Kerja, katanya, untuk mencari makan.
Tetapi
pekerjaan justru membuat kita lupa makan,
karena rasa
lapar, kadang, teralih oleh kesibukan.
Kerja, katanya,
demi keluarga tercinta.
Tetapi
pekerjaan yang perlahan menjauhkan kita dari mereka—hingga hanya foto yang jadi
pengingat kehadiran.
Kerja, katanya,
untuk masa depan anak-anak.
Tetapi
anak-anak tumbuh ditemani layar, sementara kita sibuk mengejar hari esok yang
tak kunjung sempat hadir.
Kerja, katanya,
untuk punya rumah sendiri.
Tetapi rumah
itu lebih terasa seperti tempat persinggahan tidur, bukan tempat pulang yang
penuh jiwa.
Kerja, katanya,
agar bisa tenang di hari tua.
Tetapi hari tua
kadang tak datang, sebab tubuh lebih dulu rubuh oleh lembur.
Kerja, katanya,
untuk mengembangkan diri.
Tetapi diri
yang dikembangkan adalah versi yang disesuaikan dengan ekspektasi pasar, bukan
suara hati.
Kerja, katanya,
agar merdeka secara finansial.
Tetapi yang
terjadi: orang justru diperbudak waktu, digerakkan oleh tagihan,
dikendalikan oleh gaji bulanan.
Kerja, katanya,
adalah panggilan.
Tetapi banyak
yang tidak berani bertanya: siapa yang sebenarnya memanggil?
Namun,
Tak bekerja lebih
menakutkan.
Ia mengantarkan
pada
Kenestapaan, dan, mungkin, kematian.
Dunia, hari ini, masih ramah?