Bukan: mahasiswa lain sudah antre di sekitar kantor.
Saya izin salat
Ashar lantas menyadari lupa salat Zuhur! Astaga. Saya menepuk jidat dan menarik
nafas dalam-dalam sedangkan ritme jantung masih tampak tak bersahabat.
***
Hari-hari saya, dan jutaan hari-hari orang lain di bawah langit, kira-kira berjalan seperti itu—dan pelan-pelan menjadi aktivitas “normal”. Mereka mungkin tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi, atas apa yang dijalani, atas apa yang diingini, atau, dalam bahasa Marx: teralienasi.
Sekarang kita
tahu bahwa alienasi, ternyata, bukan monopoli proletariat. Marx membayangkan
kelas pekerja menjual ototnya demi upah, tetapi di zaman ini yang dikuras
justru pikiran. Toffler menyebut mereka “kognetariat”, Piliang menambah bumbu
postmodernnya: kelas pekerja intelektual yang nasibnya sama saja: menjual daya
pikir sampai kepala mendidih.
Well, jika
proletar letih mengangkat besi, kognetariat letih mengangkat deadline.
Dan kita tahu,
sosok seperti Bard dan Sȍderqvist menyebut kognetariat memiliki berjibun
keuntungan sebab mereka—atau kita—selalu bisa “memperbarui” diri melalui
jaringan informasi. Tetapi, Pak Bard dan Pak Sȍderqvist juga perlu tahu bahwa
kelebihan ini menyimpan paradox: subjek kognetariat bisa tenggelam dalam arus
informasi, mengikuti logika informasi, dan hilang dalam arus jaringan… tanpa
mampu melakukan proses refleksi, mengajukan kritik, dan mengolah kesadaran.
Lalu, kesadaran
semu menjangkit dan potensi kesadaran yang lebih dalam tereduksi menjadi
sekadar respons instan terhadap aliran data. Dengan kata lain, alih-alih
menjadi aktor yang memaknai informasi, kognetariat justru rentan tereduksi
menjadi perpanjangan dari algoritma yang mereka ikuti. Dengan kata lain lagi,
kita semua berpotensi menjadi mesin-mesin modern.
Alienasi di
satu sisi, dan beban kognetariat pada sisi lain, menciptakan lingkaran setan: kerja
kognitif dijalankan secara repetitif dan mekanis, bukan reflektif dan kreatif. Aktivitas berpikir justru berisiko
mengalami stagnasi dan penumpulan, terutama ketika kesadaran kritis terhadap
proses kerja itu sendiri absen.
Dan semua bisa
dimulai dari orang-orang senasib dengan saya, yang sama-sama mengalami Kamis 10 Oktober 2024, atau Kamis 25 September
2025, serta hari Senin, Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu, Minggu, yang juga sama saja
dengan kedua Kamis itu. Lantas, sudah kita bertanya diam-diam: apakah kita
masih manusia yang berpikir, atau sekadar mesin yang menandai tanggal di
kalender?
